JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengapresiasi Pengadilan Tinggi Jawa Barat soal putusan terhadap Herry Wirawan. Terutama, mengenai restitusi korban yang akhirnya dibebankan kepada terdakwa.
Menurutnya, keputusan itu sekaligus memperbaiki keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung sebelumnya. Di mana, restitusi dibebankan kepada negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Kepada awak media di Jakarta, Retno tegas menyatakan dukungan terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung. "Saya mendukung keputusan majelis hakim yang menyatakan pembebanan pembayaran restitusi kepada negara akan menjadi preseden buruk dalam penanggulangan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak," paparnya. Sebab, lanjut dia, pelaku kejahatan akan merasa nyaman tidak dibebani kewajiban pembayaran restitusi kepada korban.
Hal itu, sambung Retno, berpotensi menghilangkan efek jera dari pelaku. "Hal ini sangat berbahaya bagi perlindungan anak dari kejahatan seksual," katanya.
Kendati begitu, dia menilai, besaran restitusi yang diputus oleh majelis hakim dia nilai masih terlalu kecil. Hanya Rp330 juta untuk belasan korban. Padahal, para anak korban harus melanjutkan hidupnya. Belum lagi, biaya hidup untuk bayi yang dilahirkan. "Saya lebih fokus ke korban. Seharusnya bayi dihitung restitusinya juga, karena bayi-bayi itu juga korban," keluhnya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menambahkan bahwa dalam kasus tersebut perhatian harus lebih banyak diberikan kepada para korban. "Kami juga sangat kuat mendorong agar ada proses restitusi, proses rehabilitasi, dan perhatian yang lebih serius dalam kasus Herry Wirawan," terang dia, kemarin. Untuk itu, Damanik mendukung supaya pemulihan korban dan pemenuhan terhadap hak-hak semua korban dilakukan secara maksimal.
Lebih dari itu, Damanik mengingatkan para penegak hukum agar mempertimbangkan penghapusan penerapan hukuman mati yang menjadi tren global saat ini. "Hukuman mati secara bertahap telah dihapuskan," kata dia melalui keterangan resmi yang disiarkan di kanal YouTube Komnas HAM kemarin. Dia menyebut, dalam roadmap hukum pidana di Indonesia, hukuman mati bukan menjadi hukuman yang serta merta harus diterapkan oleh penegak hukum.
Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP) disebutkan bahwa terpidana mati diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya dalam periode yang ditentukan. "Manakala terpidana mati itu melakukan perubahan-perubahan sikap maka hukuman mati masih dimungkinkan untuk diturunkan yang lebih ringan," tuturnya. Komnas HAM berharap ketika pihak Herry Wirawan mengajukan kasasi atas vonis mati itu, hakim yang mengadili kasus tersebut dapat mempertimbangkan konsep penghapusan hukuman mati tersebut.
Hal senada disampaikan oleh peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia menyatakan bahwa hukuman mati tidak serta merta akan menimbulkan efek jera. Karena itu, meski mendukung putusan terkait restitusi, ICJR menyayangkan vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan. "Putusan itu akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual, karena fokus negara justru diberikan kepada pembalasan kepada pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya," beber dia.
Menurut ICJR, tidak hanya penegakan hukum, pemulihan korban dan pemenuhan hak-hak korban sangat penting. "Pidana mati terhadap pelaku perkosaan telah ditentang oleh banyak kelompok perempuan di dunia, dan disebut sebagai solusi yang sekedar populis terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan," terang Genoveva. Hukuman mati terhadap pelaku perkosaan, lanjut dia, dapat berdampak pada semakin menurunnya angka pelaporan. Sebab, selama ini, pelaku kekerasan seksual didominasi oleh orang-orang terdekat korban. Dengan adanya ancaman pidana mati terhadap pelaku, maka keengganan korban untuk melapor akan semakin tinggi. "karena takut orang terdekatnya, meskipun telah melukainya, akan dihukum mati," imbuhnya.(mia/syn/tyo/jpg)