JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Dorongan agar Polri menggunakan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus yang menyeret Brigjen Pol Prasetyo Utomo terus bermunculan. Tidak hanya DPR, aktivis antikorupsi juga menyuarakan hal serupa. Mereka berharap aparat kepolisian mengembangkan kasus tersebut karena dugaan dinilai suap sudah tampak.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril menyampaikan bahwa praktik suap, gratifikasi, atau pemerasan sangat terbuka dalam kasus surat jalan untuk Djoko Tjandra.
"Menurut saya memang harus dikembangkan ke dugaan terjadinya transaksi koruptif," kata dia kepada Jawa Pos (JPG), Senin (3/8).
Bukan hanya aparat kepolisian, Oce menilai petugas di instansi lain juga harus dikejar. Menurut dia, Djoko bisa kabur dari kejaran aparat penegak hukum lantaran banyak oknum yang terlibat dan membantu. Bukan tidak mungkin, ada pejabat dengan posisi lebih tinggi dari Prasetyo yang terlibat. Misalnya, kata Oce, bila ada perintah yang membuat Prasetyo menerbitkan surat jalan untuk Djoko. Karena itu, dia menilai undang-undang tipikor perlu dipakai dalam pengembangan penyidikan kasus Prasetyo. Bila tidak, aparat kepolisian bakal kesulitan mengungkap dugaan keterlibatan pihak-pihak lain.
"Menurut saya (undang-undang tipikor, red) bisa digunakan," kata Oce.
Pukat UGM, lanjut dia, menduga ada aliran dana atau fasilitas tertentu yang diberikan Djoko Tjandra kepada oknum-oknum yang turut membantu pelariannya.
"Tentu itu harus menjadi perhatian penegak hukum untuk mengembangkan perkaranya ke arah sana," imbuhnya.
Oce memastikan, Pukat UGM menjadi salah satu pihak yang ikut mengikuti perkembangan penanganan kasus itu. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, seluruh masyarakat dipersilakan memeloti penanganan kasus tersebut. Dia ingin tidak ada yang ditutup-tutupi dari penyidikan terhadap Prasetyo maupun pengembangan kasusnya.
Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono menyampaikan, instansinya sudah memeriksa Djoko Tjandra pada 31 Juli.
"Pemeriksaan sebagai saksi oleh penyidik, terkait kasus surat palsu yang melibatkan BJP PU (Prasetyo)," kata dia kepada awak media.
Dalam kesempatan itu, Djoko Tjandra juga menyampaikan sudah menunjuk Otto Hasibuan sebagai kuasa hukum. Namun, sampai kemarin Polri belum menerima surat kuasa tersebut. Awi pun menegaskan bahwa, penahanan Djoko Tjandra di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Bareskrim sudah mendapat izin dari Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Status Djoko Tjandra, lanjut dia, bukan tahanan penyidik Polri. Melainkan terpidana yang sudah dieksekusi oleh jaksa. Sejak 31 Juli, pria yang sempat jadi buronan selama sebelas tahun itu sudah menjadi warga binaan Rutan Salemba.
Djoko Tjandra diizinkan mendekam sementara di Rutan Salemba Cabang Bareskrim untuk kepentingan penyidikan kasus surat jalan. ”Ditempatkan di Rutan Bareskrim Polri agar mempermudah pemeriksaan yang bersangkutan terkait kasus surat jalan palsu,” terang Awi. Dia pun menyebut, bukan hanya kasus itu yang dikejar oleh Polri. Dugaan kasus lain juga tengah didalami.
"Termasuk (dugaan) adanya aliran dana dalam kasus tersebut," kata dia.
Kemarin, Otto Hasibuan kembali menyatakan bahwa penahanan terhadap kliennya tidak berdasar.
"Sebenarnya putusan PK itu batal demi hukum," kata dia.
Dia berargumen, putusan PK tidak memerintahkan kliennya ditahan oleh penegak hukum.
"Kalau sudah batal, penahanan yang dilakukan tidak sesuai, tidak sah karena tidak ada dasar hukumnya," beber Otto. Karena itu, dia terus mempertanyakan penahanan tersebut.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari tindakan yang mereka lakukan. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono menyatakan bahwa, langkah yang diambil oleh Kejagung sudah sesuai ketentuan. Pihaknya mengeksekusi Djoko ke Rutan Salemba berdasar putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) nomor 12K/Pid.Sus/2008.
Putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan itu, lanjut Hari, jelas disebutkan bahwa Djoko Tjandra dijatuhi hukuman pidana penjara selama dua tahun. Sehingga tidak ada yang salah dari keputusan Kejagung terhadap Djoko Tjandra. Hari tegas menyatakan, status Djoko Tjandra saat dieksekusi ke Rutan Salemba adalah terpidana, bukan tahanan seperti yang disebut penasihat hukumnya.
Lebih dari itu, Hari menjelaskan bahwa hakim PK tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan penahanan. Karena itu, tidak ada perintah penahanan dalam putusan terhadap Djoko Tjandra. Namun, putusan tersebut tegas menyatakan bahwa Djoko Tjandra dihukum dua tahun penjara.
"Dengan telah dilaksanakannya eksekusi tersebut sesuai Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang ditandatangani oleh terpidana," tegasnya.(syn/jpg)