Rabu, 18 September 2024

Revisi UU ITE Harus Jadi Prioritas

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kesediaan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pascakasus Baiq Nuril Maknun diapresiasi pegiat hak asasi manusia. Momen revisi tersebut diharapkan bisa menyentuh pasal "karet" yang banyak memakan korban.

Direktur Institute For Criminal Justice (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, mengubah UU ITE sudah menjadi keperluan mendesak. Pasalnya, konstruksi hukum beberapa bagian pada UU tersebut tidak ideal. “Menimbulkan cost (kerugian) yang besar. Revisi 2016 buruk sekali, tak menjawab permasalahan,” ujarnya.

Erasmus menambahkan, kasus Baiq Nuril adalah salah satu contoh fatal dari rumusan UU ITE. Di mana dalam implementasinya, membuat penegak hukum seperti menggunakan “kacamata kuda” dalam kasus kesusilaan yang melibatkan teknologi. “Bagaimana dia mempertahankan diri (dari pelecehan) konteks itu tak ada di UU ITE,” imbuhnya.

Baca Juga:  Ubah 24 Lapas  Umum Menjadi Napi Narkoba

Lantas, pasal-pasal mana saja yang perlu diperbaiki? Berdasarkan riset yang dilakukan ICJR, yang harus direvisi adalah pasal-pasal yang sifatnya duplikasi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab, kata dia, ada sejumlah pasal yang semestinya sudah diatur dalam KUHP, namun muncul di UU ITE dengan rumusan yang baru.

- Advertisement -

Pasal 27 ayat 1 UU ITE yang mengatur kesusilaan di muka umum misalnya, sudah ada dalam KUHP. Bahkan, di KUHP rumusannya lebih baik. Di mana aspek melindungi diri seperti kasus Baiq Nuril diperhatikan dalam melihat kasus kesusilaan di muka umum.

Ke depannya, lanjut dia, ketentuan di UU ITE cukup untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada di KUHP. Misalnya mengatur soal keabsahan atau legalitas bukti elektronik yang memang tidak ada di KUHP. “Jadi UU ITE tak perlu ribet membuat rumusan baru,” tuturnya.

- Advertisement -
Baca Juga:  Ahmad Basarah Peringatkan Krisis Kebangsaan Dalam Pendidikan Nasional

Sebelumnya, kesediaan untuk merevisi disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (3/8). Yasonna mengakui kasus Baiq Nuril menunjukkan masih adanya kekurangan pada UU ITE sehingga perlu penyempurnaan.

Dalam waktu dekat, pihaknya akan berkomunikasi dengan Kominfo untuk menyusun kajian akademik. Namun demikian, politisi PDIP itu belum mau merinci poin-poin mana saja yang akan dihapus dan kapan pembahasannya akan dimulai.

Erasmus menambahkan, dalam revisi UU ITE nanti, pihaknya mengusulkan agar agar leading sektor tidak lagi di Kementerian Komunikasi dan Informatika, melainkan di Kemenkumham. Sehingga proses harmonisasi dengan aturan hukum lainnya seperti KUHP bisa lebih maksimal.

Lebih lanjut lagi, dia juga mengusulkan agar pembahasan revisi UU ITE bisa diprioritaskan.(far/jpg)

 

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kesediaan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pascakasus Baiq Nuril Maknun diapresiasi pegiat hak asasi manusia. Momen revisi tersebut diharapkan bisa menyentuh pasal "karet" yang banyak memakan korban.

Direktur Institute For Criminal Justice (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, mengubah UU ITE sudah menjadi keperluan mendesak. Pasalnya, konstruksi hukum beberapa bagian pada UU tersebut tidak ideal. “Menimbulkan cost (kerugian) yang besar. Revisi 2016 buruk sekali, tak menjawab permasalahan,” ujarnya.

Erasmus menambahkan, kasus Baiq Nuril adalah salah satu contoh fatal dari rumusan UU ITE. Di mana dalam implementasinya, membuat penegak hukum seperti menggunakan “kacamata kuda” dalam kasus kesusilaan yang melibatkan teknologi. “Bagaimana dia mempertahankan diri (dari pelecehan) konteks itu tak ada di UU ITE,” imbuhnya.

Baca Juga:  Ubah 24 Lapas  Umum Menjadi Napi Narkoba

Lantas, pasal-pasal mana saja yang perlu diperbaiki? Berdasarkan riset yang dilakukan ICJR, yang harus direvisi adalah pasal-pasal yang sifatnya duplikasi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab, kata dia, ada sejumlah pasal yang semestinya sudah diatur dalam KUHP, namun muncul di UU ITE dengan rumusan yang baru.

Pasal 27 ayat 1 UU ITE yang mengatur kesusilaan di muka umum misalnya, sudah ada dalam KUHP. Bahkan, di KUHP rumusannya lebih baik. Di mana aspek melindungi diri seperti kasus Baiq Nuril diperhatikan dalam melihat kasus kesusilaan di muka umum.

Ke depannya, lanjut dia, ketentuan di UU ITE cukup untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada di KUHP. Misalnya mengatur soal keabsahan atau legalitas bukti elektronik yang memang tidak ada di KUHP. “Jadi UU ITE tak perlu ribet membuat rumusan baru,” tuturnya.

Baca Juga:  Pimpin MA, Syarifuddin Punya PR Sikat Pungli

Sebelumnya, kesediaan untuk merevisi disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (3/8). Yasonna mengakui kasus Baiq Nuril menunjukkan masih adanya kekurangan pada UU ITE sehingga perlu penyempurnaan.

Dalam waktu dekat, pihaknya akan berkomunikasi dengan Kominfo untuk menyusun kajian akademik. Namun demikian, politisi PDIP itu belum mau merinci poin-poin mana saja yang akan dihapus dan kapan pembahasannya akan dimulai.

Erasmus menambahkan, dalam revisi UU ITE nanti, pihaknya mengusulkan agar agar leading sektor tidak lagi di Kementerian Komunikasi dan Informatika, melainkan di Kemenkumham. Sehingga proses harmonisasi dengan aturan hukum lainnya seperti KUHP bisa lebih maksimal.

Lebih lanjut lagi, dia juga mengusulkan agar pembahasan revisi UU ITE bisa diprioritaskan.(far/jpg)

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari