PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Kabar ratusan anak imigran dibolehkan Pemko Pekanbaru mengenyam pendidikan sekolah negeri dibantah pihak Kanwilkumham terkait aturan. Perihal polemik ini, Gubernur Riau melalui Dinas Pendidikan menyarankan agar dilakukan koordinasi antarkementerian. Menurut Kepala Disdik Riau Rudyanto perihal kebijakan anak imigran yang menetap di Pekanbaru untuk mendapatkan pendidikan sepenuhnya kewenangan antarkementerian terkait. Khususnya Kementerian Hukum dan HAM bersama Kemendikbud.
“Atas status sekolahnya (SD dan SMP, red), itu kan kabupaten dan kota. Jadi itu kewenangan mereka (Pemko dan Kanwilkumham, red),†ujar Rudyanto kepada Riau Pos, Rabu (3/7).
Menurut Rudi, sapaan akrab Kadisdik Riau, memang Pemprov Riau hingga kini belum mengetahui informasi dimaksud secara jelas. Sehingga baik Gubernur H Syamsuar maupun Disdik Riau hingga kini belum ada pembahasan perihal pendidikan anak imigran tersebut.
“Kalau saya ikut aturan yang ada. Agar tak melanggar aturan yang berlaku sebaiknya memang harus koordinasi Kemendikbud dan Kemenkumham dulu sebelum kebijakan itu dijalankan,†katanya.
Menurut Rudi, perihal kebijakan ini Pemprov Riau akan mengikuti aturan jika sudah ada yang mengikat. Karena selain soal kewenangan yang bukan milik provinsi, status imigran juga tentu menjadi persoalan berbeda di bawah Kanwilkumham. Karena terdapat beberapa stakeholder terkait yang berwenang, maka Disdik Riau, kata Rudi, tetap mengikuti perkembangan informasinya.
“Soal ini juga kami sebenarnya baru tahu dari kawan-kawan media. Jadi kita lihat saja kebijakannya seperti apa,†jelasnya.
Sementara Kepala Disdik (Kadisdik) Kota Pekanbaru Abdul Jamal menyebut pihaknya pada dasarnya menunggu.
‘’Itu tugas pokok memang bukan di Disdik. Kalau memang menyalahi aturan tidak kami laksanakan. Kami kan memanfaatkan saja,’’ katanya.
Urusan imigran, kata Jamal, adalah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Imigrasi dan Badan Kesbangpol. Sementara Disdik Pekanbaru dilibatkan dalam rencana ini oleh UNHCR dan IOM. Jamal juga sempat diundang ke Jogjakarta dan meninjau penerapan anak imigran yang bersekolah di sekolah negeri di Medan.
‘’Yang ngundang kami ke Jogja siapa, yang minta bantu siapa. Kami atas dasar kemanusiaan saja. Pelaksanaan tetap menunggu aturan. Kami ini membantu UNHCR. Kalau tidak boleh ya tidak ada masalah. Kan belum jalan,’’ urai dia.
Proses jika wacana ini akan diterapkan, kata Jamal, panjang. Harus ada rekomendasi, diikuti dengan izin dari Walikota Pekanbaru Dr H Firdaus ST MT dan kemudian MoU. Jamal menyebut, di luar polemik yang muncul. Pekanbaru memiliki kemampuan untuk melaksanakan program seperti di Medan.
‘’Di luar itu, kalau meniru Medan itu saya rasa Pekanbaru juga bisa. Tetapi ya tidak adalah yang menyalahi. Tapi kalau memang menyalahi kita tidak usah. Tidak apa-apa. Sebenarnya juga tidak perlu dipolemikkan. Di Medan kenapa bisa ? Apa bukan NKRI ? apa bedanya, sudah satu tahun di sana berjalan,’’ tanyanya.
Dia menggarisbawahi, program ini pada dasarnya bukan memberikan kelas khusus pada anak imigran. Namun hanya mengisi kelebihan bangku yang ada.
‘’Gambarannya misalnya satu kelas itu bisa 40 murid. Sudah terisi 36 kursi, masih ada empat. Empat ini yang akan diisi. Karena, ada atau tidak tambahan kan belajar mengajar jalan juga. Bukan berarti khusus untuk orang itu tidak. Hanya memanfaatkan,’’ ungkapnya.
Pekanbaru, kata dia, hanya mampu untuk mengakomodir bagi tingkat SD. Ini karena ada SD di Pekanbaru yang kekurangan murid.’’Kalau mereka (UNHCR, red) mendata itu 286 orang anak usia sekolah. Mulai dari 1 tahun sampai 12 tahun. Kita bisa hanya untuk SD. Karena banyak yang kekurangan murid juga. Di Cik Ditiro ada kelas kosong. Kan bisa diisi. Tapi bukan berarti tidak mengurus orang Pekanbaru. Kalau memang tidak boleh, kasih tahu saja. Kasih tahu ke UNHCR dan IOM itu,’’ ujarnya. (egp/ali)