Lain lubuk lain ikan, lain padang lain ilalang, sesuai dengan azam lazimnya, dalam bahasa lima luhak di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) yang dikenal dengan julukan daerah Negeri Seribu Suluk.
(RIAUPOS.CO) – Untuk penyebutan jenis kesenian burdah ada beberapa nama namun tetap satu jenis kesenian itu juga, berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Rokan Hulu terdiri dari lima luhak yakni Luhak Rambah, Luhak Tambusai, Luhak Kepenuhan, Luhak Kunto dan Luhak Rokan.
Antara satu luhak dengan luhak yang lain berbeda cara penyebutan nama dari burdah ini seperti boudah adalah bahasa dari Luhak Kepenuhan (Kecamatan Kepenuhan dan Kepenuhan Hulu), Luhak Tambusai (Kecamatan Tambusai dan Tambusai Utara).
Lalu ada borudah adalah bahasa dari Luhak Rambah (terdiri dari Kecamatan Rambah, Rambah Hilir, Rambah Samo dan Kecamatan Bangun Purba) dan Luhak Kunto ( terdiri dari Kecamatan Kunto Darussalam, Pagaran Tapah Darussalam dan Kecamatan Bonai Darussalam).
Sedangkan di Luhak Rokan (terdiri dari Kecamatan Rokan IV Koto dan Kecamatan Pendalian IV Koto) boudah ini dinamakan dengan bodikie.
Nama lainnya adalah qosidah burdah, jadi boudah atau borudah ini merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Melayu yang bernuansa Islam ada di 5 Luhak Kabupaten Rohul. Sedangkan dalam bahasa Melayu Riau pada umumnya dinamakan dengan berdah.
Dalam Ensiklopedi Islam, istilah burdah adalah suatu benda (kain) yang digunakan sebagai jubah Nabi Muhammad SAW yang terbuat dari bulu domba. Kata burdah juga ditafsirkan sebagai “Syair Puji-pujian” terhadap Nabi Muhammad SAW yang dibuat oleh Al-Bushiri (610-695 Hijriah atau tahun 1213-1296 M).
Saat itu, Al-Bushiri sedang sakit lumpuh dan ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, lalu beliau (Muhammad SAW) melepaskan jubahnya dan mengenakan kepadanya. Ketika ia bangun dari mimpi, seketika itu juga penyakit Al-Bushiri sembuh.
Untuk itu sebagai ungkapan syukur, maka Al-Bushiri membuat syair puji-pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW di dalam sebuah kitab yang dinamakan Al-Barzanji. Kemudian syair yang ditulis oleh Al-Bushiri ini mendapat penghargaan besar dikalangan umat Islam.
Bobano adalah nama alat yang digunakan dalam mengiringi lantunan syair yang berisikan pujian kepada nabi Muhammad SAW yang di mainkan atau di suarakan oleh 10 hingga 15 orang laki- laki yang saling bersautan satu dengan yang lain mulai suara atau nada paling rendah sampai suara atau nada paling tinggi, dan alat bobano ini terbuat dari kayu dan dari kulit kambing dan ada rotan didalam lingkaran bobano tersebut.
Di Luhak Kepenuhan, kesenian boudah atau borudah ini hanya tinggal dua grup yang masih eksis yaitu satu grup di Dusun Pasir Pandak, Desa Kepenuhan Timur yang merupakan boudah tertua di Luhak Kepenuhan, dan kedua adalah di Dusun Galian Tanah, Desa Kepenuhan Barat Mulia, Kecamatan Kepenuhan.
Sedangkan di Luhak Rambah masih banyak yang eksis lebih dari 20 grup boudah atau borudah, sedangkan di Luhak Tambusai perlu menjadi perhatian pejabat adat dan masyarakat Luhak Tambusai sesuai dengan bida adat “Ilang Dicai Tokolamun Dikokeh”.
Karena di Luhak Tambusai sudah susah mencari grup boudah ini, di Luhak Kunto hanya tinggal 4 (empat) grup yaitu yang aktif di Desa Koto Intan dan Kembang Damai. Kemudian di Luhak Rokan, boudah ini sama dengan bodikie ada sejak zaman Kerajaan Rokan, sejak berdiri Istana Rokan, 1901. Hal itu diungkapkan Ismail Hamkaz Rokan, penulis buku Potatah Potitih Luhak Kepenuhan (Dilengkapi dengan Ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad).
Untuk memberikan suara yang bagus dan melengking atau suara tinggi oleh tuan rumah penyelenggara kegiatan disiapkan menu makanan khusus untuk para pemain boudah ini
Yakni, pertama “sopodeh merah” atau lingkuas yang telah diiris diletakkan dalam piring kemudian ada garam. Kedua, kopi kampong siap saji dan diminum. Ketiga, rujak nenas. Inilah makanan khusus untuk pemaian boudah ini, karena kegiatan boudah ini dilaksanakan pada malam hari, dimulai usai salat Isya hingga masuknya salat Subuh.
Kesenian boudah ini, kata Ismail, terdiri dari unsur-unsur melodi vokal dan alat gendang yang bernama bobano, ritme alat musik bobano dan melodi vokal dibawakan secara koor oleh sejumlah pemain dengan tekstur homophony melalui beberapa teknik.
Sedangkan pola-pola ritme pengiring melodi vokal juga dibawakan oleh para pemain lain dengan menggunakan beberapa teknik. Dalam permainannya para pemain boudah adakalanya membentuk formasi melingkar dan biasanya disesuaikan dengan tempat yang telah disediakan oleh pihak penyelenggara pertunjukan.
Dengan posisi melingkar bertujuan agar para musisi bisa saling berhadap-hadapan dalam posisi duduk bersila agar terjalin komunikasi antar pemaini untuk bisa saling mengontrol permainan satu sama lain.
Salah satu kitab yang digunakan untuk dibaca dalam kegiatan kesenian boudah tersebut adalah kitab yang berjudul Majmu’atu Maulidu Waad’iyah yang artinya “kumpulan kisah Mualid dan doa-doa, di mana masing-masing pemaian boudah ini memegang bobano dan satu kitab di depan mereka masing-masing.
Kebanyakan kesenian boudah atau borudah ini dimainkan atau dilakukan pada malam hari setiap ada acara keadatan adat-istiadat, dan posisi mereka di dalam “Solasa“ yang buat dan didirikan secara adat.
Kesenian boudah ini digunakan dalam konteks berbagai kegiatan masyarakat baik kegiatan yang dominan dalam adat-istiadat seperti nikah kawin (berinai, ijab qabul), khitanan, pemberian nama anak, dan peringatan hari-hari besar Islam dan hari besar kenegaraan baik di kampong tempat domisili kelompok boudah maupun di luar kampong.
Dikutip dari buku Burdah antara Kasidah, Mistis, dan Sejarah oleh Muhammad Adib, terdapat empat kelebihan dan keunikan dari qasidah burda, diantaranya syair dari qasidah burdah dianggap sebagai pelopor yang menghidupkan kembali syair- syair pujian terhadap Nabi Muhammad.
Selanjutnya, syair burdah dinilai sangat tinggi kualitas sastra dan pesan-pesan yang dimuat. Saking tingginya apresiasi dari para pemerhati sastra, syair ini disejajarkan dengan Banat Su’ad, syair legendaris yang sangat populer di kalangan sahabat Rasulullah.
Syair qasidah burdah terhitung cukup lengkap karena tidak hanya menyajikan sejarah dan pujian, namun juga berisi beragam ajaran tasawuf dan pesan moral yang mendalam. Selain sebagai wiridan, qasidah burdah dibaca secara berjamaah untuk mendatangkan kesembuhan dan mengusir malapetaka.
“Kita berharap budaya dan kesenian boudah yang ada di lima luhak Kabupaten Rohul ini terus eksis dan dilestarikan, bukan hanya eksis untuk ditampilkan dalam kegiatan keadatan dan sosial keagamaan serta pemerintahan, tapi juga di ajarkan atau diturunkan ke anak cucu, anak kemenakan, dan masyarakat Negeri Seribu Suluk pada umumnya, serta Provinsi Riau, sehingga seluruh adat dan tradisi menjadi jati diri dan menjadi pedoman. Insya Allah selamatlah kita di dunia dan di akhirat,” tegas Ismail Datuk Podano Montoi Penerima Anugrah Tokoh Budaya Riau ini. (hfz)
Laporan Engki Prima Putra, Rohul