Jumat, 22 November 2024

Asa di Penghujung Puasa

- Advertisement -

Malam ke-21 Ramadhan. Orang-orang sebagian bertambah khusyu’ berburu surga di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagiannya lagi sudah bersuka cita menyambut lebaran dengan belanja baju lebaran dan kue-kue. Sayupsayup terdengar suara orang mengaji di masjid dan surau. Sementara itu, aku terpaku dalam keheningan. Puasa kali ini terasa lain.

Kulirik Bang Fandi, suamiku, yang tengah konsentrasi menyetir. Kami menyusuri ruas jalan Pekanbaru-Sungaipakning, membelah malam yang seharusnya kami isi dengan kesibukan Ramadhan seperti orang-orang. Di jok belakang ada Ridwan, anak semata wayang kami, tertidur pulas. Mobil ini kami sewa, karena harus seharian membawa dia berobat di Pekanbaru. Sudah beberapa bulan ini dia mengeluh sakit di daerah punggungnya yang sempat cedera ketika bermain bersama anak-anak sebayanya di kampung kami.

- Advertisement -

Demi pengobatan Ridwan, kami rutin ke Pekanbaru untuk memenuhi jadwal rawat jalan. Dan akhirnya sampailah kami pada hari ini. Kami mendengarkan dokter menerangkan hasil pemeriksaan MRI Ridwan. Hasil MRI menunjukkan kondisi Ridwan yang tak dapat dibilang bagus. Kami terdiam saat dokter menyarankan Ridwan untuk segera dioperasi.

Kulirik suamiku sekali lagi. Kuberanikan diri membuka percakapan.

“Bang…”

- Advertisement -

“Iya Dik?”

“Jadi macam mana lagi, Bang? Soal Ridwan maksud Adik.” Suamiku terdiam sejenak.

“Ya macam mana lagi. Kalau itu yang terbaik menurut dokter, apalagi katanya mumpung anak kita masih kecil, lebih mudah sembuhnya. Memang harus tuntas, Dik…”

Aku menoleh kepadanya. “Tapi tadi katanya tak semua di-cover BPJS, Bang. Adik risau itu. Duit dari mana lagi?”

Bang Fandi menghela nafas. Tangan kirinya menggenggam jemariku.

“Dik, tidurlah, masih di Buatan ni, lama lagi sampai kat umah. Adik pasti letih jugo…”

Aku paham masalah ini berat bagi suamiku. Sejak Januari, dia hanya bekerja serabutan. Covid-19 berimbas kepada perusahaan tempatnya bekerja sebelumnya. Perusahaan memberhentikan sebagian besar pegawai, termasuk suamiku. Padahal Ridwan sedang menjalani pengobatan dan fisioterapi. Walaupun kami memakai asuransi, ternyata ada penambahan untuk biaya operasi Ridwan. Tak pelak, hal ini membuat kami berpikir keras bagaimana uang itu segera terkumpul.

Laju mobil terasa cepat di jalan yang lengang. Bang Fandi masih berkonsentrasi, sementara aku sibuk dalam pergulatan batinku.

 

*****

Belum hilang penat kami saat pagi-pagi mertuaku menelepon suamiku.

“Di, tolong jemput Mak, Mak kat RORO nak nyeberang Pakning. Mak ke rumah engkau eh…,” kata Mak, yang langsung diiyakan oleh Bang Fandi.

“Bang, Mak ado cakap nak nginap kat umah kito?,” tanyaku. Aku terkejut, kedatangan Mak sangat mendadak. Bukan tak suka, tapi dengan keuangan kami yang…. ah, payah nak dicakap.

Baca Juga:  Semua Penerbangan ke Cina Dihentikan

“Tak ado, Dik. Dah lah tak apo do, kito pandai-pandai ajolah ye, Dik. Dan jangan sampai Mak tau kalau Abang sudah tak ada kerja kantor lagi. Kang Mak ghisau pulak, Dik…”

Aku mengangguk lemah. Kubuka laci lemari, kuhitung-hitung sisa uang kami yang tak seberapa. Aduhai, sampaikah uang ini untuk lebaran? Tak lama setelah menjemput Mak di pelabuhan dan mengantarnya ke rumah, suamiku berpamitan. Berpura-pura hendak berangkat ke kantor.

“Mak, Fandi pergi kerja dulu,” pamitnya sambil mencium takzim punggung tangan orang tua itu.

“Iyo Di, hati-hati e…,” jawab Mak. Bang Fandi mengucap salam dan menghilang dari pandangan mata kami bersama motor kesayangannya. Mak melanjutkan obrolannya denganku.

“Engkau tau si Hasan, Sukma? Anak Pakcik Sulaiman. Dio dah tak kerjo lagi dah. Keno PHK kantor dio. Lepas tu si Ferdi anak Yong Fadli, samo jugo. Itulah, corona ni pasalnyo. Bersyukur engkau bebanyak, Fandi masih ado kerjo. Payah sekarang ni, Sukma…”

Aku tertunduk mendengar cerita Mak. Ada perasaan perih, namun sesuai pesan suamiku, Mak tak boleh tahu soal ini.

 

*****

Sudah lima hari. Setiap hari, Mak selalu minta dibuatkan masakan yang lezat dan mahal untuk ukuran kami sekarang. Sementara biasanya aku memutar otak agar seirit mungkin agar uang yang ada tak lekas habis. Jujur, aku tak tega melihat suami dan anakku harus makan dengan menu yang sangat sederhana. Kadangkala Bang Fandi pergi ke laut, memancing ikan untuk lauk kami.

“Masakan Sukma sedap, Mak suko. Tak apo agak mewah sikit, Mak tengok Ridwan banyak makan. Agak kurus dio semenjak sakit, biolah dio makan yang sedap-sedap…”

Abang dan aku berpandangan. Lalu dia mengangguk tanda setuju. Aku hendak protes, namun sekali lagi Abang mengangguk dan tersenyum. “Iya Mak, biar Sukma masak untuk Mak ye…,” kata Bang Fandi mengaminkan pinta ibunya.

Tak cukup sampai di situ. Tadi siang Mak minta ditemani berkeliling took pakaian. Mak memaksa kami membeli baju lebaran yang senada warnanya dengan baju lebaran Mak.

“Kang rayo kat Bengkalis kito elok pakai kain samo, Fandi,” desak Mak. Suamiku lagi-lagi mengabulkannya. Jadilah kami pulang dengan empat stel baju baru.

Puasa hampir habis. Uang simpanan kami pun nyaris penghabisan. Aku merasa putus asa. Air mataku tak terbendung selepas maghrib tadi, saat Abang dan aku mulai menyalakan pelita colok di halaman rumah kami pada malam ke-27 Ramadhan ini. Sementara itu, Ridwan dan neneknya tertawatawa bermain kembang api.

“Hapus air matamu, Dik. Tak enak nanti kalau Mak lihat. Istirahatlah di kamar, nanti kita bicarakan ya,” ujar suamiku perlahan. Angin laut Selat Bengkalis menyisakan hawa dingin di wajahku. Aku berlalu dan masuk ke dalam rumah. Tanpa kusadari Mak termangu menatapku saat itu.

Baca Juga:  Mayoritas OTG Belum Tertangani

Malam bergerak larut. Langit terlihat cerah karena sinaran lampu colok yang semarak. Bau minyak tanah menyeruak. Momen tradisi malam tujuh likow di Sungaipakning begitu indah.

Tapi kali ini aku tidak mampu menikmatinya. Tak mampu kutahan isak tangisku. Ya Allah, bukanlah hamba ini menantu tak berbakti. Aku hanya takut uang simpanan kami habis padahal kami sedang sangat butuh uang. Ampunilah kami yang tak sanggup bersih hati melayani orang tua kami…

“Fandi, Sukma, sinilah dulu. Ado hal Mak nak cakap.”

Bergegas kuseka air mata dan menemui Mak yang sudah duduk di ruang tamu. Bang Fandi baru selesai menidurkan Ridwan. Aku makin risau, khawatir Mak akan meminta ini itu lagi.

“Apa cerita, Mak?,” tanyaku hati-hati.

Mak tersenyum. “Fandi, Sukma, sebelumnya Mak minta maaf karena menyusahkan kalian. Mak bukan tak tau kalian sedang susah, tapi ngapo kalian tak ado cito dengan Mak? Kalau ado apo-apo tu bagi taulah oghang tuo ni, setidaknyo ado tempat engkau berkeluh kesah, Nak…”

Mataku berkabut mendengar kata-kata Mak.

“Sukma, Mak bersyukur engkau kuat menghadapi cobaan. Bantulah Fandi ye, bio dio semangat nak caghi kerjo lagi…”

Bang Fandi menahan air matanya. Sementara Mak tetap tersenyum sembari mengeluarkan sebuah amplop putih tebal dari saku bajunya.

“Fandi, Sukma, ini Mak ado sikit rejeki. Kebun almarhum ayah kalian dekat Bukit Batu semalam panen sawit. Ambiklah untuk kalian. Mano tau perlu jugo untuk Ridwan pergi berobat. Bio tuntas, bio lekas sehat lagi cucu Mak…”

Serta merta aku duduk berlutut di hadapan Mak. Tersedu-sedu, kupeluk dan kucium ujung kakinya. Kupintakan maaf yang sebesar-besarnya atas prasangka dan keberatanku kepada mertuaku itu. Bang Fandi tergugu dalam tangisnya. Dipeluknya tubuh Mak yang renta dengan penuh kasih sayang.

Tak ada kata lagi yang sanggup kami ucapkan malam itu. Kuletakkan kepalaku di pangkuan Mak, meresapi cinta Mak yang lembut mengusap rambutku. Suamiku masih memeluknya, erat-erat. Puasa kali ini memang berbeda. Sayup-sayup lantunan tadarus terdengar dari masjid di depan rumah kami, mengenai salah satu firman Tuhan. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (*)

Fajarwaty Kusumawardhani tinggal di Tuah Madani, Pekanbaru. Saat ini mengabdi sebagai Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIA) Unilak. Pendidikan Terakhirnya yakni Magister Administrasi Publik UGM Yogyakarta.

 

Malam ke-21 Ramadhan. Orang-orang sebagian bertambah khusyu’ berburu surga di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagiannya lagi sudah bersuka cita menyambut lebaran dengan belanja baju lebaran dan kue-kue. Sayupsayup terdengar suara orang mengaji di masjid dan surau. Sementara itu, aku terpaku dalam keheningan. Puasa kali ini terasa lain.

Kulirik Bang Fandi, suamiku, yang tengah konsentrasi menyetir. Kami menyusuri ruas jalan Pekanbaru-Sungaipakning, membelah malam yang seharusnya kami isi dengan kesibukan Ramadhan seperti orang-orang. Di jok belakang ada Ridwan, anak semata wayang kami, tertidur pulas. Mobil ini kami sewa, karena harus seharian membawa dia berobat di Pekanbaru. Sudah beberapa bulan ini dia mengeluh sakit di daerah punggungnya yang sempat cedera ketika bermain bersama anak-anak sebayanya di kampung kami.

- Advertisement -

Demi pengobatan Ridwan, kami rutin ke Pekanbaru untuk memenuhi jadwal rawat jalan. Dan akhirnya sampailah kami pada hari ini. Kami mendengarkan dokter menerangkan hasil pemeriksaan MRI Ridwan. Hasil MRI menunjukkan kondisi Ridwan yang tak dapat dibilang bagus. Kami terdiam saat dokter menyarankan Ridwan untuk segera dioperasi.

Kulirik suamiku sekali lagi. Kuberanikan diri membuka percakapan.

- Advertisement -

“Bang…”

“Iya Dik?”

“Jadi macam mana lagi, Bang? Soal Ridwan maksud Adik.” Suamiku terdiam sejenak.

“Ya macam mana lagi. Kalau itu yang terbaik menurut dokter, apalagi katanya mumpung anak kita masih kecil, lebih mudah sembuhnya. Memang harus tuntas, Dik…”

Aku menoleh kepadanya. “Tapi tadi katanya tak semua di-cover BPJS, Bang. Adik risau itu. Duit dari mana lagi?”

Bang Fandi menghela nafas. Tangan kirinya menggenggam jemariku.

“Dik, tidurlah, masih di Buatan ni, lama lagi sampai kat umah. Adik pasti letih jugo…”

Aku paham masalah ini berat bagi suamiku. Sejak Januari, dia hanya bekerja serabutan. Covid-19 berimbas kepada perusahaan tempatnya bekerja sebelumnya. Perusahaan memberhentikan sebagian besar pegawai, termasuk suamiku. Padahal Ridwan sedang menjalani pengobatan dan fisioterapi. Walaupun kami memakai asuransi, ternyata ada penambahan untuk biaya operasi Ridwan. Tak pelak, hal ini membuat kami berpikir keras bagaimana uang itu segera terkumpul.

Laju mobil terasa cepat di jalan yang lengang. Bang Fandi masih berkonsentrasi, sementara aku sibuk dalam pergulatan batinku.

 

*****

Belum hilang penat kami saat pagi-pagi mertuaku menelepon suamiku.

“Di, tolong jemput Mak, Mak kat RORO nak nyeberang Pakning. Mak ke rumah engkau eh…,” kata Mak, yang langsung diiyakan oleh Bang Fandi.

“Bang, Mak ado cakap nak nginap kat umah kito?,” tanyaku. Aku terkejut, kedatangan Mak sangat mendadak. Bukan tak suka, tapi dengan keuangan kami yang…. ah, payah nak dicakap.

Baca Juga:  Musim Panas, Jurnalis Kreatif Riau dan KLHK Webinar Mitigasi Karhutla

“Tak ado, Dik. Dah lah tak apo do, kito pandai-pandai ajolah ye, Dik. Dan jangan sampai Mak tau kalau Abang sudah tak ada kerja kantor lagi. Kang Mak ghisau pulak, Dik…”

Aku mengangguk lemah. Kubuka laci lemari, kuhitung-hitung sisa uang kami yang tak seberapa. Aduhai, sampaikah uang ini untuk lebaran? Tak lama setelah menjemput Mak di pelabuhan dan mengantarnya ke rumah, suamiku berpamitan. Berpura-pura hendak berangkat ke kantor.

“Mak, Fandi pergi kerja dulu,” pamitnya sambil mencium takzim punggung tangan orang tua itu.

“Iyo Di, hati-hati e…,” jawab Mak. Bang Fandi mengucap salam dan menghilang dari pandangan mata kami bersama motor kesayangannya. Mak melanjutkan obrolannya denganku.

“Engkau tau si Hasan, Sukma? Anak Pakcik Sulaiman. Dio dah tak kerjo lagi dah. Keno PHK kantor dio. Lepas tu si Ferdi anak Yong Fadli, samo jugo. Itulah, corona ni pasalnyo. Bersyukur engkau bebanyak, Fandi masih ado kerjo. Payah sekarang ni, Sukma…”

Aku tertunduk mendengar cerita Mak. Ada perasaan perih, namun sesuai pesan suamiku, Mak tak boleh tahu soal ini.

 

*****

Sudah lima hari. Setiap hari, Mak selalu minta dibuatkan masakan yang lezat dan mahal untuk ukuran kami sekarang. Sementara biasanya aku memutar otak agar seirit mungkin agar uang yang ada tak lekas habis. Jujur, aku tak tega melihat suami dan anakku harus makan dengan menu yang sangat sederhana. Kadangkala Bang Fandi pergi ke laut, memancing ikan untuk lauk kami.

“Masakan Sukma sedap, Mak suko. Tak apo agak mewah sikit, Mak tengok Ridwan banyak makan. Agak kurus dio semenjak sakit, biolah dio makan yang sedap-sedap…”

Abang dan aku berpandangan. Lalu dia mengangguk tanda setuju. Aku hendak protes, namun sekali lagi Abang mengangguk dan tersenyum. “Iya Mak, biar Sukma masak untuk Mak ye…,” kata Bang Fandi mengaminkan pinta ibunya.

Tak cukup sampai di situ. Tadi siang Mak minta ditemani berkeliling took pakaian. Mak memaksa kami membeli baju lebaran yang senada warnanya dengan baju lebaran Mak.

“Kang rayo kat Bengkalis kito elok pakai kain samo, Fandi,” desak Mak. Suamiku lagi-lagi mengabulkannya. Jadilah kami pulang dengan empat stel baju baru.

Puasa hampir habis. Uang simpanan kami pun nyaris penghabisan. Aku merasa putus asa. Air mataku tak terbendung selepas maghrib tadi, saat Abang dan aku mulai menyalakan pelita colok di halaman rumah kami pada malam ke-27 Ramadhan ini. Sementara itu, Ridwan dan neneknya tertawatawa bermain kembang api.

“Hapus air matamu, Dik. Tak enak nanti kalau Mak lihat. Istirahatlah di kamar, nanti kita bicarakan ya,” ujar suamiku perlahan. Angin laut Selat Bengkalis menyisakan hawa dingin di wajahku. Aku berlalu dan masuk ke dalam rumah. Tanpa kusadari Mak termangu menatapku saat itu.

Baca Juga:  Martha Lena Ditargetkan Raih Mahkota Miss Indonesia

Malam bergerak larut. Langit terlihat cerah karena sinaran lampu colok yang semarak. Bau minyak tanah menyeruak. Momen tradisi malam tujuh likow di Sungaipakning begitu indah.

Tapi kali ini aku tidak mampu menikmatinya. Tak mampu kutahan isak tangisku. Ya Allah, bukanlah hamba ini menantu tak berbakti. Aku hanya takut uang simpanan kami habis padahal kami sedang sangat butuh uang. Ampunilah kami yang tak sanggup bersih hati melayani orang tua kami…

“Fandi, Sukma, sinilah dulu. Ado hal Mak nak cakap.”

Bergegas kuseka air mata dan menemui Mak yang sudah duduk di ruang tamu. Bang Fandi baru selesai menidurkan Ridwan. Aku makin risau, khawatir Mak akan meminta ini itu lagi.

“Apa cerita, Mak?,” tanyaku hati-hati.

Mak tersenyum. “Fandi, Sukma, sebelumnya Mak minta maaf karena menyusahkan kalian. Mak bukan tak tau kalian sedang susah, tapi ngapo kalian tak ado cito dengan Mak? Kalau ado apo-apo tu bagi taulah oghang tuo ni, setidaknyo ado tempat engkau berkeluh kesah, Nak…”

Mataku berkabut mendengar kata-kata Mak.

“Sukma, Mak bersyukur engkau kuat menghadapi cobaan. Bantulah Fandi ye, bio dio semangat nak caghi kerjo lagi…”

Bang Fandi menahan air matanya. Sementara Mak tetap tersenyum sembari mengeluarkan sebuah amplop putih tebal dari saku bajunya.

“Fandi, Sukma, ini Mak ado sikit rejeki. Kebun almarhum ayah kalian dekat Bukit Batu semalam panen sawit. Ambiklah untuk kalian. Mano tau perlu jugo untuk Ridwan pergi berobat. Bio tuntas, bio lekas sehat lagi cucu Mak…”

Serta merta aku duduk berlutut di hadapan Mak. Tersedu-sedu, kupeluk dan kucium ujung kakinya. Kupintakan maaf yang sebesar-besarnya atas prasangka dan keberatanku kepada mertuaku itu. Bang Fandi tergugu dalam tangisnya. Dipeluknya tubuh Mak yang renta dengan penuh kasih sayang.

Tak ada kata lagi yang sanggup kami ucapkan malam itu. Kuletakkan kepalaku di pangkuan Mak, meresapi cinta Mak yang lembut mengusap rambutku. Suamiku masih memeluknya, erat-erat. Puasa kali ini memang berbeda. Sayup-sayup lantunan tadarus terdengar dari masjid di depan rumah kami, mengenai salah satu firman Tuhan. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (*)

Fajarwaty Kusumawardhani tinggal di Tuah Madani, Pekanbaru. Saat ini mengabdi sebagai Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIA) Unilak. Pendidikan Terakhirnya yakni Magister Administrasi Publik UGM Yogyakarta.

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari