Oleh: LEAK KUSTIYO, Direktur Utama Jawa Pos
Usia selalu auto bertambah. Semua auto makin tua. Tambah usia tapi tambah muda, pasti cuma muslihat dan penampakan belaka. Tapi, apa salahnya… Toh, semua yang muda juga dalam ancaman menua. Tua memang etape terakhir. Maka itu sebisanya, jauhilah. Sebab, setelah itu kita semua tahu: ke sanalah tempatnya. Hari ini genap 70 tahun usia Jawa Pos. Sudah tuakah? Penginnya sih, belum. Tapi, kan sudah 70 tahun? Emangnya kenapa…
Meski usia terus bertambah, Jawa Pos atau koran apa pun tidak perlu merasa diri tua. Apalagi melegalkan perasaannya menjadi tua benaran. Misalnya, membiarkan wajahnya kusut, kontennya tidak menarik, gaya jurnalistiknya tidak ’’chic’’, lalu ditinggalkan pembacanya. Seperti kebanyakan koran di seluruh dunia dalam lima tahun terakhir ini.
Percuma. Jika mati, pasti mati sia-sia. Di alam keabadian tidak tersedia tempat bagi arwah perusahaan koran yang mati. Maka itu, menjaga diri agar tetap muda, sehat secara bisnis, adalah hal yang terus dilakukan di tengah badai industri surat kabar yang melanda dunia saat ini. Hanya dengan cara kreatif di jalur jurnalistik yang benar-lah tanggung jawab sebagai media bisa dilakukan. Berkontribusi buat masyarakat luas, menjadi salah satu pilar penting demokrasi.
Sekarang semua serba-online dan medsos? Ya, Jawa Pos sebagai print media tahu itu. Tapi, seperti karakter masyarakat Jawa Timur, layaknya gaya Suroboyo, dan kebiasaan arek-arek Wonokromo yang percaya diri menatap perubahan, semua dihadapi dengan rileks. Sambil tetap mengamati, merancang strategi, untuk kemudian melangkah. Kata arek-arek Wonokromo: Ada duit nge-mal, nggak ada duit nongkrong di pinggir rel kereta api depan mal. Nonton yang punya duit lagi pada nge-mal. Bagaimana kalau ketinggalan kereta?
Perubahan memang melaju cepat, tapi sejatinya hanya berputar dan mengulang. Kereta yang meninggalkan, pada saat yang sama, bahkan jam yang sama, akan kembali pada stasiun yang sama, melewati rel yang sama, yaitu Stasiun Wonokromo yang ada di depan mal. Semua tak ubahnya matahari, hanya berputar. Berputar.
Kata Juan Senor, newspaper designer asal Spanyol yang sukses menyelamatkan koran-koran Amerika: Banyak hal yang telah berubah, tapi sebagian besar cara dan ritme hidup kita berjalan begitu-begitu saja.
Lebih jauh dia mengingatkan, kalau mau tetap hidup dalam putaran dunia yang terus berubah, caranya adalah: koran harus berubah. Nah, kalimat ’’koran harus berubah’’ inilah yang banyak disalahpahami oleh orang-orang koran sendiri dengan menyederhanakan persoalan menjadi: print pindah online.
Papar Juan Senor lebih lanjut, kalau sebuah tim redaksi surat kabar gagal mempertahankan hidup korannya, kemungkinan besar mereka juga tidak akan mampu membuat media online yang sukses. Sebaliknya, bila tim print media sukses menjalankan media konvensionalnya, kemungkinan besar mereka juga akan sukses menghadirkan konten media online yang menarik. Logika yang kalau diputar-putar ketemunya sama saja. Ujung-ujungnya adalah ’’need’’ pembaca apa, konten media seperti apa.
Kenapa? Karena, seperti kata Senor, hidup sebenarnya berjalan begitu-begitu saja. Baik media konvensional maupun media dunia maya, semuanya akan menghadapi tantangan yang sama: produk jurnalistiknya menarik atau tidak?
Mulai hari ini dan selanjutnya, di usia yang ke-70 tahun, Jawa Pos koran bersama jawapos.com akan menapaki langkah awalnya sebagai media print dan online yang hidup bersinergi serta sama-sama ingin terus maju. Bekal terbesar kami adalah kedisiplinan jurnalistik dan kreativitas yang khas Jawa Pos koran, berusaha terus gaul, sabar dalam mendengar apa kata pembaca, seperti kebiasaan yang berjalan selama ini.
Kado kecil-kecilan kami siapkan buat pembaca. Salah satunya adalah logo-logo fans sepakbola yang berlaga di Liga 1 yang dikemas lebih muda yang semua filenya bisa diunduh gratis lewat jawapos.com. Baca terus koran Jawa Pos, klik jawapos.com. Terima kasih buat para pembaca setia. Selalu ada yang baru!***