PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -Bertempat di aula kantor kecamatan Bukit Raya, Kamis (20/6/2019), Camat Bukit Raya Wahyu Idris membuka diskusi kajian tenun siak dalam program Pembangunan Masyarakat Berbasis Rukun Warga (PMB-RW).
Pantauan Riau Pos, puluhan masyarakat Pekanbaru, mulai dari perbankan, hotel, guru, Disperindag dari berbagai instansi antusias mengikuti kajian tersebut.
’’Optimalisasi pelestrian budaya melayu melalui pemanfaatan kerjasama kelola sosial. Dari program PMB-RW ini pun senada dengan program pemerintah pusat untuk memberikan dana kelurahannya dalam pelestarian budaya,’’ ujarnya.
Akademisi dari Universitas Lancang Kuning Ulul Azmi, mengungkapkan proses pelestarian songket melayu ada beberapa permasalahan. Salah satunya harganya yang mahal. Padahal itu karena proses pembuatannya yang memakan waktu hingga tiga bulan lamanya.
’’Konsepnya itu menghargai jerih payah pengrajin. Di Riau harganya sangat murah dibandingkan harga daerah lain. Seperti di Palembang harganya bisa puluhan juta. Di Riau masih di kisaran Rp1,5 jutaan,” jelasnya.
Untuk itulah, Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Bappeda berencana menjadikan Kecamatan Bukit Raya sebagai pilot projek pelestarian kain tenun agar dapat dikelola dan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Apalagi mulai 2019 ini, kegiatan pemberdayaan PMB-RW memiliki dua sumber anggaran, yakni APBD Pekanbaru dan APBN Kelurahan.
’’Setelah kegiatan ini agarbisa ditindaklanjuti. Budaya melayu sangat potensial sebagai objek wisata budaya. Tapi memang untuk pelestarian memang tidak terlepas dari satu sisi saja, saling bersinambungan dari permodalan, produksi, pemasaran dan pemanfaatan,” tutupnya. (*1)
PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -Bertempat di aula kantor kecamatan Bukit Raya, Kamis (20/6/2019), Camat Bukit Raya Wahyu Idris membuka diskusi kajian tenun siak dalam program Pembangunan Masyarakat Berbasis Rukun Warga (PMB-RW).
Pantauan Riau Pos, puluhan masyarakat Pekanbaru, mulai dari perbankan, hotel, guru, Disperindag dari berbagai instansi antusias mengikuti kajian tersebut.
- Advertisement -
’’Optimalisasi pelestrian budaya melayu melalui pemanfaatan kerjasama kelola sosial. Dari program PMB-RW ini pun senada dengan program pemerintah pusat untuk memberikan dana kelurahannya dalam pelestarian budaya,’’ ujarnya.
Akademisi dari Universitas Lancang Kuning Ulul Azmi, mengungkapkan proses pelestarian songket melayu ada beberapa permasalahan. Salah satunya harganya yang mahal. Padahal itu karena proses pembuatannya yang memakan waktu hingga tiga bulan lamanya.
- Advertisement -
’’Konsepnya itu menghargai jerih payah pengrajin. Di Riau harganya sangat murah dibandingkan harga daerah lain. Seperti di Palembang harganya bisa puluhan juta. Di Riau masih di kisaran Rp1,5 jutaan,” jelasnya.
Untuk itulah, Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Bappeda berencana menjadikan Kecamatan Bukit Raya sebagai pilot projek pelestarian kain tenun agar dapat dikelola dan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Apalagi mulai 2019 ini, kegiatan pemberdayaan PMB-RW memiliki dua sumber anggaran, yakni APBD Pekanbaru dan APBN Kelurahan.
’’Setelah kegiatan ini agarbisa ditindaklanjuti. Budaya melayu sangat potensial sebagai objek wisata budaya. Tapi memang untuk pelestarian memang tidak terlepas dari satu sisi saja, saling bersinambungan dari permodalan, produksi, pemasaran dan pemanfaatan,” tutupnya. (*1)