Jumat, 22 November 2024

Sudah 19 Tahun Menginjakkan Kaki di Kota Bertuah

- Advertisement -

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Bagi sejumlah orang, mungkin barang bekas tidak berguna. Tapi lain hal yang dirasakan Meta boru Siahaan. Ibu empat orang anak ini pagi-petang mengais rezeki lewat profesi yang kerap dipandang sebelah mata. Dia menggantungkan nasib menjadi spesialis pemburu barang bekas di Ibu Kota Provinsi Riau.

DI USIANYA yang masuk kepala empat, Meta dan anak-anaknya belum bisa merasakan nikmatnya kemewahan dunia. Sebab, kerasnya kehidupan dan minimnya bekal ilmu mengharuskannya untuk mengubur dalam-dalam ribuan mimpinya untuk menjalani hidup dengan santai di bawah payung kemegahan.

- Advertisement -

Setiap hari, dia bangun pagi, tanpa menyeterika baju lusuh-nya yang 3 hari sekali baru diganti. Diapun langsung bergegas menjemput rezeki. Sendirian, dirinya pun mulai berkeliling untuk mencari kara-kara tersebut sejak pagi bahkan hingga pukul 23.00 WIB. Terkadang anaknya yang lain menyusul sekitar tengah hari ketika dia sudah pulang bersekolah.

Saat ditemui Riau Pos di pelataran ruko minimarket tersebut, suara Boru Siahaan ini tampak parau dan lemas. "Saya belum makan," ungkapnya. Lantas, Riau Pos pun mengajak ibu dan anak yang tampak kelelahan ini untuk menyantap makan malam ala-kadarnya. Awalnya dia tampak sungkan. Hingga akhirnya makanan tersebut dibawa pulang untuk disantap bersama anak-anaknya yang menunggu di rumah. Lagi-lagi, diapun enggan menjelaskan keberadaan rumahnya tersebut.

Baca Juga:  Pembangunan SPALD Disosialisasikan

Selama ini, walau banting tulang pagi-petang, ternyata jerih payah Boru Siahaan itu tak sebanding dengan penghasilan yang didapat. Keringat yang mengucur dari pangkal dahi setiap pagi-petang selama berjuang dan bertahan hidup di sudut kota Pekanbaru rupanya hanya menghasilkan 20 ribu hingga 25 ribu rupiah.

- Advertisement -

"Dapatnya sedikit lho bang. Tengoklah harga kara-kara turun, kita jual ke agen dapatnya hanya sedikit. Kalau dihitung-hitung cuma dapat 20 ribu sampai 25 bang. Kadang bisa lebih, tapi nasib-nasipanlalah," tuturnya.

Sebagai pengumpul barang-barang bekas, hambatan dan fitnaan hingga cemoohan orang sering menjuru kepadanya. Terutama sering dituduh sebagai maling.

Sebab, rute yang dijalani meta Boru Siahaan ini terkadang memang masuk ke halaman rumah warga. "Orang tu enak saja ngomong, padahal awak cari kara-karanya. Barang yang tak terpakai, kitapun mau cari rezeki yang baik juga," ungkapnya.

Baca Juga:  Gubri Panggil BPJN dan BWSS  Bahas Kerusakan Pascabanjir

Meta Boru Siahaan bukan orang asli Pekanbaru. Wanita berdarah Batak ini berasal dari Padang Sidempuan Suma- tera Utara. Sejak 2000, dirinya pindah dari tanah leluhurnya itu ke Kota Metropolitan Madani. Alih-alih ingin hidup lebih baik, justeru hal yang sama dirasakannya seperti dulu di kampung.

Berada jauh dari kampung halaman, tentunya juga membuat ruang rindunya terha- dap orang tua dan keluarga besarnya meronta-ronta. Biasanya, lima tahun sekali barulah dia bisa pulang ke tanah kelahiran. Begitulah balada kehidupan yang dilakoninya.

"Pulang kampung tidak menentu. Biasa pulang 5 tahun sekali. Ya nabung dulu, ini udah lama tidak pulang, ongkosnya banyak. Tidak ada duit," katanya sambil sambil cengar-cengir.

Sebagai salah satu warga yang menjalani hidup dalam kepasrahan ibukota, Ia berharap ada secercah harapan untuk kehidupan yang lebih baik.

"Mimpi saya ke depan hidup kami lebih baik. Terutama anak-anak saya yang sekolah. Tuhan pasti tahu seberapa keras usaha sama doa kami," pungkasnya.(*1/ksm)

 

Laporan : MUSLIM NURDIN

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Bagi sejumlah orang, mungkin barang bekas tidak berguna. Tapi lain hal yang dirasakan Meta boru Siahaan. Ibu empat orang anak ini pagi-petang mengais rezeki lewat profesi yang kerap dipandang sebelah mata. Dia menggantungkan nasib menjadi spesialis pemburu barang bekas di Ibu Kota Provinsi Riau.

DI USIANYA yang masuk kepala empat, Meta dan anak-anaknya belum bisa merasakan nikmatnya kemewahan dunia. Sebab, kerasnya kehidupan dan minimnya bekal ilmu mengharuskannya untuk mengubur dalam-dalam ribuan mimpinya untuk menjalani hidup dengan santai di bawah payung kemegahan.

- Advertisement -

Setiap hari, dia bangun pagi, tanpa menyeterika baju lusuh-nya yang 3 hari sekali baru diganti. Diapun langsung bergegas menjemput rezeki. Sendirian, dirinya pun mulai berkeliling untuk mencari kara-kara tersebut sejak pagi bahkan hingga pukul 23.00 WIB. Terkadang anaknya yang lain menyusul sekitar tengah hari ketika dia sudah pulang bersekolah.

Saat ditemui Riau Pos di pelataran ruko minimarket tersebut, suara Boru Siahaan ini tampak parau dan lemas. "Saya belum makan," ungkapnya. Lantas, Riau Pos pun mengajak ibu dan anak yang tampak kelelahan ini untuk menyantap makan malam ala-kadarnya. Awalnya dia tampak sungkan. Hingga akhirnya makanan tersebut dibawa pulang untuk disantap bersama anak-anaknya yang menunggu di rumah. Lagi-lagi, diapun enggan menjelaskan keberadaan rumahnya tersebut.

- Advertisement -
Baca Juga:  Usai Sidak, TPS Ilegal Kembali Menjamur

Selama ini, walau banting tulang pagi-petang, ternyata jerih payah Boru Siahaan itu tak sebanding dengan penghasilan yang didapat. Keringat yang mengucur dari pangkal dahi setiap pagi-petang selama berjuang dan bertahan hidup di sudut kota Pekanbaru rupanya hanya menghasilkan 20 ribu hingga 25 ribu rupiah.

"Dapatnya sedikit lho bang. Tengoklah harga kara-kara turun, kita jual ke agen dapatnya hanya sedikit. Kalau dihitung-hitung cuma dapat 20 ribu sampai 25 bang. Kadang bisa lebih, tapi nasib-nasipanlalah," tuturnya.

Sebagai pengumpul barang-barang bekas, hambatan dan fitnaan hingga cemoohan orang sering menjuru kepadanya. Terutama sering dituduh sebagai maling.

Sebab, rute yang dijalani meta Boru Siahaan ini terkadang memang masuk ke halaman rumah warga. "Orang tu enak saja ngomong, padahal awak cari kara-karanya. Barang yang tak terpakai, kitapun mau cari rezeki yang baik juga," ungkapnya.

Baca Juga:  Pembangunan SPALD Disosialisasikan

Meta Boru Siahaan bukan orang asli Pekanbaru. Wanita berdarah Batak ini berasal dari Padang Sidempuan Suma- tera Utara. Sejak 2000, dirinya pindah dari tanah leluhurnya itu ke Kota Metropolitan Madani. Alih-alih ingin hidup lebih baik, justeru hal yang sama dirasakannya seperti dulu di kampung.

Berada jauh dari kampung halaman, tentunya juga membuat ruang rindunya terha- dap orang tua dan keluarga besarnya meronta-ronta. Biasanya, lima tahun sekali barulah dia bisa pulang ke tanah kelahiran. Begitulah balada kehidupan yang dilakoninya.

"Pulang kampung tidak menentu. Biasa pulang 5 tahun sekali. Ya nabung dulu, ini udah lama tidak pulang, ongkosnya banyak. Tidak ada duit," katanya sambil sambil cengar-cengir.

Sebagai salah satu warga yang menjalani hidup dalam kepasrahan ibukota, Ia berharap ada secercah harapan untuk kehidupan yang lebih baik.

"Mimpi saya ke depan hidup kami lebih baik. Terutama anak-anak saya yang sekolah. Tuhan pasti tahu seberapa keras usaha sama doa kami," pungkasnya.(*1/ksm)

 

Laporan : MUSLIM NURDIN

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari