PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Ahli Pidana Perbankan Prof Dr Jongker Sihombing SH SE MH mengomentari pledoi terdakwa kasus investasi bodong Fikasa Group (FG) Maryani yang dituntut 12 tahun penjara baru-baru ini. Perkara nomor 1169/Pid.Sus/2021/PN.Pbr dengan terdakwa Maryani, termasuk perkara nomor 1170/Pid.Sus/2021/PN.Pbr atas nama terdakwa Agung Salim, Bhakti Salim, Christian Salim dan Elly Salim menurutnya murni kasus pidana.
Jongker Sihombing menyebutkan , kasus dugaan inverstasi bodong mengakibatkan warga Pekanbaru merugi Rp84,9 miliar, adalah akibat promissory note atau surat sanggup yang dijual terdakwa kepada masyarakat luas. Investor yang membeli adalah masyarakat awam yang tingkat literasi keuangan tidak memadai.
"Jika namanya surat hutang (promissori note, red) atau sejenisnya, alternatifnya adalah, apakah hal itu merupakan instrumen pasar uang, jelas tidak. Karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan BI ataupun OJK. Alternatif kedua, apakah promissory note tersebut merupakan yang diperdagangkan di pasar modal berupa efek, juga tidak terpenuhi, karena diterbitkan tidak sesuai atau tidak melalui proses penawaran umum sesuai dengan Undang-Undang Pasar Modal, tidak melalui due diligensi, tidak menerbitkan prospektus, dan tidak memasukkan pernyataan pendaftaran ke OJK," ungkapnya.
Guru Besar Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ini juga mempertanyakan, apakah promissory note yang diperdagangkan Maryani melalui PT WBN dan PT TGP anak perusahaan Fikasa Group telah memenuhi kriteria surat hutang yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Sudah jelas, kata dia, promissory note yang mereka jual tidak memenuhi syarat sebagaimana tertuang dalam KUHD.
"Sebab, syarat ketiga dari tujuh syarat yang diatur dalam Pasal 174 KUHD menyatakan harus ada pernyataan sanggup membayar tanpa syarat. Pernyataan sanggup bayar tanpa syarat itu harus tercantum di dalam warkat promissory note atau surat sanggup tersebut," ungkapnya.
Jonker Sihombing yang juga menjadi saksi ahli dalam perkara ini mengatakan, fakta persidangan, dalam promissory note yang ditawarkan terdakwa melalui PT WBN atau PT TGP tidak ada tercantum surat sanggup bayar tanpa syarat. Dengan demikian, lanjut dia, tidak bisa digolongkan sebagai private placement sebagai seharusnya.
"Karena, jika private placement, maka promissory note harus dijual kepada 2-3 orang investor strategis, yang telah mempunyai hubungan saling mengenal dan mengetahui identitas. Dengan demikian, perbuatan terdakwa adalah menghimpun dana masyarakat dalam bentuk yang dipersamakan dengan deposito, Pasal 1.5 UU Perbankan yang seharusnya mendapat izin dari OJK sesuai Pasal 16 UU Perbankan," tegasnya.
Tanpa adanya izin OJK sebagai instansi yang berwenang, maka penerbitan promissory note tersebut jelas melanggar Pasal 46 Undang Undang Perbankan, yang termasuk perbuatan pidana. Jonker Sihombing berharap majelis yang menyidangkan perkara ini menjatuhkan pidana yang berat, agar perbuatan para terdakwa tidak terulang lagi.
Sebelumnya pada sidang dengan agenda pledoi terdakwa Maryani dan Agung Salim Cs yang digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Jumat (10/3), Penasehat Hukum Maryani dari Tim Penasehat Hukum Yudi Krismen mempertanyakan JPU yang menuntut Maryani 12 tahun penjara, denda Rp15 miliar.(end)