BAGDAD (RIAUPOS.CO) – Parlemen Irak baru saja mengesahkan undang-undang yang mengizinkan pernikahan anak-anak, dengan usia minimal 9 tahun bagi perempuan. Keputusan ini memicu gelombang reaksi keras dari berbagai kelompok hak perempuan dan aktivis, yang menyebutnya sebagai langkah mundur bagi hak asasi manusia, terutama untuk perempuan dan anak-anak.
Melansir The Guardian, Senin (27/1), undang-undang ini memberikan kewenangan kepada otoritas agama untuk memutuskan urusan keluarga, seperti pernikahan, perceraian, dan hak asuh anak. Dengan pengesahan ini, larangan terhadap pernikahan anak di bawah usia 18 tahun yang berlaku sejak tahun 1950-an dihapuskan.
Menanggapi hal ini, Mohammed Juma, seorang pengacara yang vokal menentang undang-undang tersebut. “Kami telah mencapai titik akhir bagi hak-hak perempuan dan hak-hak anak di Irak,’’ ujarnya.
Keputusan ini tidak hanya menuai sorotan karena membuka jalan bagi pernikahan anak di masa depan, tetapi juga berpotensi diterapkan secara retroaktif terhadap kasus-kasus yang sudah diproses di pengadilan. Artinya, undang-undang baru ini dapat memengaruhi keputusan-keputusan sebelumnya, seperti hak asuh anak atau kewajiban nafkah, yang telah diputuskan sebelum undang-undang ini disahkan.

Aktivis dan jurnalis Irak, Saja Hashim, mengungkapkan kekhawatirannya. “Fakta bahwa ulama memiliki kendali penuh dalam menentukan nasib perempuan sangat menakutkan. Saya takut akan masa depan saya sebagai perempuan,” ujar Saja Hashim.
Pernikahan anak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, yang kini mendapatkan dasar hukum yang lebih kuat di Irak.
Raya Faiq, juru bicara Coalition 188, sebuah kelompok feminis, juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan.
“Kami menerima rekaman suara seorang perempuan yang menangis karena suaminya mengancam akan membawa pergi putrinya, kecuali dia menyerahkan haknya atas dukungan finansial,” ujarnya. Cerita seperti ini, kata Faiq, menggambarkan penderitaan yang dapat timbul akibat disahkannya undang-undang ini.
Pernikahan anak memang sudah menjadi masalah kronis di Irak, dengan 28 persen gadis menikah sebelum berusia 18 tahun, menurut survei PBB tahun 2023. Bagi banyak gadis, pernikahan dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan, namun sering berakhir dengan kegagalan, membawa dampak sosial yang besar, serta menghalangi akses mereka terhadap pendidikan yang lebih baik.
Sayangnya, alih-alih memperketat regulasi untuk mencegah pernikahan anak dan meningkatkan akses pendidikan bagi perempuan muda, undang-undang baru ini justru memperbolehkan pernikahan anak berdasarkan sekte agama.
Bagi Muslim Syiah, yang merupakan mayoritas di Irak, usia terendah untuk pernikahan bagi perempuan adalah 9 tahun, sementara bagi Sunni, usia minimalnya adalah 15 tahun.(jpg)