Kamis, 12 September 2024

121 Tahun Pacu Jalur Kuantan Singingi (Bagian 3-Habis)

Pawang Jalur Sosok Berpengaruh di Tradisi Rantau Kuantan

Pacu jalur tradisional di tahun 2024 ini segera digelar Tepian Narosa Teluk Kuantan. Sungai Kuantan akan dijejal ratusan ribuan orang yang datang menyaksikan tradisi dan budaya Rantau Kuantan itu. Di sana akan terlihat pernak pernik pacu jalur warisan leluhur yang unik. Di saat pencabutan undi, jalur diisi anak pacu maupun dilepas berpacu. Di sana Pawang Jalur memainkan perannya.

Laporan Desriandi Candra, Telukkuantan

HINGAR-bingar suara penonton yang bersorak-sorai bisa dilihat dari jalannya setiap perpacuan jalur. Begitu pula kala perpacuan jalur di arena Tepian Rajo Kecamatan Pangean yang belum lama selesai digelar.

Pada tambatan kajang Jalur Rajo Bujang, Desa Padang Tanggung, Pangean –persis di pancang keempat seberang Sungai Kuantan– terlihat seorang laki-laki lanjut usia berada di luan jalur (ujung jalur bagian depan). Dia rela berendam di sungai, tempat tambatan jalur Rajo Bujang. Tak seorang pun anak pacuan berada di atas jalur. Semuanya masih berada di dalam tenda peristirahatan. Menunggu aba-aba dari orang tua itu.

- Advertisement -

Sosok laki-laki itu adalah Aprijamilis alias Naro. Dia adalah salah seorang Tua Jalur atau pawang Jalur Rajo Bujang yang dipercayai masyarakat Desa Padang Tanggung. Tangan Naro terlihat mengusap-usap ujung kepala jalur. Sesekali dia pindah ke kiri dan kanan, lalu tegak di bagian depan. Sesekali dia pun berendam di depan jalur dan berdiri. Mulut Naro terlihat membacakan sesuatu. Walau tidak terdengar apa yang dibacakannya, tetapi mulutnya terlihat jelas bergerak-gerak komat-kamit seperti membaca membaca doa atau mantra.

Setelah itu Naro terlihat menyirami jalur dengan air. Lalu dia melambaikan tangan ke Amun yang berada tak jauh dari tenda. Amun adalah Ketua Jalur Rajo Bujang. Amun menyampaikan aba-aba dari sang pawang kalau jalur Rajo Bujang sudah bisa di isi anak pacuan. Si tukang tari atau anak coki, adalah orang pertama mengisi jalur. Lalu diikuti tukang timbo ruang yang berada di tengah dan tukang onjai yang berada di bagian paling belakang jalur. Setelah ketiganya naik ke atas jalur, barulah semua anak pacuan naik ke dalam jalur sesuai tempatnya masing-masing yang sudah diatur.

- Advertisement -

Setelah semua anak pacuan naik ke dalam jalur, mereka tidak langsung memacukan jalurnya menuju pancang start untuk menunggu panggilan perpacuan, tapi menunggu aba-aba sang pawang. Seluruh pendayung jalur menengadahkan wajah ke langit. Setelah dirasa siap, Naro memberikan aba-aba pada seluruh anak pacuan untuk meluncurkan jalur kebanggaan mereka itu ke pancang start. Masyarakat desa yang berada di tambatan kajang dan pinggiran sungai, langsung bersorak-sorai memberikan dukungan agar jalur kebanggaan mereka memenangkan perlombaan.

Apa yang dilakukan Naro adalah bagian dari ritual singkat saat perpacuan. Ritual itu selalu dilakukan Naro saat akan berpacu. Baik ketika Jalur Rajo Bujang berhadapan dengan Jalur Siposan Rimbo –rekan sekecamatannya yang pernah empat kali juara iven nasional dan digelari Sang Jendral— maupun ketika di partai final melawan jalur baru Juragan Kuantan Kecamatan Gunung Toar. Laga sengit itu akhirnya dimenangkan Jalur Rajo Bujang. Kemenangan itu membuat jalur Rajo Bujang berhasil mempertahankan gelar juaranya secara beruntun di Tepian Rajo Pangean.

“Ini memang tugas saya sebelum jalur dipacukan, Nak,” kata Naro yang ditemui Riau Pos di tambatan kajang jalur Rajo Bujang kala itu.

Raut muka Naro, tampak sedikit memerah karena cuaca yang cukup panas ketika berbincang di Tepian Rajo. Naro rupanya sudah dipercaya masyarakat Desa Padang Tanggung sebagai seorang Tua Jalur atau pawang jalur sejak awal Jalur Rajo Bujang dibuat, yakni tahun 2005, atau sekitar 19 tahun lalu. Selama itu, dia hampir tidak pernah absen bersama Rajo Bujang dalam setiap gelanggang perpacuan. Baik di rayon kecamatan maupun iven nasional.

Naro pun bercerita bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa, agar langkah jalur Rajo Bujang dan anak pacuan, di mudahkan, dilapangkan, dan jauh dari gangguan yang tidak diinginkan dalam perpacuan.

“Kami hanya minta itu pada Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun, kita harus waspada dari setiap segala kemungkinan yang terjadi,” ujarnya.

Di Desa Padang Tanggung, ia diberi tugas sebagai orang tua di jalur atau pawang jalur. Perannya, mulai pencarian banan (kayu jalur) di hutan, penebangan, pembuatan, hingga perpacuan di arena-arena perpacuan jalur yang diikuti. Sebelum penebangan kayu jalur di hutan belantara, biasanya dia mencari hari baik. Setelah dapat, barulah ke hutan tempat kayu ditemukan. Dia pun membawa beberapa bekal yang dimintanya pada masyarakat desa. Seperti ayam hitam dan lainnya. Sebelum kayu ditebang, dilakukan sedikit ritual memanjatkan doa agar diizinkan dan di mudahkan mengambil kayu jalur yang sudah didapat. Masyarakat Kuansing dari dulu hingga sekarang meyakni, kalau kayu yang akan dibuat jalur dengan usia 100 tahun ke atas, ada mambang yang menunggunya. Mambang jalur sejenis mahluk halus penunggu kayu jalur yang bila tidak dipindahkan dari kayu yang akan diambil, bisa mendatangkan hal yang tidak baik. Dia pun melihat kondisi jalur. Baik panjang, lebar, dan jenisnya.

Baca Juga:  Apakah Puasa Batal Karena Tidak Membaca Niat ? Ini Penjelasan Buya Yahya

Begitu juga saat akan di mulai untuk proses pembuatan jalur, jalur selesai dibuat, jalur saat turun mandi (turun pertama ke sungai kuantan), jalur akan dipacukan, hingga jalur dikandangkan kembali.

“Perlu diobat (seperti ditepung tawar red) dengan dibarengi memanjatkan doa agar jalur yang dibuat berkah dan meraih kemenangan di setiap perpacuan. Kalau siap diobat, jalur tak boleh disentuh. Apalagi dilangkahi,” papar Naro.

Menurut orang tua jalur dulu, ada saja kejadian aneh yang terjadi saat dua jalur berpacu di Sungai Kuantan. Terkadang ada yang karam sesaat setelah dilepas dari pancang start, jalur tak mau dipacukan di sungai, terasa berat, dan lainnya. Karena itu, ritual yang dilakukan diharapkan dapat menghindari segala rintangan, hambatan yang tak terlihat, dan di lapangkan jalan saat berpacu.

“Percaya atau tidak, dulu sering terjadi di arena pacuan. Kita perlu waspada dan tetap mengingat Yang Maha Kuasa agar semuanya terhindar,” ujar Naro.

Apa yang dilakukannya, sebuah tradisi yang telah turun-temurun dilakukan para pendahulunya, nenek moyang Kuansing saat tradisi dan budaya pacu jalur dimulai. Padahal, usia pacu jalur terbilang tua. Dikenal sejak tahun 1903 atau 121 tahun silam. Tradisi itu masih tampak terlihat nyata di saat masa perpacuan jalur di Kuansing, meski zaman sudah jauh berubah. Zaman milenial, zaman teknologi tinggi saat ini. Namun masyarakat Kuansing percaya kalau ritual dan peran pawang jalur akan membawa keberuntungan dan jauh dari segala hambatan, rintangan, maupun gangguan. Baik kasat mata maupun tak kasat mata.

Menurut Ketua Jalur Rajo Bujang, Amun, Naro adalah satu dari beberapa orang tua atau pawang di Jalur Rajo Bujang. “Dari beberapa orang pawang jalur di Jalur Rajo Bujang, Pak Naro yang dituakan untuk ritual di Sungai Kuantan dan beberapa tugas lainnya. Dan kami masyarakat desa menyerahkan pada mereka. Ibarat orang yang didahulukan selangkah dalam jalur,” kata Amun.

Amun pun sama dengan Naro. Dia sudah dipercaya sebagai Ketua Jalur Rajo Bujang sejak dibuat tahun 2005 silam. Kata Amun, membuat jalur bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Tetapi tugas berat dari desa. Karena jalur juga menjadi simbol kalau di desa atau kampung itu masih ada laki-laki. Karena itu pembuatan jalur menjadi simbol marwah desa bagi mereka.

Sebelum jalur dibuat, masyarakat desa melakukan musyawarah. Menanyakan apakah semua masyarakat desa sepakat untuk membuat jalur. Musyawarah desa biasanya dilakukan di balai desa atau rumah godang. Dihadiri kepala desa, ninik mamak, penghulu, kepala desa, para pemuda maupun kaum ibu-ibu. Bila semua sepakat, barulah dibahas soal ke mana akan dicari banan atau kayu jalur, siapa orang tua (pawang jalur) dibawa, dari mana anggarannya, dan beberapa kebutuhan lainnya.

Setelah ditetapkan itu semua, desa mengirimkan utusan untuk mensurvei atau mencari banan jalur. Mereka yang diutus bukan orang sembarangan. Mereka harus tahu hutan belantara (rimbo) yang akan dituju. Dia juha harus tahu dengan jenis banan jalur yang dibuat, dia meter, dan panjang minimal untuk sebuah jalur tradisional. Setelah banan jalur didapat, utusan desa yang mensurvei pulang untuk membuat laporan. Masyarakat desa kembali melakukan musyawarah untuk persiapan penebangan kayu jalur dan maelo jalur (menarik jalur) untuk dibawa ke desa.

Untuk proses penebangan kayu jalur, selain tukang tebang kayu jalur, desa juga mengutus pawang jalur. Pawang jalur akan melakukan ritual penebangan. Ritual itu bertujuan agar dimudahkan dalam proses penebangan dan jauh dari gangguan mahluk gaib di hutan belantara. Dengan memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa, menaburkan beberapa jenis bunga di bawah pohon, pengasapan dan pemotongan ayam hitam yang dibawa dari desa, pawang jalur baru memerintahkan untuk dilakukan penebangan.

“Langkah-langkah ini diajarkan secara turun-temurun oleh orang tua di desa kami. Kami hanya mengikuti tradisi yang sudah diajarkan. Dan rasanya begitu pula di desa-desa lain di Kuansing yang memiliki jalur,” papar Amun.

Menurut lelaki yang hampir menginjak usia 50 tahun ini, tidak semua kayu bisa dibuat jalur. Tetapi ada jenis tertentu yang bisa dan baik untuk dibuat sebuah jalur. Beberapa jenis diantaranya jenis kayu marsawa, meranti, dan bonio dengan panjang 30-36 meter dan diameter 1,8 meter sampai 2 meter lebih. Jenis kayu dengan panjang dan dia meter seperti itu, tidaklah mudah didapatkan. Biasanya hanya kayu yang berusia 100 tahun ke atas yang memiliki panjang dan di meter kayu sebesar itu.

Maka, tidak di semua hutan belantara di Kuansing ada. Apalagi di zaman sekarang, hutan belantara sudah banyak yang ditebangi, sehingga pencarian kayu jalur terkadang sampai ke negeri orang. Ke kecamatan tetangga atau bahkan hingga ke kabupaten tetangga di Kuansing. Seperti Inhu, Pelalawan, dan Kampar. Makanya pencarian kayu jalur hingga berbulan-bulan.

Jalur Rajo Bujang yang mereka miliki sekarang, misalnya, mereka dapatkan di hutan Toro di Langgam, Kabupaten Pelalawan. Itu didapatkan setelah utusan desa yang ditunjuk sudah bolak-balik pulang ke desa melaporkan.

Baca Juga:  Awalnya Takut, Akhirnya Tersenyum Manis

Jenis kayu jalur Rajo Bujang 2005 berjenis kayu meranti dengan panjang 34 meter dan diameter 1,8 meter. Maka jalur Rajo Bujang BISA disi sebanyak 55 orang anak pacuan. Diakui Amun, proses maelo jalur ke desa mereka tidak lagi seperti dulu. Dengan membawa ratusan warga dan menyusun kayu-kayu seperti rel di dalam hutan untuk dilewati kayu jalur hingga ke Sungai Kuantan. Karena kayu jalur yang akan ditarik jauh dari Sungai Kuantan dan desa, untuk memudahkan penarikan dan membawa kayu jalur sampai ke desa, mereka menggunakan alat berat.

Apa yang dilakukan Naro, masyarakat Kuansing menyebutnya dengan ritual perpacu jalur tradisional. “Itu adalah bagian ritual pacu jalur saat berpacu,” ungkap salah seorang tokoh adat Kenegerian Teluk Kuantan Ir Emil Harda MM MBA Datuk Paduko Rajo ketika memaparkan pada Riau Pos, Senin (12/8/2024) pekan kemaren.

Ritual pacu jalur, menurutnya adalah sejumlah aktivitas atau praktik yang berkaitan dengan pacu jalur. Ritual tersebut dilakukan biasanya tidak saja pada saat pacu jalur (perlombaan) tetapi sudah dilakukan masyarakat jauh-jauh hari sebelumnya.

Biasanya, ritual itu dilakukan pada saat pencarian, penebangan banan (kayu) jalur, pembuatan jalur, perpaduan jalur sampai saat dikandangkan kembali usai perpaduan.

Kegiatan itu, melibatkan panitia/ketua jalur, pawang jalur, tukang jalur dan anak pacu. Dari empat komponen itu, pawang jalur merupakan orang yang mengurusi soal kebatinan. Tugas pawang jalur biasanya saat perlombaan atau perpacuan menentukan langkah jalur turun, menentukan lawan jalur, memberikan pandangan atau arahan mengenai jalur, mempersatukan anak pacu, bahkan dulu dipercaya melakukan tugas memompan (menyerang) jalur lawan secara kebatinan. Maka tak jarang, dulu sering dilihat pawang jalur ada yang menyendiri beberapa meter dari tambatan kajang jalur sambil membaca doa-doa dan tidak boleh diganggu.

Pawang jalur merupakan sosok yang bisa dikatakan sebagai tokoh sentral dalam ritual pacu jalur tradisional. Pawang jalur atau sering juga disebut ‘orang tuo’ jalur melakukan sejumlah aktivitas babalian, batonuang, manoreh, manyojuakkan, manyomah, rate limau, mamompan. Ada juga aktivitas lain yang dilakukan dengan campur tangan orang lain seperti maelo (menarik) jalur dan malayur (mendiang) jalur.

Dalam melakukan berbagai aktivitas itu, sang pawang jalur memerlukan sejumlah sarana atau perbekalan yang diperlukan. Minsal, jalur, kayu jalur, kayu bamayo, rabab, palangkahan, sabutiar bore, salawat, panunggu orang di rimbo sialang rantau nan batuah, kayu borek, mambang, kamonyan, topuang tawar, ayam jomue, saolai daun, telur dan lainnya.

Dari sisi jenis ritualnya, ritual pacu jalur tradisional termasuk jenis ritual perlindungan, terapi dan pembebasan. Ritual dilakukan pawang jalur untuk melindungi diri dari kemarahan mambang (mahluk halus) yang dipercaya ada dalam kayu jalur dan dari penyakit. Biasanya, bila ada anak pacu yang sakit, pawang jalur akan mengobatinya. Ritual itu juga bertujuan untuk menyelamatkan anak pacu dan jalur dari serangan lawan.

Ritual pacu jalur tradisional terdiri atas ungkapan verbal, ada perilaku dan benda-benda. Biasanya terdiri atas tiga kelompok. Pertama, berupa kumpulan leksion magis atau mantra atau doa-doa yang diucapkan sang pawang jalur. Kedua, ungkapan verbal berupa nama-nama benda seperti kemenyan, tepung tawar, limau. Ketiga, berupa aktivitas seperti babalian, batonuang, memasuki rimba, menyemah, maelo, rate limau, mamompan. Leksion-leksion itu merupakan fitur-fitur atau pernak pernik menyusun ritual sebagai sebuah sistem yang saling melengkapi.

Ritual pacu jalur tidak akan berlangsung bila yang tersedia hanya leksion benda. Begitu sebaliknya bila yang tersedia hanya leksion magis, mantra atau doa-doa, ritual tidak akan dilakukan. Leksion itu merupakan ekspresi realitas budaya masyarakat Kuansing.

Leksion-leksion yang digunakan dalam ritual pacu jalur tradisional, juga digunakan secara simbolis. Sebutir beras minsalnya, merupakan simbol kesucian niat untuk memperoleh hasil yang bagus. Urat kayu sepanjang 20cm, simbol ikatan antara mambang jalur dengan pawang jalur.

Lalu dalam ritual, rate limau pertama menyimbolkan jalur lawan dan potongan limau kedua menyimbolkan jalur sendiri. Tepung tawar digunakan untuk menawari segala bisa, penyakit yang dapat ditimbulkan dan kejahatan batin. Telur melambangkan calon sebuah kehidupan yang diberikan pada mambang dalam kayu jalur. Darah ayam jomue/biriang yang dipotong merupakan simbol pengorbanan untuk mambang jalur. Leksikon-leksion itu menyimbolkan realitas salah satu budaya di tengah masyarakat Rantau Kuantan, pacu jalur tradisional.

Ritual pacu jalur tradisional yang dilakukan pawang jalur memiliki beberapa fungsi. Seperti, sebagai petunjuk menemukan hutan yang ada kayu atau pohon jalur. Biasanya pawang jalur akan melakukan ritual babalian atau batonuang. Permohonan izin. Sebelum masyarakat masyarakat ke hutan belantara tempat mencari kayu jalur, pawang jalur akan memanjatkan doa meminta izin. Memelihara keselamatan, meramalkan, mengalahkan lawan dan fungsi lainnya.

“Tapi biasanya mantra atau doa yang dipakai menggunakan unsur-unsur agama Ialam. Agama yang dianut mayoritas masyarakat Kuansing. Dan pawang jalur yang ditunjuk juga beragama Islam. Sebelum melakukan ritual itu, pawang terlebih dahulu berdoa pada ALLAH SWT dan bersalawat pada Nabi,” ujar Emil Harda.***

Pacu jalur tradisional di tahun 2024 ini segera digelar Tepian Narosa Teluk Kuantan. Sungai Kuantan akan dijejal ratusan ribuan orang yang datang menyaksikan tradisi dan budaya Rantau Kuantan itu. Di sana akan terlihat pernak pernik pacu jalur warisan leluhur yang unik. Di saat pencabutan undi, jalur diisi anak pacu maupun dilepas berpacu. Di sana Pawang Jalur memainkan perannya.

Laporan Desriandi Candra, Telukkuantan

HINGAR-bingar suara penonton yang bersorak-sorai bisa dilihat dari jalannya setiap perpacuan jalur. Begitu pula kala perpacuan jalur di arena Tepian Rajo Kecamatan Pangean yang belum lama selesai digelar.

Pada tambatan kajang Jalur Rajo Bujang, Desa Padang Tanggung, Pangean –persis di pancang keempat seberang Sungai Kuantan– terlihat seorang laki-laki lanjut usia berada di luan jalur (ujung jalur bagian depan). Dia rela berendam di sungai, tempat tambatan jalur Rajo Bujang. Tak seorang pun anak pacuan berada di atas jalur. Semuanya masih berada di dalam tenda peristirahatan. Menunggu aba-aba dari orang tua itu.

Sosok laki-laki itu adalah Aprijamilis alias Naro. Dia adalah salah seorang Tua Jalur atau pawang Jalur Rajo Bujang yang dipercayai masyarakat Desa Padang Tanggung. Tangan Naro terlihat mengusap-usap ujung kepala jalur. Sesekali dia pindah ke kiri dan kanan, lalu tegak di bagian depan. Sesekali dia pun berendam di depan jalur dan berdiri. Mulut Naro terlihat membacakan sesuatu. Walau tidak terdengar apa yang dibacakannya, tetapi mulutnya terlihat jelas bergerak-gerak komat-kamit seperti membaca membaca doa atau mantra.

Setelah itu Naro terlihat menyirami jalur dengan air. Lalu dia melambaikan tangan ke Amun yang berada tak jauh dari tenda. Amun adalah Ketua Jalur Rajo Bujang. Amun menyampaikan aba-aba dari sang pawang kalau jalur Rajo Bujang sudah bisa di isi anak pacuan. Si tukang tari atau anak coki, adalah orang pertama mengisi jalur. Lalu diikuti tukang timbo ruang yang berada di tengah dan tukang onjai yang berada di bagian paling belakang jalur. Setelah ketiganya naik ke atas jalur, barulah semua anak pacuan naik ke dalam jalur sesuai tempatnya masing-masing yang sudah diatur.

Setelah semua anak pacuan naik ke dalam jalur, mereka tidak langsung memacukan jalurnya menuju pancang start untuk menunggu panggilan perpacuan, tapi menunggu aba-aba sang pawang. Seluruh pendayung jalur menengadahkan wajah ke langit. Setelah dirasa siap, Naro memberikan aba-aba pada seluruh anak pacuan untuk meluncurkan jalur kebanggaan mereka itu ke pancang start. Masyarakat desa yang berada di tambatan kajang dan pinggiran sungai, langsung bersorak-sorai memberikan dukungan agar jalur kebanggaan mereka memenangkan perlombaan.

Apa yang dilakukan Naro adalah bagian dari ritual singkat saat perpacuan. Ritual itu selalu dilakukan Naro saat akan berpacu. Baik ketika Jalur Rajo Bujang berhadapan dengan Jalur Siposan Rimbo –rekan sekecamatannya yang pernah empat kali juara iven nasional dan digelari Sang Jendral— maupun ketika di partai final melawan jalur baru Juragan Kuantan Kecamatan Gunung Toar. Laga sengit itu akhirnya dimenangkan Jalur Rajo Bujang. Kemenangan itu membuat jalur Rajo Bujang berhasil mempertahankan gelar juaranya secara beruntun di Tepian Rajo Pangean.

“Ini memang tugas saya sebelum jalur dipacukan, Nak,” kata Naro yang ditemui Riau Pos di tambatan kajang jalur Rajo Bujang kala itu.

Raut muka Naro, tampak sedikit memerah karena cuaca yang cukup panas ketika berbincang di Tepian Rajo. Naro rupanya sudah dipercaya masyarakat Desa Padang Tanggung sebagai seorang Tua Jalur atau pawang jalur sejak awal Jalur Rajo Bujang dibuat, yakni tahun 2005, atau sekitar 19 tahun lalu. Selama itu, dia hampir tidak pernah absen bersama Rajo Bujang dalam setiap gelanggang perpacuan. Baik di rayon kecamatan maupun iven nasional.

Naro pun bercerita bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa, agar langkah jalur Rajo Bujang dan anak pacuan, di mudahkan, dilapangkan, dan jauh dari gangguan yang tidak diinginkan dalam perpacuan.

“Kami hanya minta itu pada Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun, kita harus waspada dari setiap segala kemungkinan yang terjadi,” ujarnya.

Di Desa Padang Tanggung, ia diberi tugas sebagai orang tua di jalur atau pawang jalur. Perannya, mulai pencarian banan (kayu jalur) di hutan, penebangan, pembuatan, hingga perpacuan di arena-arena perpacuan jalur yang diikuti. Sebelum penebangan kayu jalur di hutan belantara, biasanya dia mencari hari baik. Setelah dapat, barulah ke hutan tempat kayu ditemukan. Dia pun membawa beberapa bekal yang dimintanya pada masyarakat desa. Seperti ayam hitam dan lainnya. Sebelum kayu ditebang, dilakukan sedikit ritual memanjatkan doa agar diizinkan dan di mudahkan mengambil kayu jalur yang sudah didapat. Masyarakat Kuansing dari dulu hingga sekarang meyakni, kalau kayu yang akan dibuat jalur dengan usia 100 tahun ke atas, ada mambang yang menunggunya. Mambang jalur sejenis mahluk halus penunggu kayu jalur yang bila tidak dipindahkan dari kayu yang akan diambil, bisa mendatangkan hal yang tidak baik. Dia pun melihat kondisi jalur. Baik panjang, lebar, dan jenisnya.

Baca Juga:  Apakah Puasa Batal Karena Tidak Membaca Niat ? Ini Penjelasan Buya Yahya

Begitu juga saat akan di mulai untuk proses pembuatan jalur, jalur selesai dibuat, jalur saat turun mandi (turun pertama ke sungai kuantan), jalur akan dipacukan, hingga jalur dikandangkan kembali.

“Perlu diobat (seperti ditepung tawar red) dengan dibarengi memanjatkan doa agar jalur yang dibuat berkah dan meraih kemenangan di setiap perpacuan. Kalau siap diobat, jalur tak boleh disentuh. Apalagi dilangkahi,” papar Naro.

Menurut orang tua jalur dulu, ada saja kejadian aneh yang terjadi saat dua jalur berpacu di Sungai Kuantan. Terkadang ada yang karam sesaat setelah dilepas dari pancang start, jalur tak mau dipacukan di sungai, terasa berat, dan lainnya. Karena itu, ritual yang dilakukan diharapkan dapat menghindari segala rintangan, hambatan yang tak terlihat, dan di lapangkan jalan saat berpacu.

“Percaya atau tidak, dulu sering terjadi di arena pacuan. Kita perlu waspada dan tetap mengingat Yang Maha Kuasa agar semuanya terhindar,” ujar Naro.

Apa yang dilakukannya, sebuah tradisi yang telah turun-temurun dilakukan para pendahulunya, nenek moyang Kuansing saat tradisi dan budaya pacu jalur dimulai. Padahal, usia pacu jalur terbilang tua. Dikenal sejak tahun 1903 atau 121 tahun silam. Tradisi itu masih tampak terlihat nyata di saat masa perpacuan jalur di Kuansing, meski zaman sudah jauh berubah. Zaman milenial, zaman teknologi tinggi saat ini. Namun masyarakat Kuansing percaya kalau ritual dan peran pawang jalur akan membawa keberuntungan dan jauh dari segala hambatan, rintangan, maupun gangguan. Baik kasat mata maupun tak kasat mata.

Menurut Ketua Jalur Rajo Bujang, Amun, Naro adalah satu dari beberapa orang tua atau pawang di Jalur Rajo Bujang. “Dari beberapa orang pawang jalur di Jalur Rajo Bujang, Pak Naro yang dituakan untuk ritual di Sungai Kuantan dan beberapa tugas lainnya. Dan kami masyarakat desa menyerahkan pada mereka. Ibarat orang yang didahulukan selangkah dalam jalur,” kata Amun.

Amun pun sama dengan Naro. Dia sudah dipercaya sebagai Ketua Jalur Rajo Bujang sejak dibuat tahun 2005 silam. Kata Amun, membuat jalur bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Tetapi tugas berat dari desa. Karena jalur juga menjadi simbol kalau di desa atau kampung itu masih ada laki-laki. Karena itu pembuatan jalur menjadi simbol marwah desa bagi mereka.

Sebelum jalur dibuat, masyarakat desa melakukan musyawarah. Menanyakan apakah semua masyarakat desa sepakat untuk membuat jalur. Musyawarah desa biasanya dilakukan di balai desa atau rumah godang. Dihadiri kepala desa, ninik mamak, penghulu, kepala desa, para pemuda maupun kaum ibu-ibu. Bila semua sepakat, barulah dibahas soal ke mana akan dicari banan atau kayu jalur, siapa orang tua (pawang jalur) dibawa, dari mana anggarannya, dan beberapa kebutuhan lainnya.

Setelah ditetapkan itu semua, desa mengirimkan utusan untuk mensurvei atau mencari banan jalur. Mereka yang diutus bukan orang sembarangan. Mereka harus tahu hutan belantara (rimbo) yang akan dituju. Dia juha harus tahu dengan jenis banan jalur yang dibuat, dia meter, dan panjang minimal untuk sebuah jalur tradisional. Setelah banan jalur didapat, utusan desa yang mensurvei pulang untuk membuat laporan. Masyarakat desa kembali melakukan musyawarah untuk persiapan penebangan kayu jalur dan maelo jalur (menarik jalur) untuk dibawa ke desa.

Untuk proses penebangan kayu jalur, selain tukang tebang kayu jalur, desa juga mengutus pawang jalur. Pawang jalur akan melakukan ritual penebangan. Ritual itu bertujuan agar dimudahkan dalam proses penebangan dan jauh dari gangguan mahluk gaib di hutan belantara. Dengan memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa, menaburkan beberapa jenis bunga di bawah pohon, pengasapan dan pemotongan ayam hitam yang dibawa dari desa, pawang jalur baru memerintahkan untuk dilakukan penebangan.

“Langkah-langkah ini diajarkan secara turun-temurun oleh orang tua di desa kami. Kami hanya mengikuti tradisi yang sudah diajarkan. Dan rasanya begitu pula di desa-desa lain di Kuansing yang memiliki jalur,” papar Amun.

Menurut lelaki yang hampir menginjak usia 50 tahun ini, tidak semua kayu bisa dibuat jalur. Tetapi ada jenis tertentu yang bisa dan baik untuk dibuat sebuah jalur. Beberapa jenis diantaranya jenis kayu marsawa, meranti, dan bonio dengan panjang 30-36 meter dan diameter 1,8 meter sampai 2 meter lebih. Jenis kayu dengan panjang dan dia meter seperti itu, tidaklah mudah didapatkan. Biasanya hanya kayu yang berusia 100 tahun ke atas yang memiliki panjang dan di meter kayu sebesar itu.

Maka, tidak di semua hutan belantara di Kuansing ada. Apalagi di zaman sekarang, hutan belantara sudah banyak yang ditebangi, sehingga pencarian kayu jalur terkadang sampai ke negeri orang. Ke kecamatan tetangga atau bahkan hingga ke kabupaten tetangga di Kuansing. Seperti Inhu, Pelalawan, dan Kampar. Makanya pencarian kayu jalur hingga berbulan-bulan.

Jalur Rajo Bujang yang mereka miliki sekarang, misalnya, mereka dapatkan di hutan Toro di Langgam, Kabupaten Pelalawan. Itu didapatkan setelah utusan desa yang ditunjuk sudah bolak-balik pulang ke desa melaporkan.

Baca Juga:  Anak-Anak pun Bermain Sambil Berburu Ikan Cupang

Jenis kayu jalur Rajo Bujang 2005 berjenis kayu meranti dengan panjang 34 meter dan diameter 1,8 meter. Maka jalur Rajo Bujang BISA disi sebanyak 55 orang anak pacuan. Diakui Amun, proses maelo jalur ke desa mereka tidak lagi seperti dulu. Dengan membawa ratusan warga dan menyusun kayu-kayu seperti rel di dalam hutan untuk dilewati kayu jalur hingga ke Sungai Kuantan. Karena kayu jalur yang akan ditarik jauh dari Sungai Kuantan dan desa, untuk memudahkan penarikan dan membawa kayu jalur sampai ke desa, mereka menggunakan alat berat.

Apa yang dilakukan Naro, masyarakat Kuansing menyebutnya dengan ritual perpacu jalur tradisional. “Itu adalah bagian ritual pacu jalur saat berpacu,” ungkap salah seorang tokoh adat Kenegerian Teluk Kuantan Ir Emil Harda MM MBA Datuk Paduko Rajo ketika memaparkan pada Riau Pos, Senin (12/8/2024) pekan kemaren.

Ritual pacu jalur, menurutnya adalah sejumlah aktivitas atau praktik yang berkaitan dengan pacu jalur. Ritual tersebut dilakukan biasanya tidak saja pada saat pacu jalur (perlombaan) tetapi sudah dilakukan masyarakat jauh-jauh hari sebelumnya.

Biasanya, ritual itu dilakukan pada saat pencarian, penebangan banan (kayu) jalur, pembuatan jalur, perpaduan jalur sampai saat dikandangkan kembali usai perpaduan.

Kegiatan itu, melibatkan panitia/ketua jalur, pawang jalur, tukang jalur dan anak pacu. Dari empat komponen itu, pawang jalur merupakan orang yang mengurusi soal kebatinan. Tugas pawang jalur biasanya saat perlombaan atau perpacuan menentukan langkah jalur turun, menentukan lawan jalur, memberikan pandangan atau arahan mengenai jalur, mempersatukan anak pacu, bahkan dulu dipercaya melakukan tugas memompan (menyerang) jalur lawan secara kebatinan. Maka tak jarang, dulu sering dilihat pawang jalur ada yang menyendiri beberapa meter dari tambatan kajang jalur sambil membaca doa-doa dan tidak boleh diganggu.

Pawang jalur merupakan sosok yang bisa dikatakan sebagai tokoh sentral dalam ritual pacu jalur tradisional. Pawang jalur atau sering juga disebut ‘orang tuo’ jalur melakukan sejumlah aktivitas babalian, batonuang, manoreh, manyojuakkan, manyomah, rate limau, mamompan. Ada juga aktivitas lain yang dilakukan dengan campur tangan orang lain seperti maelo (menarik) jalur dan malayur (mendiang) jalur.

Dalam melakukan berbagai aktivitas itu, sang pawang jalur memerlukan sejumlah sarana atau perbekalan yang diperlukan. Minsal, jalur, kayu jalur, kayu bamayo, rabab, palangkahan, sabutiar bore, salawat, panunggu orang di rimbo sialang rantau nan batuah, kayu borek, mambang, kamonyan, topuang tawar, ayam jomue, saolai daun, telur dan lainnya.

Dari sisi jenis ritualnya, ritual pacu jalur tradisional termasuk jenis ritual perlindungan, terapi dan pembebasan. Ritual dilakukan pawang jalur untuk melindungi diri dari kemarahan mambang (mahluk halus) yang dipercaya ada dalam kayu jalur dan dari penyakit. Biasanya, bila ada anak pacu yang sakit, pawang jalur akan mengobatinya. Ritual itu juga bertujuan untuk menyelamatkan anak pacu dan jalur dari serangan lawan.

Ritual pacu jalur tradisional terdiri atas ungkapan verbal, ada perilaku dan benda-benda. Biasanya terdiri atas tiga kelompok. Pertama, berupa kumpulan leksion magis atau mantra atau doa-doa yang diucapkan sang pawang jalur. Kedua, ungkapan verbal berupa nama-nama benda seperti kemenyan, tepung tawar, limau. Ketiga, berupa aktivitas seperti babalian, batonuang, memasuki rimba, menyemah, maelo, rate limau, mamompan. Leksion-leksion itu merupakan fitur-fitur atau pernak pernik menyusun ritual sebagai sebuah sistem yang saling melengkapi.

Ritual pacu jalur tidak akan berlangsung bila yang tersedia hanya leksion benda. Begitu sebaliknya bila yang tersedia hanya leksion magis, mantra atau doa-doa, ritual tidak akan dilakukan. Leksion itu merupakan ekspresi realitas budaya masyarakat Kuansing.

Leksion-leksion yang digunakan dalam ritual pacu jalur tradisional, juga digunakan secara simbolis. Sebutir beras minsalnya, merupakan simbol kesucian niat untuk memperoleh hasil yang bagus. Urat kayu sepanjang 20cm, simbol ikatan antara mambang jalur dengan pawang jalur.

Lalu dalam ritual, rate limau pertama menyimbolkan jalur lawan dan potongan limau kedua menyimbolkan jalur sendiri. Tepung tawar digunakan untuk menawari segala bisa, penyakit yang dapat ditimbulkan dan kejahatan batin. Telur melambangkan calon sebuah kehidupan yang diberikan pada mambang dalam kayu jalur. Darah ayam jomue/biriang yang dipotong merupakan simbol pengorbanan untuk mambang jalur. Leksikon-leksion itu menyimbolkan realitas salah satu budaya di tengah masyarakat Rantau Kuantan, pacu jalur tradisional.

Ritual pacu jalur tradisional yang dilakukan pawang jalur memiliki beberapa fungsi. Seperti, sebagai petunjuk menemukan hutan yang ada kayu atau pohon jalur. Biasanya pawang jalur akan melakukan ritual babalian atau batonuang. Permohonan izin. Sebelum masyarakat masyarakat ke hutan belantara tempat mencari kayu jalur, pawang jalur akan memanjatkan doa meminta izin. Memelihara keselamatan, meramalkan, mengalahkan lawan dan fungsi lainnya.

“Tapi biasanya mantra atau doa yang dipakai menggunakan unsur-unsur agama Ialam. Agama yang dianut mayoritas masyarakat Kuansing. Dan pawang jalur yang ditunjuk juga beragama Islam. Sebelum melakukan ritual itu, pawang terlebih dahulu berdoa pada ALLAH SWT dan bersalawat pada Nabi,” ujar Emil Harda.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari