Kamis, 12 September 2024

121 Tahun Pacu Jalur Kuantan Singingi (Bagian 2)

Tradisi Maelo Jalur yang Mulai Hilang

Masyarakat Rantau Kuantan atau Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) sekarang tentu saja berbangga hati. Tradisi budaya pacu jalur masih bisa bertahan di zaman era modern sekarang, era yang disebut era milenial. Namun harus diakui di usianya yang sudah tua menginjak 121 tahun, sejak dikenal 1903, tradisi budaya ini berangsur-angsur mulai pudar. Banyak diantaranya yang mulai hilang dalam proses pembuatan jalur. Satu diantaranya adalah tradisi maelo (menarik) jalur dari hutan belantara.

Laporan Desriandi Candra, Kuansing

PACU jalur tradisional iven nasional tahun 2024, tak lama lagi digelar di Tepian Narosa sebagai arena perpacuan jalur pamungkas. Ini menjadi bahan perbincangan masyarakat di desa-desa bahkan di warung-warung kopi. Mereka perbincangkan siapa yang akan menjadi juara, menjadi jalur yang tercepat dan memboyong piala bergilir Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI bersama uang tunai ratusan juta yang disiapkan Pemkab Kuansing dan panitia pelaksana.

Ratusan jalur akan “berseluncur” di Sungai Kuantan sepanjang satu kilometer itu. Jalur-jalur itu terlihat begitu cepat dan indah dengan ukiran ornamennya.

- Advertisement -

Sebelum menjadi sebuah jalur yang siap dipacukan, jalur ukuran besar rata-rata 34 meter itu melalui proses yang panjang. Ada proses pencarian kayu, penebangan maupun maelo (menarik) jalur ke desa untuk dibuat dan dibentuk sebaik mungkin sesuai keterampilan si tukang jalur.

Maelo (menarik) jalur, dalam trasi pacu jalur di Rantau Kuantan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembuatan jalur. Pada masa lalu, jauh dari era modern seperti sekarang ini, yang ditarik bukanlah banan (kayu) jalur. Melainkan kayu yang sudah dibentuk dan nampak bentuk jalurnya. Sebagian pekerjaan membuat jalur, sudah dikerjakan di hutan.

- Advertisement -

Ini dikarenakan menarik kayu jalur gelondongan atau bulat-bulat dengan ukuran 30-35 Meyer dan lebar mencapai 1,5 meter amatlah berat. Karena itu, kayu perlu diolah membentuk jalur sehingga mudah untuk dielo (ditarik) hingga ke banjar (desa).

“Begitulah tradisi maelo jalur pada masa lalu,” ungkap salah seorang tokoh adat Kenegerian Teluk Kuantan Ir Emil Harda MM MBA Datuk Paduko Rajo kepada Riau Pos, Senin (12/8) di Teluk Kuantan.

Barulah setelah haluan dan kemudi terbentuk, papar Emil Harda, maka sebuah jalur dianggap selesai setengah jadi dan siap dibawa pulang ke banjar (desa). Jalur setengah jadi yang dibuat dalam hutan tempat kayu didapat, harus dielo beramai-ramai dengan melibatkan orang sekampung dalam sebuah tradisi yang dikenal dengan maelo jalur (menarik jalur). Kegiatan ini memerlukan banyak tenaga dan waktu yang cukup panjang.

Dalam tradisi maelo jalur terlihat dengan jelas solidaritas sosial masyarakat. Tradisi maelo jalur mampu mengikat masyarakat untuk bersama-sama melakukan aktivitas menarik jalur. “Jalur dapat mempererat hubungan antar warga masyarakatnya,” papar Emil Harda.

Masyarakat secara sadar dan sukarela terlibat dalam kegiatan ini. Mereka menyadari bahwa kegiatan ini merupakan milik bersama kampung mereka sehingga mereka bertanggung jawab untuk menyukseskannya.

Solidaritas terlihat nyata dalam tradisi maelo jalur ini. Masyarakat mengorbankan waktu, materi dan tenaganya. Dimana saat maelo jalur, anggota masyarakat bersama-sama pergi ke hutan belantara untuk menarik kayu jalur ataupun jalur setengah jadi.

Biasanya, kegiatan maelo jalur dikomandoi oleh pawang jalur (urang tuo jalur) maupun ketua atau pengurus jalur. Pawang jalur dan pengurus jalur menetapkan harinya, dan masyarakat kampung mengikutinya.

Setelah ditetapkan harinya oleh si pawang jalur dan pengurus jalur, maka sehari sebelumnya tukang canang banjar yang ditunjuk mengumumkan tentang maelo jalur. Maka besok paginya seluruh masyarakat bergotong royong menarik jalur dari hutan ke desa. Tua muda semuanya pergi ke hutan pada hari itu.

Pada masa lalu, sehari sebelum maelo jalur, biasanya orang bujang di kampung membawa beras, tepung, telur, ikan sarden besar dengan segala perlengkapan yang akan dimasak di rumah pacarnya sekaligus untuk baobar (meminta izin ke orang tua pacarnya) untuk besok paginya ikut maelo jalur di hutan.

Setelah berkumpul, ditunjuklah beberapa orang penunjuk jalan yang diselingi gurauan, teriakan sebagai aba-aba apakah ada teman mereka di dalam hutan dan kondisi hutan.

Baca Juga:  Ditargetkan 100 Jalur di Tepian Pincuran Sati

Saat sampai di hutan, tempat kayu jalur, pengurus jalur membagi tugas masyarakat. Mencari tali temali dari akar manau (sejenis rotan) yang besar. Biasanya dengan panjang 200 meter. Sementara sebagian membuat paluang jalur (tempat mengikatkan tali) dan untuk pengaman agar jalur bila saat menurun tidak mudah tertanam. Sebagian lagi merintis atau membuat jalan jalur. Sementara yang lainnya mencari galang.

Maelo jalur ke kampung bersama-sama sangat menarik perhatian masyarakat Rantau Kuantan. Termasuk bujang dan gadi yang ikut turun. Dalam tradisi maelo jalur, sudah diatur sedemikian rupa. Bujang dan gadi (pemuda dan gadis) berada diujung tali. Sedangkan janda dan duda di tengah-tengah. Orang tua, pemuka masyarakat dan petugas komando dipangkal tali. Petugas pengamanan jalur yang disebut tukang toe (tukang tore) berada di jalur dan petugas galang memperhatikan galangnya. Begitu juga dengan petugas tali temali yang ditunjuk memperhatikan talinya bila putus.

“Berhenti saat ishoma makan dan salat. Setelah itu dilanjutkan lagi. Begitu seterusnya,” kata Sekjen Limbago Adat Nogori (LAN) Kabupaten Kuansing ini.

Maelo jalur, biasanya hanya dilakukan setiap hari ahad atau libur sampai jalur setengah jadi itu sampai ke desa. Tradisi maelo jalur ini memakan waktu yang panjang, biasanya 2-3 bulan hingga ke desa. Dimana semua proses maelo jalur berjalan lancar dan tidak ada kendala di hutan.

Pada saat sampai di desa, maelo jalur lebih meriah lagi dan lebih ramai. Karena masyarakat dari desa tetangga ikut datang melihatnya. Tradisi maelo jalur tak jarang menjadi ajang mencari pacar. Karena kegiatan itu juga diikuti laki-laki dan perempuan, tua dan muda.

Pada masa sekarang, dia melihat ada dua model yang dilakukan masyarakat dalam maelo jalur. Pertama, sebagian pekerjaan membuat jalur sudah dikerjakan di hutan sehingga kayu yang dielo adalah jalur setengah jadi. Kedua, semua pekerjaan membuat jalur dilakukan di desa, dan yang ditarik dari hutan betul-betul kayu bulat gelondongan. Ini dikarenakan mereka menariknya menggunakan alat berat milik perusahaan yang ada di sekitar lokasi dan tidak lagi dengan tenaga manusia.

Emil Harda tak menapik kalau dalam maelo jalur sekarang ini, kebiasaan-kebiasaan masyarakat mulai bergeser. Ini disebabkan perkembangan teknologi dan terbukanya akses jalan dari hutan ke desa oleh perusahaan-perusahaan swasta. Sehingga masyarakat desa tidak perlu lagi setiap hari Ahad pergi turun ke hutan maelo jalur.

Hal ini jika terus menerus terjadi, maka semangat kebersamaan dan gotong royong akan berangsur-angsur akan luntur. Begitu juga tradisi antar mengantar sesuatu oleh muda mudi yang akan di masak saat pergi maelo jalur tidak ada lagi.

Ketua Dewan Pembina Ikatan Ke­luarga Kuantan Singingi (IKKS) Pekanbaru, Dr H Edyanus Herman Halim SE MS pun mengakui kalau tradisi maelo jalur di kampuang memang sudah mulai pudar.

Menurutnya, ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, teknologi membuat hal itu menjadi tergerus. Menggunakan teknologi menjadi proses itu makin efisien. Perubahan ini wajar sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Sama halnya dengan alat memotong. Dulu manusia menggunakan kapak batu. Sekarang sudah pakai mesin pemotong. Teknologi memang membuat kebudayaan menjadi berubah karena manusia senantiasa ingin memperbaiki hasil secara efisien dan efektif.

Kedua, adalah keadaan georafis. Kayu jalur sudah mulai langka, sulit didapat. Terkadang adanya ditempat yang jauh dari kampung (desa). Tidak memungkinkan lagi ditarik beramai-ramai oleh masyarakat kampung. Tegakan kayu jalur sudah sulit mencarinya yang berada didekat kampung.

“Dulu dalam proses itu tidak ada teknologi yang dapat mempercepat dan memudahkannya,” kata Edyanus.

Ketika itu, rakyat secara bergotong royong melakukan proses itu. Mulai dari mencari dan memilih kayu tegakan yang cocok untuk dijadikan jalur sampai pada proses menumbangkannya. Setelah itu menarik kayu itu ke kampung setelah kayu dibentuk sedikit menjadi pola jalur. Kemudian secara bersama menariknya ke kampung. Kayunya relatif berat dan panjang sehingga masyarakat perlu bergotong royong untuk maelo (menarik) kayu tersebut ke kampung. Jaraknya saat itu masih tidak begitu jauh.

Kalau tradisi itu mau dilestarikan tentu tidak mungkin lagi secara nyata. Namun bila ingin menampilkannya sebagai cerminan masa lalu maka dapat dilakukan personifikasinya melalui acara tertentu yang dibuat untuk simulasi maelo jalur itu.

Baca Juga:  Komitmen Pemkab Berikan Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Dulu, simulasi maelo jalur dilakukan di hutan kota Pulau Bungin. Tujuannya untuk memberitahukan kepada khalayak bahwa zaman dulunya seperti ini cara membuat jalur. Acara itu dikemas sebagai bahagian dari atraksi wisata.

Manfaatnya selain memberi tau proses pembuatan jalur secara tradisional juga dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam proses itu sangat tinggi dan kalau diimplementasikan dalam tata kehidupan sekarang masih akan sangat baik. Seperti, kegotongroyongan, keikhlasan berkorban, tenggang rasa, tolong menolong, sinergi keahlian, partisipasi kolaboratif maupun persahabatan yang bisa berujung pada pembentukan keluarga.

Dia mengusulkan agar pemerintah daerah sebaiknya tetap memelihara simulasi Maelo Jaluar karena lokasi untuk acara itu ada. Dalam acara pembukaan hendaknya itu tetap diselenggarakan sebagai bagian dari proses melestarikan nilai-nilai budaya leluhur.

Pada hari pembukaan itu lomba pacuan mungkin tidak perlu banyak-banyak ditampilkan, tetapi lebih banyak diisi oleh acara pengenalan tradisi dan nilai-nilai budaya saja. “Mungkin untuk lomba hari pertama itu, cukup tiga atau lima kali hilir saja,” ujarnya.

Ke depan perlu dipikirkan jangan sampai pacu jalur lebih dominan kompetisinya. Tetapi mengupayakan lebih mengedepankan mempertahankan nilai-nilai budayanya.

Selain itu, pemerintah daerah dinilai perlu membuat Perda masalah ini. Mulai dari bentuk jalur, nama jalur, tata tertib pacu jalur, kelengkapan personel jalur, model tampilannya, haruslah diatur dengan tetap mengedepankan adat dan budaya pacu jalur yang sebelum ini ada di Kuantan itu.

Kondisi ini pun terlihat hampir di semua desa di Kuansing yang bersentuhan dengan sungai Kuantan. Minsalnya saja Desa Kampung Baru Sentajo Kecamatan Sentajo Raya yang membuat jalur baru Pangeran Keramat Tangan Biso.

Menurut Pj Kades Desa Kampung Baru Sentajo yang ketika itu masih dijabat Mashuri Spd, kayu jalur baru Pangeran Keramat Tangan Biso didapat di kawasan hutan lindung Sentajo Raya. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari desa.

Usai penebangan, maelo jalur dilakukan oleh masyarakat kampung, tua muda, laki-laki dan perempuan hingga ke jalan besar. Dari situ, dibawa dengan menggunakan alat berat ke desa diiringi penduduk kampung.

Tujuannya tidak lain agar cepat sampai ke desa dan pekerjaan bisa terbantu.

Begitu juga di Desa Padang Tanggung Pangean dalam pembuatan Jalur Rajo Bujang 2005 lalu. Mereka harus meminta bantuan alat berat perusahaan untuk mengeluarkan kayu jalur dan membawa ke desa.

Ini semua dikarenakan lokasi pengambilan kayu jalur yang jauh di Toro Kabupaten Pelalawan. Sehingga desa dan pengurus jalur, kata Kepala Desa Padang Tanggung Pangean Tamrin yang ditemui terpisah, menggunakan alat berat. “Kalau dengan menggunakan tenaga manusia maelo jalur tidak memungkinkan. Butuh berapa bulan baru sampai ke desa. Lokasinya sangat jauh dari desa,” kata Tamrin.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Kuansing, Drs Azhar MM pun tak mengelaknya. Menurutnya, alasan jauh dari desa, kayu yang besar, medan yang sulit serta teknologi yang ada, membuat sekarang banyak masyarakat desa yang membuat jalur untuk proses maelo jalur menggunakan alat berat. Baik di sewa maupun dipinjam.

Kondisi itu merupakan sebuah perkembangan zaman dan teknologi. Sehingga membuat saat ini tradisi maelo jalur Kuansing mulai pudar. “Itu memang tidak bisa dihindari. Faktor jarak serta efisiensi waktu, membuat banyak desa memilih menggunakan alat berat dalam maelo jalur sampai ke desa mereka,” ujar Azhar.

Tetapi Dinas Budpar Kuansing dalam memasarkan tradisi pacu jalur ke daerah tetangga, kementerian maupun dalam iven lain yang dihadiri wisatawan lokal dan mancanegara tetap menyampaikan bahwa dalam proses pembuatan jalur, ada tradisi maelo jalur.

Dia menyarankan, desa-desa yang pengambilan kayu jalur berdekatan dengan sungai, jalan besar dan tidak jauh dari desa, bisa melakukan tradisi maelo jalur walupun hingga ke jalan besar. Sehingga anak-anak muda generasi sekarang bisa memahaminya, ada tradisi maelo jalur dan ada semangat kebersamaan, gotong royong dalam tradisi itu.(Bersambung)

Masyarakat Rantau Kuantan atau Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) sekarang tentu saja berbangga hati. Tradisi budaya pacu jalur masih bisa bertahan di zaman era modern sekarang, era yang disebut era milenial. Namun harus diakui di usianya yang sudah tua menginjak 121 tahun, sejak dikenal 1903, tradisi budaya ini berangsur-angsur mulai pudar. Banyak diantaranya yang mulai hilang dalam proses pembuatan jalur. Satu diantaranya adalah tradisi maelo (menarik) jalur dari hutan belantara.

Laporan Desriandi Candra, Kuansing

PACU jalur tradisional iven nasional tahun 2024, tak lama lagi digelar di Tepian Narosa sebagai arena perpacuan jalur pamungkas. Ini menjadi bahan perbincangan masyarakat di desa-desa bahkan di warung-warung kopi. Mereka perbincangkan siapa yang akan menjadi juara, menjadi jalur yang tercepat dan memboyong piala bergilir Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI bersama uang tunai ratusan juta yang disiapkan Pemkab Kuansing dan panitia pelaksana.

Ratusan jalur akan “berseluncur” di Sungai Kuantan sepanjang satu kilometer itu. Jalur-jalur itu terlihat begitu cepat dan indah dengan ukiran ornamennya.

Sebelum menjadi sebuah jalur yang siap dipacukan, jalur ukuran besar rata-rata 34 meter itu melalui proses yang panjang. Ada proses pencarian kayu, penebangan maupun maelo (menarik) jalur ke desa untuk dibuat dan dibentuk sebaik mungkin sesuai keterampilan si tukang jalur.

Maelo (menarik) jalur, dalam trasi pacu jalur di Rantau Kuantan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembuatan jalur. Pada masa lalu, jauh dari era modern seperti sekarang ini, yang ditarik bukanlah banan (kayu) jalur. Melainkan kayu yang sudah dibentuk dan nampak bentuk jalurnya. Sebagian pekerjaan membuat jalur, sudah dikerjakan di hutan.

Ini dikarenakan menarik kayu jalur gelondongan atau bulat-bulat dengan ukuran 30-35 Meyer dan lebar mencapai 1,5 meter amatlah berat. Karena itu, kayu perlu diolah membentuk jalur sehingga mudah untuk dielo (ditarik) hingga ke banjar (desa).

“Begitulah tradisi maelo jalur pada masa lalu,” ungkap salah seorang tokoh adat Kenegerian Teluk Kuantan Ir Emil Harda MM MBA Datuk Paduko Rajo kepada Riau Pos, Senin (12/8) di Teluk Kuantan.

Barulah setelah haluan dan kemudi terbentuk, papar Emil Harda, maka sebuah jalur dianggap selesai setengah jadi dan siap dibawa pulang ke banjar (desa). Jalur setengah jadi yang dibuat dalam hutan tempat kayu didapat, harus dielo beramai-ramai dengan melibatkan orang sekampung dalam sebuah tradisi yang dikenal dengan maelo jalur (menarik jalur). Kegiatan ini memerlukan banyak tenaga dan waktu yang cukup panjang.

Dalam tradisi maelo jalur terlihat dengan jelas solidaritas sosial masyarakat. Tradisi maelo jalur mampu mengikat masyarakat untuk bersama-sama melakukan aktivitas menarik jalur. “Jalur dapat mempererat hubungan antar warga masyarakatnya,” papar Emil Harda.

Masyarakat secara sadar dan sukarela terlibat dalam kegiatan ini. Mereka menyadari bahwa kegiatan ini merupakan milik bersama kampung mereka sehingga mereka bertanggung jawab untuk menyukseskannya.

Solidaritas terlihat nyata dalam tradisi maelo jalur ini. Masyarakat mengorbankan waktu, materi dan tenaganya. Dimana saat maelo jalur, anggota masyarakat bersama-sama pergi ke hutan belantara untuk menarik kayu jalur ataupun jalur setengah jadi.

Biasanya, kegiatan maelo jalur dikomandoi oleh pawang jalur (urang tuo jalur) maupun ketua atau pengurus jalur. Pawang jalur dan pengurus jalur menetapkan harinya, dan masyarakat kampung mengikutinya.

Setelah ditetapkan harinya oleh si pawang jalur dan pengurus jalur, maka sehari sebelumnya tukang canang banjar yang ditunjuk mengumumkan tentang maelo jalur. Maka besok paginya seluruh masyarakat bergotong royong menarik jalur dari hutan ke desa. Tua muda semuanya pergi ke hutan pada hari itu.

Pada masa lalu, sehari sebelum maelo jalur, biasanya orang bujang di kampung membawa beras, tepung, telur, ikan sarden besar dengan segala perlengkapan yang akan dimasak di rumah pacarnya sekaligus untuk baobar (meminta izin ke orang tua pacarnya) untuk besok paginya ikut maelo jalur di hutan.

Setelah berkumpul, ditunjuklah beberapa orang penunjuk jalan yang diselingi gurauan, teriakan sebagai aba-aba apakah ada teman mereka di dalam hutan dan kondisi hutan.

Baca Juga:  Permainan Tradisional Sudah Banyak Dilupakan

Saat sampai di hutan, tempat kayu jalur, pengurus jalur membagi tugas masyarakat. Mencari tali temali dari akar manau (sejenis rotan) yang besar. Biasanya dengan panjang 200 meter. Sementara sebagian membuat paluang jalur (tempat mengikatkan tali) dan untuk pengaman agar jalur bila saat menurun tidak mudah tertanam. Sebagian lagi merintis atau membuat jalan jalur. Sementara yang lainnya mencari galang.

Maelo jalur ke kampung bersama-sama sangat menarik perhatian masyarakat Rantau Kuantan. Termasuk bujang dan gadi yang ikut turun. Dalam tradisi maelo jalur, sudah diatur sedemikian rupa. Bujang dan gadi (pemuda dan gadis) berada diujung tali. Sedangkan janda dan duda di tengah-tengah. Orang tua, pemuka masyarakat dan petugas komando dipangkal tali. Petugas pengamanan jalur yang disebut tukang toe (tukang tore) berada di jalur dan petugas galang memperhatikan galangnya. Begitu juga dengan petugas tali temali yang ditunjuk memperhatikan talinya bila putus.

“Berhenti saat ishoma makan dan salat. Setelah itu dilanjutkan lagi. Begitu seterusnya,” kata Sekjen Limbago Adat Nogori (LAN) Kabupaten Kuansing ini.

Maelo jalur, biasanya hanya dilakukan setiap hari ahad atau libur sampai jalur setengah jadi itu sampai ke desa. Tradisi maelo jalur ini memakan waktu yang panjang, biasanya 2-3 bulan hingga ke desa. Dimana semua proses maelo jalur berjalan lancar dan tidak ada kendala di hutan.

Pada saat sampai di desa, maelo jalur lebih meriah lagi dan lebih ramai. Karena masyarakat dari desa tetangga ikut datang melihatnya. Tradisi maelo jalur tak jarang menjadi ajang mencari pacar. Karena kegiatan itu juga diikuti laki-laki dan perempuan, tua dan muda.

Pada masa sekarang, dia melihat ada dua model yang dilakukan masyarakat dalam maelo jalur. Pertama, sebagian pekerjaan membuat jalur sudah dikerjakan di hutan sehingga kayu yang dielo adalah jalur setengah jadi. Kedua, semua pekerjaan membuat jalur dilakukan di desa, dan yang ditarik dari hutan betul-betul kayu bulat gelondongan. Ini dikarenakan mereka menariknya menggunakan alat berat milik perusahaan yang ada di sekitar lokasi dan tidak lagi dengan tenaga manusia.

Emil Harda tak menapik kalau dalam maelo jalur sekarang ini, kebiasaan-kebiasaan masyarakat mulai bergeser. Ini disebabkan perkembangan teknologi dan terbukanya akses jalan dari hutan ke desa oleh perusahaan-perusahaan swasta. Sehingga masyarakat desa tidak perlu lagi setiap hari Ahad pergi turun ke hutan maelo jalur.

Hal ini jika terus menerus terjadi, maka semangat kebersamaan dan gotong royong akan berangsur-angsur akan luntur. Begitu juga tradisi antar mengantar sesuatu oleh muda mudi yang akan di masak saat pergi maelo jalur tidak ada lagi.

Ketua Dewan Pembina Ikatan Ke­luarga Kuantan Singingi (IKKS) Pekanbaru, Dr H Edyanus Herman Halim SE MS pun mengakui kalau tradisi maelo jalur di kampuang memang sudah mulai pudar.

Menurutnya, ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, teknologi membuat hal itu menjadi tergerus. Menggunakan teknologi menjadi proses itu makin efisien. Perubahan ini wajar sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Sama halnya dengan alat memotong. Dulu manusia menggunakan kapak batu. Sekarang sudah pakai mesin pemotong. Teknologi memang membuat kebudayaan menjadi berubah karena manusia senantiasa ingin memperbaiki hasil secara efisien dan efektif.

Kedua, adalah keadaan georafis. Kayu jalur sudah mulai langka, sulit didapat. Terkadang adanya ditempat yang jauh dari kampung (desa). Tidak memungkinkan lagi ditarik beramai-ramai oleh masyarakat kampung. Tegakan kayu jalur sudah sulit mencarinya yang berada didekat kampung.

“Dulu dalam proses itu tidak ada teknologi yang dapat mempercepat dan memudahkannya,” kata Edyanus.

Ketika itu, rakyat secara bergotong royong melakukan proses itu. Mulai dari mencari dan memilih kayu tegakan yang cocok untuk dijadikan jalur sampai pada proses menumbangkannya. Setelah itu menarik kayu itu ke kampung setelah kayu dibentuk sedikit menjadi pola jalur. Kemudian secara bersama menariknya ke kampung. Kayunya relatif berat dan panjang sehingga masyarakat perlu bergotong royong untuk maelo (menarik) kayu tersebut ke kampung. Jaraknya saat itu masih tidak begitu jauh.

Kalau tradisi itu mau dilestarikan tentu tidak mungkin lagi secara nyata. Namun bila ingin menampilkannya sebagai cerminan masa lalu maka dapat dilakukan personifikasinya melalui acara tertentu yang dibuat untuk simulasi maelo jalur itu.

Baca Juga:  Ada Sura Sulu Maskot Pemilu dan Petugas Kenakan Pakaian Tradisional

Dulu, simulasi maelo jalur dilakukan di hutan kota Pulau Bungin. Tujuannya untuk memberitahukan kepada khalayak bahwa zaman dulunya seperti ini cara membuat jalur. Acara itu dikemas sebagai bahagian dari atraksi wisata.

Manfaatnya selain memberi tau proses pembuatan jalur secara tradisional juga dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam proses itu sangat tinggi dan kalau diimplementasikan dalam tata kehidupan sekarang masih akan sangat baik. Seperti, kegotongroyongan, keikhlasan berkorban, tenggang rasa, tolong menolong, sinergi keahlian, partisipasi kolaboratif maupun persahabatan yang bisa berujung pada pembentukan keluarga.

Dia mengusulkan agar pemerintah daerah sebaiknya tetap memelihara simulasi Maelo Jaluar karena lokasi untuk acara itu ada. Dalam acara pembukaan hendaknya itu tetap diselenggarakan sebagai bagian dari proses melestarikan nilai-nilai budaya leluhur.

Pada hari pembukaan itu lomba pacuan mungkin tidak perlu banyak-banyak ditampilkan, tetapi lebih banyak diisi oleh acara pengenalan tradisi dan nilai-nilai budaya saja. “Mungkin untuk lomba hari pertama itu, cukup tiga atau lima kali hilir saja,” ujarnya.

Ke depan perlu dipikirkan jangan sampai pacu jalur lebih dominan kompetisinya. Tetapi mengupayakan lebih mengedepankan mempertahankan nilai-nilai budayanya.

Selain itu, pemerintah daerah dinilai perlu membuat Perda masalah ini. Mulai dari bentuk jalur, nama jalur, tata tertib pacu jalur, kelengkapan personel jalur, model tampilannya, haruslah diatur dengan tetap mengedepankan adat dan budaya pacu jalur yang sebelum ini ada di Kuantan itu.

Kondisi ini pun terlihat hampir di semua desa di Kuansing yang bersentuhan dengan sungai Kuantan. Minsalnya saja Desa Kampung Baru Sentajo Kecamatan Sentajo Raya yang membuat jalur baru Pangeran Keramat Tangan Biso.

Menurut Pj Kades Desa Kampung Baru Sentajo yang ketika itu masih dijabat Mashuri Spd, kayu jalur baru Pangeran Keramat Tangan Biso didapat di kawasan hutan lindung Sentajo Raya. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari desa.

Usai penebangan, maelo jalur dilakukan oleh masyarakat kampung, tua muda, laki-laki dan perempuan hingga ke jalan besar. Dari situ, dibawa dengan menggunakan alat berat ke desa diiringi penduduk kampung.

Tujuannya tidak lain agar cepat sampai ke desa dan pekerjaan bisa terbantu.

Begitu juga di Desa Padang Tanggung Pangean dalam pembuatan Jalur Rajo Bujang 2005 lalu. Mereka harus meminta bantuan alat berat perusahaan untuk mengeluarkan kayu jalur dan membawa ke desa.

Ini semua dikarenakan lokasi pengambilan kayu jalur yang jauh di Toro Kabupaten Pelalawan. Sehingga desa dan pengurus jalur, kata Kepala Desa Padang Tanggung Pangean Tamrin yang ditemui terpisah, menggunakan alat berat. “Kalau dengan menggunakan tenaga manusia maelo jalur tidak memungkinkan. Butuh berapa bulan baru sampai ke desa. Lokasinya sangat jauh dari desa,” kata Tamrin.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Kuansing, Drs Azhar MM pun tak mengelaknya. Menurutnya, alasan jauh dari desa, kayu yang besar, medan yang sulit serta teknologi yang ada, membuat sekarang banyak masyarakat desa yang membuat jalur untuk proses maelo jalur menggunakan alat berat. Baik di sewa maupun dipinjam.

Kondisi itu merupakan sebuah perkembangan zaman dan teknologi. Sehingga membuat saat ini tradisi maelo jalur Kuansing mulai pudar. “Itu memang tidak bisa dihindari. Faktor jarak serta efisiensi waktu, membuat banyak desa memilih menggunakan alat berat dalam maelo jalur sampai ke desa mereka,” ujar Azhar.

Tetapi Dinas Budpar Kuansing dalam memasarkan tradisi pacu jalur ke daerah tetangga, kementerian maupun dalam iven lain yang dihadiri wisatawan lokal dan mancanegara tetap menyampaikan bahwa dalam proses pembuatan jalur, ada tradisi maelo jalur.

Dia menyarankan, desa-desa yang pengambilan kayu jalur berdekatan dengan sungai, jalan besar dan tidak jauh dari desa, bisa melakukan tradisi maelo jalur walupun hingga ke jalan besar. Sehingga anak-anak muda generasi sekarang bisa memahaminya, ada tradisi maelo jalur dan ada semangat kebersamaan, gotong royong dalam tradisi itu.(Bersambung)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari