(RIAUPOS.CO) – Lima menit menjelang minum kopi,
aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih,
setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”
Mungkin karena itu empat cangkir kopi sehari bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri.
Kau punya bermacam-macam kopi
dan kau pernah bertanya: “Kau mau pilih
kopi yang mana?” Aku jawab: “Aku pilih kopimu.”
Di mataku telah lahir mata kopi.
Di waktu kecil aku pernah diberi Ibu cium rasa kopi. Apakah puting susu juga mengandung kopi?
Kopi: nama yang tertera pada sebuah nama. Namaku.
Burung menumpahkan kicaunya ke dalam kopi. Matahari mencurahkan matanya ke hitam kopi. Dan kopi meruapkan harum darah dari lambungmu.
Tiga teguk yang akan datang aku bakal
mencecap hangat darahmu di bibir cangkir kopiku
Joko Pinurbo, Surat Kopi, 2013
Joko Pinurbo, yang akrab dipanggil Jokpin menghembuskan nafas terakhirnya pada Sabtu, 27 April 2024 pukul 06.03 di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Ia kemudian dimakamkan di Sasanalaya Demangan, Ngemplak, Sleman, dimana ia tumbuh. Jokpin sepanjang umurnya menerbitkan banyak karya, setidaknya lebih dari 20 antologi puisi ia terbitkan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Salah satu antologi Jokpin berjudul Surat Kopi, diterbitkan Agustus 2014. Dalam Surat Kopi, Jokpin bertutur banyak tentang banyak hal, termasuk kehebatan kopi.
Kopi, minuman yang seringkali ditawarkan kita bertamu atau datang ke hajatan maupun tahlilan hingga gotongroyong. Kopi juga hari ini menjadi bagian penting dari kebudayaan. Di kedai kopi hari ini beragam acara dihelat, mulai dari kumpul-kumpul non-formal hingga diskusi publik. Kedai kopi juga menjadi ruang bagi kolektif seni maupun sosial lain untuk tumbuh dan membuat kas-kas kolektif terisi untuk berkegiatan.
Sebelum menjadi bagian terpenting dalam berkesenian, sejarah kopi dimulai di Ethiopia pada Abad ke-9. Kopi ketika itu ditemukan oleh pengembala yang keheranan karena kambingnya sangat enerjik dan tidak tidur dimalam hari setelah memakan tumbuhan sejenis beri. Temuan itu dilaporkan pengembala itu kepada tetua setempat. Tetua itu kemudian memnbuat minuman dan menyadari bahwa tumbuhan beri tersebut memberikannya energi dan terbangun lebih lama untuk ibadah malam.
Temuan itu kemudian tersebar luas hingga ke jazirah arab. Perkebunan dan perdagangan kopi dimulai sejak abad ke 15 di Yaman. Sejak saat itu, kopi mulai dijadikan oleh Bangsa Arab sebagai minuman wajib dalam kegiatan kumpul-kumpul hingga kemudian kopi disebut sebagai “Wine of Araby”. Lewat ekspansi politik dan perjalanan perdagangan bangsa Arab, kopi kemudian menyebar ke Eropa pada abad ke 17.
Di Indonesia, sejarah kopi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh penjajahan Belanda. Belanda pertama kali membawa tumbuhan kopi ke Indonesia pada tahun 1696. Tumbuhan itu dibawa langsung dari Malabar, India untuk dibudidayakan di Kedawung, tidak jauh dari Batavia (kini Jakarta). Budidaya itu kemudian gagal karena cuaca ekstrim. Baru pada tiga tahun kemudian, budidaya ini dimulai kembali dan berhasil dilakukan dengan bibit yang sudah di-stek dari wilayah yang sama, Malabar, India. Dalam perkembangannya, kedai kopi pertama di Indonesia bernama “Warung Tinggi”, usaha kedai kopi yang didirikan oleh Liauw Tek Soen pada tahun 1878 di daerah Moolenvliet Ooost (kini Jalan Hayam Wuruk), Jakarta. Bisnis ini kemudian bertahan hingga kini, generasi ke-empat dengan nama “Bakoel Koffie” di Jl. Cikini Raya No. 25, Jakarta.
Kopi hari ini sudah berubah menjadi entitas yang lebih dari sekedar minuman. Ia diromantisir anak muda akan efeknya sebagai kawan menanti senja, hingga menjadi sumber kebutuhan kafein dalam menggerakkan kreativitas, hingga menjadi industri yang menjanjikan profit. Menurut Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, industri kopi di Indonesia tumbuh 250% dalam kurun 2012-2022. Secara kasat mata juga dapat kita lihat bagaimana pertumbuhan dari bisnis kedai kopi yang menjamur dikota-kota besar, termasuk di Kota Pekanbaru. Pertumbuhan ini tidak dapat dilepaskan dari dampak karya seni dalam mendorong tumbuhnya industri kopi, Dewi Lestari, Angga Sasongko dan termasuk Joko Pinurbo.
Sebelum kedai kopi independen hari ini muncul, di Indonesia hanya lazim ditemui kedai kopi jaringan besar dan warkop saja. Amat jarang brand-brand kedai kopi independen baru bermunculan sebelum medio 2010-an. Industri kopi hari ini bila kita tarik ke belakang memiliki kaitan yang erat dengan meledaknya film Filosofi Kopi besutan Angga Sasongko pada tahun 2015. Film Filosofi Kopi ini merupakan adaptasi dari cerita pendek karya Dewi “Dee” Lestari yang pertama kali terbit pada tahun 2006.
Karya Dewi Lestari tersebut mendapat penghargaan sebagai Karya Sastra Terbaik Tahun 2006 oleh Majalah Tempo. Cerita film yang diadaptasi dari cerita pendek tersebut berkaitan dengan pertaruhan dua pemuda dalam mempertahankan bisnis kopi yang mereka bangun dan pencarian kopi terbaik hingga pergumulan prinsip dan nilai-nilai filosofis dalam bisnis kopi. Meski film ini tidak memperoleh banyak sekali penonton dalam penayangannya, film ini memperoleh banyak nominasi dan penghargaan dalam piala Maya maupun FFI 2015.
Film ini kemudian dibuatkan sekuel dan tayang pada 2017 dengan perolehan penonton yang lebih banyak, meskipun tidak memperoleh penghargaan yang lebih banyak daripada film Filosofi Kopi pertama. Dalam kurun 2015 hingga kini, kedai kopi dengan beragam konsep berdiri di penjuru Indonesia, termasuk meningkatnya minat konsumsi kopi di Indonesia. Menurut Data International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi di dalam negeri terus meningkat dalam 2015-2019 tahun terakhir. Pada periode 2014-2015, jumlah konsumsi kopi domestik hanya sebanyak 4.417 kantong. Pada rentang 2018-2019, jumlah konsumsi kopi domestik mencapai 4.800 kantong, yang masing-masing berkapasitas 60 kilogram (kg).
Diluar film ini, dimana peran Joko Pinurbo? Joko Pinurbo aktif dalam sastra Indonesia sejak 90-an. Dunia sastra yang kadang teralienasi selalu memiliki jalan untuk meneruskan gagasan. Orang-orang sastra menjadikan kedai kopi sebagai ruang untuk diskusi dan menggalakkan kebudayaan. Tidak ayal kemudian Dee Lestari dapat mereka cerita tentang kopi beserta nilai-nilai sentimentil dalam kopi lewat cerpennya.
Joko Pinurbo dan sastrawan lain juga tidak henti-hentinya menuliskan kehebatan kopi, baik dalam antologi puisinya, maupun twit di Twitter (kini X). Joko Pinurbo yang semasa hidup aktif menggunakan media sosial Twitter dalam berbagi penggalan puisi serta penggunaan Twitter yang amat sangat masif di Indonesia pada 2010-an awal sudah mendorong kopi lebih dari sekedar minuman, melainkan sebuah jalan dan obat penyembuh penyakit kesepian. Data dari Google Trends Indonesia juga menunjukkan pencarian istilah penelusuran “Kopi” di Indonesia hari ini meningkat 3 kali lipat sebelum tahun 2014.
Kini kopi sudah jadi sebuah gaya hidup. Majalah Otten Coffee menyebut 79% dari masyarakat Indonesia mengonsumsi kopi setiap hari, baik dari kopi saset maupun kopi puluhan ribu di coffeeshop kekinian. Kopi sudah menjadi budaya dan mengakar kuat serta seperti menjadi kebutuhan pokok. Joko Pinurbo yang mengagungkan puisi dengan menamai satu antologinya dengan nama Surat Puisi sudah berpulang selama-lamanya.
Meskipun dia bukanlah pionir industri kopi maupun orang yang pertama kali memperkenalkan budaya ngopi di Indonesia, ada baiknya untuk mengenangnya sebagai orang yang berdampak pada budaya ngopi. Ya, seperti kata Joko Pinurbo, Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.***