Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Pemerintah Diminta Kreatif Danai APBN

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pemerintah dinilai kurang kreatif lantaran masih menggunakan pola dan strategi yang sama dengan periode 2014-2019. Misalnya, soal cara mendanai APBN lima tahun ke depan, pemerintah masih mengandalkan penerimaan pajak konvensional dan utang.

"Pemerintah seharusnya mencari alternatif pendanaan APBN. Cara-cara konvensional, setahu saya, tidak akan pernah berhasil," tegas Pengamat Ekonomi dan Politik dari Nusantara Centre Yudhie Haryono.

Padahal, sumber-sumber pendanaan nonkonvensional memiliki potensi yang sangat besar dan selama ini belum pernah tersentuh. Kekuatan pendanaan baru tersebut bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti sektor pendidikan, budaya, hingga pengembangan infrastruktur.

"Misalnya, pemerintah mulai memikirkan opsi pajak superprogresif untuk kepemilikan mobil, barang mewah, hingga aset usaha seperti gedung perkantoran dan pabrik. Masak iya konglomerat yang punya satu gedung dan sepuluh gedung bayar (pajak) sama?" ujarnya.

Baca Juga:  BI Gelar Riau Sharia Week 2024

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk tidak lagi mengandalkan pendanaan konvensional dalam pembangunan infrastruktur. Menurut Yudhie, pemerintah bisa saja menugaskan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak sejumlah uang baru sesuai dengan kebutuhan tanpa harus mengganggu likuiditas di pasar.

"Siapa bilang (BI) tidak bisa? Kalau soal diprotes negara lain, ya itu sudah pasti. Tapi, apakah bisa? Secara ilmu ekonomi, bisa saja itu dilakukan. Asal uangnya benar-benar dipakai hanya untuk pembangunan (infrastruktur) dan setelah usai harus ditarik lagi (ke BI) sehingga tidak membanjiri pasar sampai terjadi inflasi," jelasnya.

Ekonom senior Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Alexander Sugandi menilai, penerapan pajak superprogresif sebagai sumber pendanaan APBN tidak bisa sembarangan. Jika tidak hati-hati, pajak superprogresif tersebut malah akan menghambat laju konsumsi kelas menengah dan atas. "Kepercayaan konsumen bisa turun meski targetnya bukan golongan menengah," timpalnya.

Baca Juga:  Jatra Hotel and Resorts Berikan Bantuan untuk Korban Bencana

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menambahkan, pemerintah memang dituntut bisa memacu pertumbuhan ekonomi pada 2020 melawan perlambatan global. Karena itu, dibutuhkan kebijakan kontrasiklus yang antara lain bisa dilakukan dengan melonggarkan pajak.(ken/c5/oki/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pemerintah dinilai kurang kreatif lantaran masih menggunakan pola dan strategi yang sama dengan periode 2014-2019. Misalnya, soal cara mendanai APBN lima tahun ke depan, pemerintah masih mengandalkan penerimaan pajak konvensional dan utang.

"Pemerintah seharusnya mencari alternatif pendanaan APBN. Cara-cara konvensional, setahu saya, tidak akan pernah berhasil," tegas Pengamat Ekonomi dan Politik dari Nusantara Centre Yudhie Haryono.

- Advertisement -

Padahal, sumber-sumber pendanaan nonkonvensional memiliki potensi yang sangat besar dan selama ini belum pernah tersentuh. Kekuatan pendanaan baru tersebut bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti sektor pendidikan, budaya, hingga pengembangan infrastruktur.

"Misalnya, pemerintah mulai memikirkan opsi pajak superprogresif untuk kepemilikan mobil, barang mewah, hingga aset usaha seperti gedung perkantoran dan pabrik. Masak iya konglomerat yang punya satu gedung dan sepuluh gedung bayar (pajak) sama?" ujarnya.

- Advertisement -
Baca Juga:  Pertamina Harus Jelaskan Antrean Panjang Solar

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk tidak lagi mengandalkan pendanaan konvensional dalam pembangunan infrastruktur. Menurut Yudhie, pemerintah bisa saja menugaskan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak sejumlah uang baru sesuai dengan kebutuhan tanpa harus mengganggu likuiditas di pasar.

"Siapa bilang (BI) tidak bisa? Kalau soal diprotes negara lain, ya itu sudah pasti. Tapi, apakah bisa? Secara ilmu ekonomi, bisa saja itu dilakukan. Asal uangnya benar-benar dipakai hanya untuk pembangunan (infrastruktur) dan setelah usai harus ditarik lagi (ke BI) sehingga tidak membanjiri pasar sampai terjadi inflasi," jelasnya.

Ekonom senior Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Alexander Sugandi menilai, penerapan pajak superprogresif sebagai sumber pendanaan APBN tidak bisa sembarangan. Jika tidak hati-hati, pajak superprogresif tersebut malah akan menghambat laju konsumsi kelas menengah dan atas. "Kepercayaan konsumen bisa turun meski targetnya bukan golongan menengah," timpalnya.

Baca Juga:  Bank Bukopin Berikan Technical Assistance ke Bank Banten

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menambahkan, pemerintah memang dituntut bisa memacu pertumbuhan ekonomi pada 2020 melawan perlambatan global. Karena itu, dibutuhkan kebijakan kontrasiklus yang antara lain bisa dilakukan dengan melonggarkan pajak.(ken/c5/oki/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari