PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Kebijakan pemerintah melarang ekspor kelapa sawit dan turunannya per 28 April 2022 sampai batas waktu yang belum ditentukan langsung dirasakan dampaknya oleh petani sawit di Riau. Sejak Presiden RI Joko Widodo mengumumkan pelarangan tersebut, harga sawit di tingkat petani setiap hari mengalami penurunan.
Bahkan penurunan harga tandan buah sawit (TBS) nyaris mencapai Rp1.000 per kilogram. Semula harga TBS Rp3.270 per kilogram, kini di tingkat petani harga TBS tinggal Rp2.300. Hal ini membuat petani sawit di Riau menjerit.
"Pekan lalu harga TBS masih di atas Rp3 ribuan. Tapi sekarang ini setiap hari terus turun. Dari info pembeli, TBS kembali turun. Hari ini (kemarin, red) turun Rp850 per kilogram. Sekarang harga tinggal Rp2 ribuan," ungkap petani sawit di Siak, Dedi Hendra.
Bapak tiga anak ini mengaku khawatir dengan lajunya penurunan harga TBS. Bila tidak segera dicabut kebijakan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak dan minyak goreng akan berdampak lebih luas. Bukan hanya bagi petani sawit, namun juga usaha dan aktivitas yang berkaitan langsung dengan sawit.
"Banyak yang akan terdampak. Jangan sampai kebijakan pemerintah mengorbankan rakyatnya," kata Dedi.
Penurunan harga TBS juga terjadi di Kabupaten Pelalawan. Harga TBS yang sebelumnya Rp3 ribuan per kilogram sekarang tinggal Rp2.500 per kilogram. "Pusing tiap hari harga TBS turun terus. Lama-lama bisa pecah di bawah Rp2 ribuan," ucap petani sawit di Pelalawan, Udin Yodi.
Petani sawit di Desa Perhentian Raja, Kampar juga merasakan dampak menurunnya harga TBS akibat kebijakan pemerintah melarang ekspor bahan baku dan turunan kelapa sawit. Sebelumnya harga TBS Rp3.300 per kilogram kini tinggal Rp2 ribu per kilogram.
"Sebentar lagi pabrik kelapa sawit mau tutup operasional untuk cuti bersama Idulfitri. Di saat itu pula harga turun tajam. Turunnya sampai Rp1.000 per kilogram," sebut petani sawit di Perhentian Raja, Didi Ariadi.
Didi mengungkapkan, penurunan harga TBS merata terjadi di seluruh Riau. Berdasarkan informasi sesama petani, penurunan harga TBS mulai terjadi sejak Presiden RI Joko Widodo mengumumkan kebijakan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.
"Sejak awal mendengarkan Presiden RI Joko Widodo mengumumkan kebijakan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, saya yakin akan berdampak terhadap harga TBS. Ternyata memang iya, harga turun tajam," katanya.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau Dr Gulat ME Manurung MP CAPO CIMA pun menanggapi terkait Moratorium Ekpsor CPO dan turunannya, Ahad (24/4). "Tujuan dari pidato presiden tersebut sesungguhnya adalah jeweran (teguran) kepada semua stakeholder sawit. Namun sayangnya jeweran tersebut justru berdampak tragis terhadap nasib petani sawit," ujarnya.
Ia mengatakan, kondisi ini seharusnya tidak terjadi, terlebih peraturan menteri sebagai tindak lanjut pidato presiden belum turun. Ia menuturkan hal Ini merupakan ulah spekulan, yang mencari untung pascapidato Jokowi.
"Ya benar, spekulan TBS dan spekulan CPO sudah bermain dengan menyebarkan WA-WA pembelian TBS petani untuk hari ini (kemarin, red) dan besok dengan harga yang sangat rendah. Saya sudah komunikasi ke-22 ketua DPW Provinsi Apkasindo, bahwa diketahui hampir semua PKS dari Sabang-Merauke sudah menurunkan pembelian TBS petani 20-40 persen," ujarnya.
Lanjut Gulat, lebih miris lagi ada beberapa PKS yang sudah membuat pengumuman bahwa untuk beberapa hari ke depan tidak menerima TBS (tutup). Ia juga menanyakan ke beberapa PKS yang akan tutup tersebut. Alasan para manajer PKS tersebut hampir sama yaitu khawatir CPO produksi mereka tidak ada yang membeli dan tangki CPO akan penuh. Kalaupun ada yang membeli dengan harga jauh di bawah modal belanja TBS.
"Kami memaklumi alasan para PKS tersebut, tapi tidak dengan cara seperti ini. Semua ada aturannya dan kami petani sangat dirugikan. Ini tidak bisa dibiarkan. Satgas Pangan Mabes Polri dan Kejaksaan Agung harus segera turun gunung mengamankan kebijakan Presiden Jokowi. PKS-PKS nakal harus diperiksa. Saya sepakat, semua harus diselamatkan, baik MGS (minyak goreng sawit) terkhusus curah, industri sawit, terutama 16 juta petani sawit dan pekerja sawit. Namun semua harus berpatokan kepada aturan," tuturnya.
Gulat mengatakan, oleh karena itu Apkasindo mengusulkan agar hanya MGS-Olein saja yang dilarang ekspor karena menurutnya itulah biang kerok permasalahan. "Saya yakin ini akan mengubah situasi mencekam saat ini. Perlu ketegasan secepat-cepatnya bahwa yang dilarang itu hanya MGS-Olein. Kita berpacu dengan waktu," ujarnya.
Ia menegaskan, regulasi yang mengatur moratorium ekspor MGS dan bahan baku MGS tersebut belum terbit. Jangan mencuri start menekan harga TBS petani.
Menurutnya, bisa saja peraturan Menteri Perdagangan atau Menteri Perindustrian tentang larangan ekspor tidak perlu diterbitkan karena situasi MGS sudah membanjiri pasar 2-3 hari ke depan, khususnya MGS yang curah (yang disubsidi). "Jadi jangan panik dulu semua," tutur Gulat.
Ia juga yakin dan percaya, presiden akan mengambil langkah terbaik dalam waktu dekat. Untuk itu kepada semua PKS diharapkan dapat menahan diri tidak menjatuhkan harga TBS petani dan pabrik MGS supaya memacu produksi MGS terkhusus jenis curah. Segera berkoordinasi dengan distributor, baik D1 maupun D2 supaya ketersediaan MGS curah benar-benar tersedia seperti sebagaimana keinginan Presiden Jokowi.
"Jadi tak ada pilihan. Obatnya ada dua, pertama di para produsen MGS dan PKS. Kedua, hanya MGS-Olein yang dilarang ekspor. Kita lihat saja hari Senin (25/4) tender CPO di KPBN. Apakah ada perusahaan yang mengikuti tender dan bagaimana harga penawaran CPO? Ini juga akan menjadi jawaban dari isi pidato Presiden Jokowi," ujarnya.
Sementara itu, Kepala dinas Perkebunan Riau Zulfadli mengatakan, bahwa dalam penetapan harga TBS, regulasi yang mengatur penetapan harga TBS adalah Permentan 01/2018. Khusus Provinsi Riau telah diatur secara teknis operasional dalam Pergub Riau No 77/2020 tentang Tata Niaga TBS Produksi Pekebun Riau. "Dalam penetapan harga TBS telah diatur Permentan dan Pergub Riau dipengaruhi oleh Indeks K dan harga CPO serta harga PKO (kernel) dunia. Untuk Indonesia kita mempedomani harga lelang di KPBNJ. Lelang di KPBN berdasarkan harga CPO/PKO di pasar dunia," katanya.
Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia tentu akan berkontribusi besar terhadap ketersediaan CPO di pasar dunia. Harga CPO dunia tentu akan terpengaruh dari ketersediaan bahan baku minyak goreng tersebut. Artinya hukum demand dan supply akan berlaku. Jika harga CPO dunia naik, tentu akan berdampak terhadap naiknya harga TBS pekebun. Begitu juga sebaliknya karena penetapan harga TBS sesuai regulasi mengacu kepada harga CPO/pko dunia.
"Artinya, semakin tinggi harga CPO dan harga kernel serta Indek K, maka harga TBS akan semakin meningkat, demikian juga sebaliknya. Harga CPO dan harga kernel sendiri tergantung harga perdagangan dunia di pasar internasional," jelasnya.
Terkait kekhawatiran moratorium ekspor CPO, yang akan mengakibatkan over supply bahan baku TBS sawit produksi pekebun di dalam negeri. Ini dikhawatirkan berdampak terhadap anjloknya harga TBS produksi pekebun karena tidak laku dijual ke pabrik PKS, hingga menjadi busuk dan menimbulkan kerugian bagi petani. Mungkin saja akan terjadi pada pekebun mandiri/swadaya yang belum mau untuk berkelompok/berlembaga.
"Sebenarnya sudah ada solusinya melalui regulasi Permentan 01/2018 dan Provinsi Riau telah mengatur itu melalui Peraturan Gubernur Riau No 77/2020 tentang Tata Niaga TBS. Adapun substansi dan solusi dari kedua regulasi tersebut adalah melalui fasilitasi kemitraan antara kelembagaan tani dangan pabrik kelapa sawit, rukun wajibnya harus tergabung dalam kelompok tani/mempunyai kelembagaan tani," jelasnya.
Artinya, dengan kemitraan yang dibangun tersebut akan memberi kepastian pasar bagi petani/kelembagaan tani dalam menjual buah TBS mereka. Bagi pihak PKS akan memberikan kepastian pasokan bahan baku TBS sesuai dengan kapasitas terpasang di pabrik mereka khususnya PKS nonkebun yang diikat dalam sebuah perjanjian kerja sama (MoU) yang difasilitasi oleh dinas yang membidangi perkebunan.
"Kami mengimbau mari petani sawit kita untuk mau dan segera berlembaga/berkelompok (KUD, kelompok tani, Gapoktan) agar bisa kita mitrakan dengan PKS terdekat di areal kebun mereka. Tentunya agar terlindungi dan mendapatkan harga yang berkeadilan serta tidak akan berdampak seperti yang dikhawatirkan pekebun nonmitra karena kebijakan moratorium tersebut," imbaunya.(sol/anf/mar)
Laporan TIM RIAU POS, Pekanbaru