PEKANBARU (RIAUPOS.) – Persoalan minyak goreng di negeri ini belum juga tertangani dengan baik. Setelah kebijakan satu harga dicabut, saat ini toko-toko ritel dilaporkan telah kembali menjual minyak goreng. Sudah tentu dengan harga yang jauh lebih mahal dari kebijakan pemerintah sebelumnya. Dilaporkan, per liter harga minyak goreng di pasar sekitar Rp 23 ribu lebih.
Ketika masih satu harga minyak goreng sulit didapat. Ketika dilepas ke mekanisme pasar maka stok tiba-tiba membanjiri pasar. Ini sungguh menyakitkan rakyat. Apalagi ditemukan para mafia migor sebelumnya telah menumpuk kebutuhan pokok ini di gudang-gudang mereka. Walaupun kini memperoleh minyak goreng memang lebih mudah tapi muncul masalah baru.
Kita menyadari bahwa kenaikan harga minyak goreng akan bisa melahirkan "efek domino" yang memengaruhi banyak hal. Kenaikan harga minyak goreng terbukti telah merembet dan berpengaruh pada kenaikan harga bahan dan kebutuhan pangan yang lain seperti harga daging, ayam, dan telur.
Selain itu, yang tak kalah berbahaya, kisruh kenaikan harga minyak goreng juga bisa memengaruhi kesehatan masyarakat. Di lapangan, banyak kasus memperlihatkan bahwa para pedagang makanan gorengan keliling ternyata menyiasati kenaikan harga minyak goreng dengan cara tidak kunjung mengganti minyak penggorengannya. Walaupun warnanya telah berubah menjadi kehitaman, beraroma menyengat, dan membahayakan masyarakat yang mengonsumsinya.
Di kalangan rumah tangga miskin, tidak sedikit ibu rumah tangga yang juga dihadapkan pada pilihan sulit. Sebagian ibu tidak jarang terpaksa memanfaatkan jelantah atau minyak bekas sisa penggorengan yang sudah tidak layak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari karena harganya yang tidak terjangkau.
Melihat "efek bola salju" kenaikan harga minyak goreng yang bisa merembet ke mana-mana, terutama dampak negatifnya bagi masyarakat, menangani kisruh minyak goreng tidak bisa lagi ditunda. Belajar dari kisruh yang terjadi selama ini, pemerintah ada baiknya tidak mengandalkan pada pendekatan yang sifatnya reaktif dan temporer. Mengembalikan harga minyak goreng pada mekanisme pasar untuk jangka pendek mungkin dapat meredam sementara waktu kelangkaan minyak goreng di pasaran. Namun, dalam banyak kasus, kebijakan tambal sulam seperti itu sesungguhnya sangat berisiko.
Membiarkan rakyat kesusahan memenuhi kebutuh pokok adalah sebuah langkah mundur. Untuk jangka panjang, guna mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di pasaran, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah ketegasan sikap pemerintah menyikapi monopoli produksi dan pemasaran minyak goreng di pasaran. Sepanjang monopoli minyak goreng masih dikuasai segelintir pengusaha besar, sepanjang itu pula kemungkinan terjadinya kisruh minyak goreng akan tetap terjadi.***