JAKARAT (RIAUPOS.CO) — Anggota Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Michael Bucki memastikan pihaknya tidak berniat mengeluarkan larangan impor kelapa sawit. Organisasi negara-negara Benua Biru itu hanya berencana mencabut insentif bagi produk dengan rekam jejak buruk soal penggundulan hutan.
"Uni Eropa tidak pernah membuat larangan impor kelapa sawit. Tiap pihak dipersilakan untuk menjual kelapa sawit di Eropa tanpa ada pembatasan apapun," kata Bucki usai menghadiri Pekan Diplomasi Iklim di Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Jakarta, Senin (23/9).
Bucki menjelaskan, selama 10 tahun terakhir UE memberikan insentif bagi produsen bahan bakar hayati alias biofuel. Namun, kini kebijakan tersebut dinilai mengabaikan dampak industri biofuel terhadap lingkungan hidup.
Karena itu, ke depan Uni Eropa tidak lagi memberi insentif bagi perusahaan kelapa sawit yang produknya diperoleh dari penggundulan hutan atau deforestasi. "Kami cuma tidak ingin terlibat (penggundulan hutan)," kata Bucki menjelaskan.
Kebijakan itu, menurut Bucki, tak hanya menyasar kelapa sawit, tetapi seluruh tanaman yang memiliki jejak deforestasi tinggi. "Mulai 2024, bahan bakar hayati yang tak lolos sertifikasi, tak lagi mendapat insentif. Siapapun masih dapat menjual produknya di Eropa, tetapi mereka tak lagi mendapat keuntungan tambahan," tambah Bucki.
Untuk diketahui, pada Maret 2019 lalu, sejumlah pakar UE membuat rekomendasi bahwa kelapa sawit merupakan salah satu komoditas tak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap penggundulan hutan. Walaupun demikian, usulan itu perlu mendapat persetujuan dari Parlemen Eropa dan Dewan Eropa sebelum jadi acuan kebijakan negara-negara anggota UE.
Indonesia bersama Malaysia dan Thailand merupakan produsen utama kelapa sawit yang menguasai pasar dunia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah menyatakan keberatan terhadap rekomendasi pakar UE terkait kelapa sawit. (ant/dil/jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal