JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Utang luar negeri (ULN) Indonesia terus menggunung. Hingga akhir Juli 2019, jumlah ULN tercatat USD 395,3 miliar atau sekitar Rp 5.534 triliun. ULN Indonesia tumbuh 10,3 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) atau meningkat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya 9,9 persen.
Pertumbuhan utang itu dipengaruhi transaksi penarikan neto ULN dan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Akibatnya, utang dalam rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS.
ULN Indonesia terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral USD 197,5 miliar (sekitar Rp 2.765 triliun) serta utang swasta, termasuk BUMN, USD 197,8 miliar (sekitar Rp 2.769 triliun).
“Pasti naik (ULN pemerintah, Red) setiap tahun karena kita mengalami defisit APBN. Selama kita masih defisit APBN, utang pemerintah pasti akan naik untuk menutup defisit,” jelas Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah, Selasa (17/9).
Meski begitu, Piter memastikan, kenaikan utang pemerintah itu masih cukup terkendali. Sebab, defisit APBN tetap dijaga sehingga tidak melebihi angka 3 persen terhadap PDB.
“Utang pemerintah sangat terjaga dan secara keseluruhan masih berada dalam batas aman,”’ tegasnya.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira memperkirakan ULN terus meningkat secara agregat, khususnya pada akhir tahun. Penambahan utang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan refinancing utang jatuh tempo swasta dan front loading surat berharga negara pemerintah.
“Tujuannya, menutup defisit APBN,” katanya.
Bhima menambahkan, secara rasio memang belum ada kenaikan signifikan dari utang. Namun, dia menuturkan bahwa tekanan ULN pada sektor swasta yang mengalami peningkatan tetap perlu diwaspadai.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal