JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksi ekspor minyak kelapa sawit (CPO) tahun ini turun sekitar 4–5 persen. Penurunan itu disebabkan adanya stagnasi produksi di Indonesia. Di sisi lain, permintaan domestik terus meningkat.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono menjelaskan, peningkatan produksi kelapa sawit Indonesia tahun ini diprediksi tidak lebih dari 5 persen. Sedangkan kebutuhan dalam negeri naik karena beberapa hal. Di antaranya, mandatori biodiesel B35 diperpanjang yang bisa mencapai 25 juta ton. Selain itu, konsumsi pada produk oleokimia (oleochemical) naik. ‘’Dengan perhitungan tersebut, ekspor kelapa sawit pada 2024 akan berkurang 4,13 persen atau hanya sekitar 29 juta ton,’’ ujar Eddy.
Eddy mengatakan, konsumsi dalam negeri terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Salah satu pendorongnya adalah program mandatori biofuel 35 persen. Sedangkan konsumsi makanan dan minyak goreng relatif stabil dalam tiga tahun terakhir. Hanya pada 2022 sempat terjadi lonjakan demand karena kelangkaan di pasaran pada awal tahun.
Data terbaru Gapki, produksi CPO pada Oktober mencapai 4.523 ribu ton, naik 9,2 persen dari September sebanyak 4.143 ribu ton. Begitu juga produksi palm kernel oil (PKO) yang meningkat menjadi 430 ribu ton dari 394 ribu ton atau naik 9,2 persen.
Total konsumsi dalam negeri Oktober mencapai 2.181 ribu ton atau tumbuh 10,2 persen dibandingkan September yang sebanyak 1.979 ribu ton. Kenaikan terbesar terjadi untuk kebutuhan biodiesel, dari 924 ribu ton menjadi 1.160 ribu ton.
Sebaliknya, permintaan untuk pangan turun 3,5 persen dari 865 ribu ton menjadi 835 ribu ton. Begitu juga oleokimia yang anjlok 2,1 persen dari 190 ribu ton ke 186 ribu ton.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan memberikan update mengenai pungutan ekspor (PE) untuk periode 16–31 Januari 2024 sebesar 774,93 dolar AS per MT. Nilai tersebut meningkat 28,24 dolar AS atau 3,78 persen dari periode 1–15 Januari 2024 yang tercatat 746,69 dolar AS per MT.
‘’Saat ini HR CPO mengalami peningkatan yang menjauhi ambang batas sebesar 680 dolar AS per MT. Untuk itu, merujuk pada PMK yang berlaku saat ini, pemerintah akan mengenakan BK CPO sebesar 18 dolar AS per MT dan PE CPO sebesar 75 dolar AS per MT untuk periode paruh kedua Januari 2024,’’ ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso.
Menurut Budi, peningkatan HR CPO dipengaruhi beberapa faktor. Antara lain, adanya kenaikan harga minyak mentah dunia dan terkereknya harga minyak nabati lainnya, yaitu minyak kedelai (soy bean oil) karena adanya kekhawatiran penurunan pasokan dari Brasil akibat cuaca kering. Serta, kekhawatiran pengetatan pasokan minyak sawit dari Malaysia dan pelemahan mata uang ringgit terhadap dolar Amerika Serikat.(agf/dio/esi)
Laporan JPG, Jakarta