Substitusi Barang Impor Antisipasi Resesi yang Membayangi

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Risiko resesi ekonomi kian terasa. Banyak konsensus yang memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) mengalami resesi pada 1,5-2 tahun lagi. Pemicunya adalah perang dagang yang terjadi dengan Tiongkok.

Baru-baru ini, Tiongkok dan AS bersepakat untuk melakukan perundingan pada Oktober mendatang. Hal itu diharapkan bisa menurunkan eskalasi perang dagang yang terjadi sejak tahun lalu.

- Advertisement -

Indonesia merupakan salah satu negara fragile five yang pertumbuhan ekonominya dibiayai dana asing dari luar negeri. Salah satu negara fragile five yang sudah menunjukkan tanda-tanda resesi adalah Turki.

Pertumbuhan ekonomi Turki pada kuartal II lalu adalah -1,5 persen. Anjlok dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal yang sama tahun lalu sebesar 5,3 persen. Indonesia sendiri tumbuh 5,05 persen pada kuartal II 2019, melambat daripada pertumbuhan pada kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen.

- Advertisement -

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sampai minus seperti yang dialami Turki. Meski begitu, Indonesia masih bermasalah dengan perdagangan barang dan jasa, yakni lebih banyak impor ketimbang ekspornya.

Hal itu harus diwaspadai, baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha. ”Kalau terjadi resesi, otomatis permintaan dari AS dan Tiongkok menurun. Sementara dua negara itu adalah negara yang paling besar menguasai perekonomian global,” kata Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad kemarin (5/9).

Untuk mendorong pertumbuhan, investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan konsumsi rumah tangga bisa diandalkan.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menambahkan, Indonesia masih berada di jalur yang baik karena ekonomi masih tumbuh 5 persen. Memang terlihat gejala stagnasi dari angka pertumbuhan, tetapi tidak seburuk perekonomian negara-negara peers seperti Brasil, Argentina, dan Turki.

Menurut dia, ada hal lain yang tak kalah penting dari pelonggaran kebijakan moneter. Yakni, reformasi industri manufaktur. Selama ini, pelaku industri manufaktur lebih banyak mengimpor bahan baku dan barang modal ketika akan melakukan produksi.

Untuk itu, dia mendorong terus dinaikkannya penggunaan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) serta substitusi impor.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Risiko resesi ekonomi kian terasa. Banyak konsensus yang memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) mengalami resesi pada 1,5-2 tahun lagi. Pemicunya adalah perang dagang yang terjadi dengan Tiongkok.

Baru-baru ini, Tiongkok dan AS bersepakat untuk melakukan perundingan pada Oktober mendatang. Hal itu diharapkan bisa menurunkan eskalasi perang dagang yang terjadi sejak tahun lalu.

Indonesia merupakan salah satu negara fragile five yang pertumbuhan ekonominya dibiayai dana asing dari luar negeri. Salah satu negara fragile five yang sudah menunjukkan tanda-tanda resesi adalah Turki.

Pertumbuhan ekonomi Turki pada kuartal II lalu adalah -1,5 persen. Anjlok dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal yang sama tahun lalu sebesar 5,3 persen. Indonesia sendiri tumbuh 5,05 persen pada kuartal II 2019, melambat daripada pertumbuhan pada kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sampai minus seperti yang dialami Turki. Meski begitu, Indonesia masih bermasalah dengan perdagangan barang dan jasa, yakni lebih banyak impor ketimbang ekspornya.

Hal itu harus diwaspadai, baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha. ”Kalau terjadi resesi, otomatis permintaan dari AS dan Tiongkok menurun. Sementara dua negara itu adalah negara yang paling besar menguasai perekonomian global,” kata Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad kemarin (5/9).

Untuk mendorong pertumbuhan, investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan konsumsi rumah tangga bisa diandalkan.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menambahkan, Indonesia masih berada di jalur yang baik karena ekonomi masih tumbuh 5 persen. Memang terlihat gejala stagnasi dari angka pertumbuhan, tetapi tidak seburuk perekonomian negara-negara peers seperti Brasil, Argentina, dan Turki.

Menurut dia, ada hal lain yang tak kalah penting dari pelonggaran kebijakan moneter. Yakni, reformasi industri manufaktur. Selama ini, pelaku industri manufaktur lebih banyak mengimpor bahan baku dan barang modal ketika akan melakukan produksi.

Untuk itu, dia mendorong terus dinaikkannya penggunaan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) serta substitusi impor.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya