JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia meminta pemerintah segera menyelesaikan aturan relaksasi pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 kepada industri, khususnya perhotelan.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) PHRI Maulana Yusran, kebijakan itu dapat meringankan beban dan menolong cashflow perhotelan. Diharapkan hal itu bisa diterapkan dalam pembayaran bulan ini.
“Masalah utilitas, kayak listrik itu kalau bisa jangan ada beban minimum, jadi kalau berapa yang terpakai, itu aja yang dibayar lalu per kWh didiskon lah 50 persen sehingga perusahaan itu masih bisa hidup hanya dengan membayar beban yang kecil,” jelas dia kepada JawaPos.com, Kamis (2/4).
Dengan begitu, pihak perhotelan yang masih beroperasi atau memutuskan untuk tutup sementara, ketika masa pemulihan, beban biaya yang harus dibayarkan tidak terlalu berat.
“Kalau sampai mereka nggak sanggup bayar listriknya dimatiin, untuk menghidupkan lagi kan perlu investasi yang cukup besar,” tambahnya.
Adapun untuk bunga pinjaman dan pokok pinjaman yang tergabung dalam PPh Pasal 23, dia mengharapkan hal itu bisa diberikan bersama kebijakan relaksasi pajak yang lainnya.
“Lalu kita minta PPh Pasal 21, jadi karyawan-karyawan yang di atas PTKP (penghasilan tidak kena pajak) masih bisa dapet duitnya, kedua kita juga minta masalah BPJS, itu kan dibayarkan perusahaan, baik kesehatan dan tenaga kerja, itu kalau bisa digratiskan dulu dialihkan ke negara karena perusahaan nggak bisa bayar,” tutupnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman
JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia meminta pemerintah segera menyelesaikan aturan relaksasi pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 kepada industri, khususnya perhotelan.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) PHRI Maulana Yusran, kebijakan itu dapat meringankan beban dan menolong cashflow perhotelan. Diharapkan hal itu bisa diterapkan dalam pembayaran bulan ini.
- Advertisement -
“Masalah utilitas, kayak listrik itu kalau bisa jangan ada beban minimum, jadi kalau berapa yang terpakai, itu aja yang dibayar lalu per kWh didiskon lah 50 persen sehingga perusahaan itu masih bisa hidup hanya dengan membayar beban yang kecil,” jelas dia kepada JawaPos.com, Kamis (2/4).
Dengan begitu, pihak perhotelan yang masih beroperasi atau memutuskan untuk tutup sementara, ketika masa pemulihan, beban biaya yang harus dibayarkan tidak terlalu berat.
- Advertisement -
“Kalau sampai mereka nggak sanggup bayar listriknya dimatiin, untuk menghidupkan lagi kan perlu investasi yang cukup besar,” tambahnya.
Adapun untuk bunga pinjaman dan pokok pinjaman yang tergabung dalam PPh Pasal 23, dia mengharapkan hal itu bisa diberikan bersama kebijakan relaksasi pajak yang lainnya.
“Lalu kita minta PPh Pasal 21, jadi karyawan-karyawan yang di atas PTKP (penghasilan tidak kena pajak) masih bisa dapet duitnya, kedua kita juga minta masalah BPJS, itu kan dibayarkan perusahaan, baik kesehatan dan tenaga kerja, itu kalau bisa digratiskan dulu dialihkan ke negara karena perusahaan nggak bisa bayar,” tutupnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman