PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Direktur Utama PTPN IV PalmCo, Jatmiko Santosa, menegaskan bahwa kolaborasi menjadi kunci utama dalam mewujudkan ketahanan pangan dan energi nasional. Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara kunci di seminar internasional The 2nd International Conference on Agriculture, Food and Environmental Science (ICAFES) 2025 di Universitas Riau, Sabtu (30/8).
Jatmiko menilai, ruang terbesar untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi ada pada produktivitas sawit petani yang masih bisa dioptimalkan. Saat ini, rata-rata produktivitas sawit petani di Indonesia hanya 2–3 ton CPO per hektare per tahun, jauh tertinggal dari perkebunan korporasi yang mampu mencapai 6 ton.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, PalmCo telah meluncurkan berbagai program, mulai dari BUMN untuk Sawit Rakyat, penyediaan lebih dari dua juta bibit unggul bersertifikat, hingga skema off-taker yang menjangkau 10.200 hektare lahan. PalmCo juga memperkuat kelembagaan koperasi dan mendukung pencairan dana BPDPKS untuk peremajaan sawit rakyat seluas 15.321 hektare.
Hasilnya, produktivitas sawit plasma meningkat signifikan dengan rata-rata 12,57 ton per hektare, bahkan ada yang mencapai 18,05 ton—melampaui standar nasional. “Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) adalah kunci. Tanpa itu, daya saing kita akan melemah dan kontribusi sawit bagi ketahanan pangan serta energi bisa terancam,” kata Jatmiko.
Ia menambahkan, jika kolaborasi intensifikasi produktivitas berjalan baik, maka selain mendukung ketahanan pangan, target pemerintah dalam implementasi B50 pada 2027 yang membutuhkan 20,11 juta kiloliter biodiesel juga bisa tercapai.
Di sisi lain, Jatmiko mengingatkan bahwa perubahan iklim sudah menjadi kenyataan yang dapat memengaruhi produktivitas pertanian, termasuk sawit. Ia mengingatkan agar Indonesia belajar dari sejarah, di mana pernah menjadi eksportir gula pada 1930-an namun kini justru menjadi importir besar. “Kita harus pastikan hal itu tidak terulang pada komoditas sawit,” tegasnya.