JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pasangan suami istri yang memamerkan kemesraan di media sosial atau terlihat harmonis di depan umum, ternyata belum tentu bahagia dalam pernikahan mereka. Sebuah survei bahkan menyebutkan perselingkuhan dapat terjadi di dalam pernikahan yang terlihat harmonis.
Berdasarkan survei Teman Bumil dan Populix, perselingkuhan bisa sangat sulit untuk didefinisikan. Pasalnya, setiap orang menetapkan batas yang berbeda untuk urusan selingkuh.
Pendiri KonsultanPernikahan.com dan penulis buku Menikah untuk Bahagia, Indra Noveldy yang juga konselor pernikahan mengatakan setiap kali kasus perselingkuhan terjadi, akan ada pola yang terbentuk, yaitu mencari siapa orang ketiganya. Padahal menurut Indra, hal ini tidak benar. Dalam kebanyakan kasus, perselingkuhan hanyalah gejala dari masalah dalam pernikahan, bukan penyebab utama.
“Perselingkuhan bisa terjadi karena begitu banyak aspek dan sudah ada masalah di pernikahan itu sendiri. Pihak ketiga bukan penyebab utama perselingkuhan. Justru ketika kita menunjuk pelakor atau laki-laki lain, itu seperti melimpahkan kesalahan ke pihak ketiga dan suami-istri tidak akan introspeksi ke dalam. Ingat, pihak ketiga bisa masuk karena ada celah. Kalaupun ada satu oknum berniat ganggu, jika rumah tangga yang diganggu solid, pasti akan terpental. Jadi, kuncinya bukan mengusir pelakor atau menghindari pelakor, tapi benahi pernikahan, perkuat fondasi di dalam,” jelas Indra baru-baru ini.
Ia menyarankan memperkuat fondasi hubungan pernikahan memiliki banyak elemen, seperti memperbaiki cara berkomunikasi, menyamakan values, dan memiliki visi-misi yang sama. Namun terlepas dari semua itu, satu yang ditegaskan Indra adalah memenuhi kebutuhan masing-masing. Terdengar mudah, nyatanya kebutuhan yang tak terpenuhi di dalam pernikahan sering terjadi dan tidak disadari.
“Perselingkuhan bisa terjadi di pernikahan yang terlihat harmonis. Catat, pernikahan yang beneran harmonis dan yang terlihat harmonis adalah dua hal yang bertolak belakang,” tegasnya.
Berapa banyak pasangan suami-istri yang sadar bahwa kebutuhan pasangannya terpenuhi? Artinya, banyak orang yang tidak sadar bahwa pernikahannya bermasalah.
“Banyak yang nggak sadar karena semua tampak baik-baik saja, pasangannya nggak komplain, pasangannya saleh, dan lain-lain. Artinya, banyak orang yang tidak sadar bahwa pernikahannya bermasalah. Itu adalah masalah besar,” ujar Indra.
Kenapa Bisa Terjadi?
Jika ditelaah kembali, rutinitas menjadi alasannya. Sejatinya, rutinitas bukanlah hal yang buruk, tetapi dapat menjadi musuh. Rutinitas cenderung menciptakan kebiasaan yang sulit dilewati. Saat itulah akan muncul rasa monoton, ketidakbahagiaan, dan ketidakpuasan. Baik suami atau istri mulai mempertanyakan siapa yang ia nikahi dan mengapa, maupun tidak menemukan kebahagiaan atau kepuasan di dalam pernikahannya.
Hal ini pun senada dengan hasil survei bahwa 50 persen responden menyatakan rutinitas yang monoton bisa membuat pernikahan berubah dan 46 persen lainnya mengatakan bahwa kehadiran orang ketiga yang mengubah pernikahan. Rutinitas yang monoton bisa menjadi masalah dalam pernikahan.
“Bener banget, rutinitas yang monoton bisa menjadi masalah dalam pernikahan. Karena terjebak peran normatif sebagai istri, ibu, suami, dan ayah, banyak orang lupa 3 perannya sebagai partner, sahabat, dan kekasih. Kalau ketiga peran ini enggak dijalani, pastinya pernikahan akan membosankan. Lama-lama pernikahan itu jadi normatif, rasa itu akan menguap, lama-lama akan menjadi dingin dan datar, lalu lama-lama mencari rasa dari orang lain yang bukan pasangan resminya,” ujar Indra.
Selingkuh = Bercerai?
Perselingkuhan merusak fondasi pernikahan. Pengkhianatan ini akan menyebabkan patah hati, kehancuran, kesepian, dan kebingungan pada salah satu atau kedua pihak dalam pernikahan.
Dari hasil survei, 9 dari 10 responden setuju bahwa perselingkuhan merupakan kesalahan fatal yang dapat menghancurkan pernikahan. Mayoritas responden pun merasa pantas jika perselingkuhan menjadi alasan perceraian.
Sementara 64 persen di antaranya merasa bahwa perceraian itu menyakitkan, tetapi perlu dilakukan karena pernikahan sudah tidak sehat. Sedangkan sebagian kecil dari mereka atau sekitar 21 persen, merasa bahwa perceraian tidak patut dilakukan karena menyakiti anak-anak.
“Lalu, berapa lama boleh berduka jika menjadi korban perselingkuhan? Minimal kasih waktu 6-12 bulan. Tapi ingat, menjadi korban perselingkuhan bukan hanya merasa berduka, tapi juga perlu disertai dengan proses penyembuhan,” jelasnya.
Jika hanya merasa berduka, seseorang hanya akan cenderung mengasihani diri. Dalam proses penyembuhan ini, sadarilah bahwa diri sedang berduka, marah, sakit hati, dan terluka. Jangan malah menekan, mematikan, atau menyangkal perasaan itu, tapi hadapi semuanya sampai masuk ke fase acceptance.
“Nah, setelah masuk ke fase menerima, di situlah perjalanan penyembuhannya sudah semakin bergerak maju,” tutupnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman