JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kurang dari sepekan pemberangkatan jemaah haji ke Tanah Suci, persoalan besar muncul. Biaya haji membengkak signifikan. Nilainya mencapai Rp1,5 triliun.
Kekurangan biaya tersebut tidak terlepas dari kebijakan Kerajaan Arab Saudi pada musim haji 1443 H/2022 yang menaikkan harga paket layanan di masyair, baik Arafah, Muzdalifah, maupun Mina (Armuzna).
Kebijakan tersebut berdampak terhadap adanya penambahan biaya bagi jemaah haji Indonesia.
Hingga tadi malam (30/5) belum ada kejelasan anggaran untuk menutup kekurangan tersebut. Dari APBN atau dana haji di Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI kemarin (30/5), Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyatakan ada kenaikan biaya layanan masyair tersebut. ”Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memberlakukan sistem paket layanan masyair dengan besaran biaya per jemaah sebesar SAR 5.656,87 (riyal),’’ kata Yaqut.
Dalam pembahasan terakhir, biaya saat pelayanan masyair (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) dipatok 1.531 riyal per jemaah. Namun, kemudian muncul kebijakan baru dari Arab Saudi yang menetapkan biaya paket layanan masyair sebesar 5.656 riyal atau setara Rp 21,98 juta per jemaah.
Menag menceritakan, kebijakan paket biaya masyair itu muncul pada Kamis (19/5) lalu. Yaqut yang saat itu berada di Saudi langsung menghubungi menteri urusan haji Saudi dan jajaran di bawahnya. Hingga akhirnya ada pertemuan keesokannya (Jumat, 20/5). Pertemuan dadakan itu, kata dia, tidak lazim dalam aspek diplomasi. Sebab, umumnya harus membuat janjian terlebih dahulu minimal 20 hari sebelumnya.
Yaqut menyadari bahwa pemerintah Indonesia memiliki batasan tertentu. Tidak bisa mengintervensi lebih dalam kebijakan Saudi. ’’Tidak ada perdebatan. Hanya disampaikan ke kita bahwa dengan dilakukan negosiasi itu kita hanya membuang-buang waktu,’’ tutur Yaqut. Dia menjelaskan bahwa kebijakan paket biaya masyair itu berlaku untuk seluruh negara pengirim jemaah haji.
Yaqut mengatakan, pemerintah Saudi membuat kebijakan tersebut mepet dengan pemberangkatan jemaah. Seperti diketahui, jemaah mulai masuk asrama haji pada 3 Juni. Lalu, terbang ke Saudi pada 4 Juni. Dengan begitu, pemerintah Indonesia tidak lagi memiliki banyak ruang gerak. ’’Kalau kita tidak bayar, kita tidak berangkat (haji). Kalau kita bayar, ternyata mahal,’’ ungkapnya.
Ada perincian paket biaya layanan masyair itu. Beberapa di antaranya, kata Yaqut, memang cukup mahal. Dia mencontohkan biaya Rp 20 juta untuk tenda. Selama ini tidak ada biaya tenda di masa masyair. Kemudian, ada juga biaya pembimbing saat masyair sebesar 28 riyal. Selama ini jemaah menggunakan pembimbing yang dibawa dari Indonesia.
Yaqut menjelaskan, pihaknya bukan tidak melakukan antisipasi. Dia menyebutkan ada beberapa biaya yang dibuat agak mahal sebagai antisipasi adanya tambahan biaya dari Saudi. Namun, dia mengakui, Kemenag dan DPR tidak membayangkan kenaikannya sebesar sekarang.
Untuk itu, dia meminta waktu untuk mengupas ulang biaya haji 2022. Tujuannya, bisa dicarikan jalan keluar untuk mengatasi kekurangan biaya Rp 1,5 triliun tersebut. Dia mengakui bahwa pada situasi sekarang, daya tawar pemerintah Indonesia sebagai negara pengirim jemaah haji terbesar sedang tidak bagus. ’’Karena apa pun kita perlukan untuk pemberangkatan jemaah ke Tanah Suci,’’ katanya.
Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto setuju bahwa soal tambahan biaya haji itu harus dibahas lebih dalam. Kemenag diminta melakukan konsolidasi. Dia mencontohkan, kebutuhan biaya handling penerbangan apakah memungkinkan dibebankan ke APBN.
Dia menegaskan, wajib ada solusi atas persoalan tambahan anggaran tersebut. ’’Kita pastikan pemberangkatan haji berjalan lancar, tidak ada jemaah yang tercecer, pelayanan bagus, dan dengan kehati-hatian,’’ tegasnya.
Perlu ada pendalaman detail per item biaya haji. Termasuk dalam biaya paket masyair.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengatakan, soal tambahan biaya haji itu memang perlu dibahas lebih mendalam. Saat ini saja, kata dia, subsidi atau penggunaan nilai manfaat dana haji kepada jemaah yang berangkat 2022 cukup besar. Yaitu, mencapai Rp 60 juta sehingga jemaah cukup membayar sekitar Rp 39 juta saja. ’’Kami tidak ingin dana kelolaan haji itu terlalu besar nilai (untuk) subsidinya,’’ kata Ace.
Sebab, lanjut dia, dana haji yang dikelola BPKH merupakan dana yang dititipkan seluruh jemaah yang berangkat dan di daftar antrean. Dana dititipkan ke BPKH untuk dikelola. Hasil pengelolaannya digunakan untuk pemberangkatan jemaah dan untuk virtual account jemaah di daftar antrean.
Ace menegaskan, Komisi VIII DPR tetap akan memberikan ruang fiskal yang proporsional. Dengan begitu, penyelenggaraan haji yang kurang sepekan lagi tetap berjalan dengan sebaik-baiknya. Dia berharap hari ini (31/5) sudah bisa ditetapkan skenario untuk menutup kekurangan dana haji sebesar Rp 1,5 triliun tersebut.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman