Tentu saya juga ke Titik Nol. Di IKN. Yang kini jadi tujuan wisata baru. Saya juga ke sebuah bukit yang lebih tinggi: tempat Presiden Jokowi bermalam di tenda saat itu: Minggu 13 Maret 2022.Tentu tenda presiden itu sudah tidak ada. Demikian juga tenda pendamping. Trap-trap untuk naik ke bukit itu pun sudah mulai rusak: dimakan hujan.
Trap itu memang dibuat sangat sementara. Hanya tanah yang dibuat bertangga-tangga. Diberi sedikit kerikil. Diganjal papan kayu. Trap seperti itu memang khas lokal. Murah. Mudah. Juga mudah rusak. Bukan trap beton.
Saya tapaki trap rusak itu. Naik dan naik. Sambil menghitungnya: 67 anak tangga. Ngos-ngosan.
Setelah tangga paling atas itulah tempat Presiden Jokowi bermalam. Yakni di lokasi yang diratakan. Untuk dipasangi tenda.
Lokasi di depan tenda juga diratakan: untuk Presiden duduk-duduk di sore hari. Dengan hanya mengenakan sarung. Yang fotonya mungkin ikut Anda koleksi. Yang di sekitar foto terlihat seperti hutan.
Saya ikut bersantai sebentar di situ. Di bekas lokasi pembuatan foto santai itu. Tidak ada lagi kursi presiden. Saya duduk di lantai. Di tanah. Di atas batu-batu kecil yang sudah mulai bercampur tanah. Sambil meredakan jantung yang berdetak lebih tinggi dari bukit itu.
Yang masih terlihat di sekitarnya adalah kamar-kamar mandi dan toilet. Semua semi darurat. Yang dibuat tepencar. Ada yang untuk Presiden. Ada pula yang untuk beberapa menteri yang ikut bermalam di situ.
Dari tempat Presiden duduk itu pemandangannya memang indah. Presiden Jokowi tentu memandang jauh ke depan sana. Yang lembahnya membentang hijau nan luas. Yang ada bayangan bukit-bukit kecil nun di jauh sana. Seluas Kaltim memang tidak punya gunung. Satu pun.
Saya tidak bermalam di sini. Bahkan tidak sampai 10 menit di situ.
Matahari sudah kian tinggi. Sudah waktunya saya ke Titik Nol. Jaraknya hanya sekitar 3 menit bermobil dari Bukit Sarung Jokowi.
Saya tidak mendahulukan langsung ke Titik Nol karena sengaja: untuk menunggu matahari. Agar sama tinggi dengan ketika Titik Nol itu diresmikan: Senin 14 Maret 2022.
Saya ingin merasakan cuaca saat itu. Di ketinggian matahari yang sama. Semenyengat apa panasnya. Kok sampai ada gubernur yang pingsan.
Ternyata panasnya memang khas kawasan itu. Masih seperti panas di sekitar Balikpapan zaman dulu. Seperti panasnya cabai rawit. Khas panas matahari di hutan sekitar Balikpapan. Yang saya akrab dengan panas seperti itu di masa muda lalu.
Saya benci panas jenis ini. Yang membuat saya kangen Jawa. Surabaya memang lebih panas dari Jakarta. Tapi di lokasi ini panasnya seperti sengaja matahari diturunkan sepertiga lebih rendah.
Maka saya maklum kalau di acara waktu itu salah satu dari 34 gubernur yang hadir sampai pingsan. Panas ini, kalau dicek di temperatur mungkin hanya 32, tapi serasa 49.
Para calon penghuni IKN sudah harus terbiasa dengan panas jenis ini. Itulah sebabnya IKN juga harus membangun hutan baru: yang rimbunnya bisa menyerap sebagian panas jenis itu.
Hutan yang sekarang tidak memadai. Yang pohon-pohonnya lurus daunnya jarang.
Titik Nol ini berada di tebing sebuah bukit pendek. Ukuran bukitnya hanya 30. Itu pun bukan di bagian putingnya. Posisi puting itu sendiri sudah diratakan. Sudah jadi lapangan kecil yang bisa untuk parkir sekitar 30 kendaraan.
Mobil saya juga diparkir di situ. Lalu kami menuruni 41 anak tangga permanen. Itulah anak tangga ke plaza kecil di tebing itu. Saya membuat video di situ: untuk IG. Ada tulisan besar TITIK NOL. Yang ikonic. Bisa jadi latar belakang foto.
Di tebing antara plaza dan lapangan parkir itulah bibit-bibit pohon baru ditanam. Yang melakukannya para gubernur se Indonesia. Dengan jenis tanaman berbeda. Sesuai dengan keunggulan daerah masing-masing.
Saya tidak mendaki ke tebing itu: takut mengganggu tanaman baru yang masih sensi. Akibatnya saya tidak tahu: gubernur mana, menanam apa, di sebelah siapa.
Dengan tidak mendekat saya justru bersyukur: tidak perlu tahu apakah ada tanaman yang mati. Atau yang tumbuh malas-malasan. Saya tidak bisa membayangkan besarnya isu politik yang akan muncul: kalau yang mati itu yang ditanam oleh gubernur yang lagi dicintai sekaligus dibenci.
Menurut pengamatan saya, dari jauh, semua bibit itu tumbuh dengan baik. Beberapa di antaranya masih dilindungi jaring hitam untuk mengurangi sengatan matahari IKN.
Dari kejauhan itu saya melihat mayoritas seperti tanaman durian. Atau itu hanya halu saya saja. Yang sudah sebulan tidak punya kesempatan makan durian. Dan baru kemarin, ketika di Singapura ini, saya makan durian.
Hemmm, durian! Akan ada durian IKN dari Jambi. Kalau tidak salah.
Penanda Titik Nol itu sendiri, Anda sudah tahu: patok beton di tengah plaza kecil. Patok pendek. Tidak sampai setengah meter.
Di plaza inilah, hari itu, seluruh gubernur menyerahkan oleh-oleh khusus kepada Presiden Jokowi: tanah dan air dari provinsi masing-masing. Untuk dicampur ke dalam satu bejana besar. Menjadi oplosan tanah-air Indonesia.
Bejana itu sendiri tidak lagi di plaza itu. Ia sudah dipindahkan ke lokasi sekitar 25 meter dari situ. Sudah ditanam. Dengan penanda seperti beton segi empat. Dua x dua meter. Setinggi setengah meter dari tanah.
Posisi ‘’tanah-air’’ Indonesia itu lebih dekat dari lapangan parkir di puting bukit yang sudah diratakan tadi.
Berarti letak Titik Nol ini dekat sekali dengan jalan raya utama jurusan Samarinda-Banjarmasin. Tidak sampai1 km.
Bukan di sebuah pedalaman yang jauh dari mana-mana.
Sebelum meninggalkan Titik Nol saya pun berpikir: saya juga harus menyumbangkan sesuatu di Titik Nol. Biar pun saya bukan gubernur. Maka saya cari toilet temporer di dekat parkir itu: saya menyumbang air dari bagian tubuh saya yang paling vital di situ.***