Ketika alam sudah hilang rupa karena keserakahan manusia, maka tidak hanya manusia yang yang kembali kepada semesta. Tapi, Terubuk juga mencari jalan pulang menuju Tuhan. Sungguh, sebuah pertunjukan sebagai bentuk protes terhadap kerusakan lingkungan. Beginilah Suku Seni mempersembahkannya.
(RIAUPOS.CO) – SUKU Seni Riau kembali hadir dengan pertunjukan bertema lingkungan berjudul "The Terubuk; Migrasi Ikan-Ikan Menuju Tuhan” naskah dan sutradara Marhalim Zaini, didukung empat pemain yakni Baharsyah Setiaji, Joni Hendri, Adek Feisal Usman, dan Ratna Iri Rahmayani. Kali ini dipentaskan dalam Festival Teater Sumatera di Taman Budaya Sriwijaya Sumatera Selatan.
Helat yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan tersebut berlangsung tanggal 11-13 November 2021, dan menghadirkan belasan kelompok teater mewakili dari tiap provpinsi di Sumatera. Selain itu, pertunjukan ini dalam versi daring juga tayang dalam Wave 21 Festival yang ditaja oleh Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaaan (ASWARA) Kuala Lumpur, Malaysia.
Sebagaimana karya-karya teater yang pernah disuguhkan Suku Seni Riau sebelumnya, antara lain Dilanggar Todak, Hikayat Orang Laut, dan Agama Sungai, dalam produksi ke-15 ini Suku Seni kembali mengangkat tema lingkungan, laut (maritim), sungai, hutan. Kali ini pintu masuknya ikan terubuk. "Menyebut " ikan terubuk" tidak semata soal lauk-pauk untuk dimakan, tetapi juga membuka memori kolektif kita ihwal kompleksitas nilai-nilai peradaban maritim masyarakat Melayu Riau, khususnya di wilayah sekitar Selat Bengkalis selama berabad-abad dan di masa Kesultanan Siak," tutur Marhalim Zaini.
Menurutnya, ikan terubuk bisa ditelisik mulai dari aspek nilai ekonomi, kesusastraan klasik adiluhung "Syair Ikan Terubuk" beserta nilai historis-politisnya, tradisi ritual semah terubuk dengan kekuatan mitos dan supranaturalnya, nilai seni tutur bersyair dalam masyarakat lisan, isu konservasi lingkungan air dan hutan, sampai pada jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat terkait erat dengan bagaimana ikan terubuk diolah dalam berbagai jenis masakan.
Ikan Terubuk (tenualosa macrura) dulu tersebar luas termasuk di pesisir timur Sumatera, namun sejak 1970, mulai menghilang. Spesies ikan terubuk yang ditemukan di Bengkalis, Riau, adalah T. Mecrura, yang kini terancam punah. Spesies lain, seperti T. Ilisha, tersebar di bagian utara Sumatera hingga ke Kuwait, menjadi komoditas penting di Bangladesh, India, Burma, Pakistan dan Kwait.
Sejak abad ke-19 masyarakat Bengkalis telah memercayai bahwa ikan terubuk jantan di Selat Melaka akan berubah menjadi betina ketika memasuki Selat Bengkalis untuk bertelur. Migrasi dari Selat Melaka ke Selat Bengkalis dan sebaliknya terjadi sepanjang tahun pada bulan baru dan bulan purnama.
Namun, bagaimanakah kondisi ikan terubuk hari ini? Marhalim menyebut, kondisi populasi ikan terubuk sekarang mengalami penurunan, hal tersebut karena Ikan terubuk menjadi buruan nelayan yang beroperasi di Perairan Bengkalis, Siak, dan Kepualuan Meranti. Selain itu, banyak penelitian menemukan, juga disebabkan oleh penangkapan dengan mengunakan alat yang tidak selektif dan penangkapan di muara saat memijah, serta penangkapan ikan yang berlebih (over fishing) saat ikan beruaya atau mencari makan.
Maka tekanan ganda bagi ikan terubuk, yaitu akibat penangkapan secara terus-menerus terhadap terubuk guna diambil gonad matangnya (telur) dan kecenderungan degradasi lingkungan (terutama disebabkan oleh serbuk kayu) pada daerah habitat utama ikan tersebut.
"Pertunjukan teater ini hendak menawarkan sebuah tafsir kreatif atas fenomena ikan terubuk sebagai salah satu pintu masuk untuk menelisik kompleksitas nilai peradaban laut masyarakat Melayu Riau, khususnya masyarakat Bengkalis, Siak, Kepulauan Meranti, dan sekitarnya. Tafsir tersebut dilandaskan pada setidaknya dua sumber utama sebagai titik mula eksplorasi, yakni "Syair Ikan Terubuk” dan tradisi ritual "Semah Terubuk”, serta mengelaborasinya dengan kelindan persoalan sosial mutakhir, terutama berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi,” jelas Marhalim.
Presentasi simbolik (ikan) kemudian dipilih sebagai sebuah tawaran ekspresi estetik yang memungkinkan terbukanya ruang tafsir lain yang lebih luas atas kompleksitas nilai ikan terubuk.
"Keberpihakan dan keprihatinan atas degradasi lingkungan menguat dalam teks-teks puitik dalam pertunjukan diolah dari puisi saya berjudul "Sejarah Rempah dan Kisah Orang Lapar” (dimuat Kompas, 20 Desember 2015). Sehingga antara permainan simbol dan gagasan ideologis diharapkan saling bertukar-tangkap makna, dan memantik lahirnya gagasan kritis yang lain,” jelas Marhalim, yang juga Ketua Umum Asosiasi Seniman Riau (Aseri) ini.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru