JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kejadian kegawatdaruratan bisa terjadi di mana pun. Di kantor, bandara, sekolah, maupun tempat-tempat publik. Karena itu, keahlian dasar pertolongan pertama seharusnya menjadi salah satu yang dikuasai orang awam sekalipun.
Kepala Unit Emergensi dan Intensif Rumah Sakit (RS) Adi Husada dr Filip Yustinus Ongo mengatakan, kondisi henti napas dan henti jantung atau biasa disebut dengan istilah code blue tidak hanya bisa terjadi di mana pun. Tapi juga bisa terjadi pada siapa pun dengan berbagai sebab. Saat terjadi di lingkungan RS, tenaga kesehatan (nakes) yang mengetahui hal tersebut akan langsung membunyikan alarm khusus penanda code blue. Untuk mendapat pertolongan bantuan dari tim medis yang ada di RS.
Namun, saat kejadian kegawatdaruratan hingga code blue terjadi di luar lingkup RS, orang di sekitar pasien mesti tanggap. Sehingga keahlian (skill) pertolongan pertama bisa dipelajari sejak anak-anak, minimal kelas V atau VI SD. ”Tidak terbatas hanya usia dewasa yang bisa mengetahui skill tersebut. Sebab, pertolongan pertama bisa diberikan dari siapa saja,” ujarnya.
”Pertama kali sadari dulu bahwa pasien bukan hanya pingsan biasa, tapi sedang henti napas. Orang awam bisa menandai itu dari gerak dadanya. Tidak usah bicara tensi dan nadi dulu. Begitu seseorang itu dalam kondisi pingsan dan tidak napas, sudah pasti itu code blue,” terangnya.
Langkah kedua yang bisa dilakukan adalah memanggil bantuan dengan cara menghubungi fasilitas kesehatan (faskes) terdekat demi mendapatkan pertolongan lanjutan. ”Selanjutnya bisa melakukan pertolongan pertama, yakni pijat jantung. Jadi, untuk orang awam, mereka sudah bisa melakukan pertolongan pertama tanpa alat apa pun. Yaitu lewat pijat jantung dengan teknik yang benar dengan memperhatikan beberapa hal. Itu sudah sangat bisa menolong dan menyelamatkan nyawa,” paparnya.
Filip menambahkan, skill pijat jantung harus dipelajari dengan teori sekaligus praktik sebelumnya. Ada pelatihan khusus yang bisa diikuti untuk bisa memiliki keahlian tersebut. Fungsi pijat jantung itu pun terbilang besar, yakni membantu mengalirkan darah ke otak. Sehingga otak tetap mendapatkan suplai oksigen yang dibawa oleh darah.
”Dalam kondisi henti napas dan henti jantung, dalam hitungan menit saja otak bisa kekurangan oksigen yang ada dalam darah. Dalam waktu satu sampai tiga menit otak bisa mati. Semakin cepat dilakukan pertolongan, nyawa pasien bisa diselamatkan. Pijat jantung itu bisa dilakukan sembari menunggu bantuan medis datang ke lokasi,” imbuh alumnus Universitas Hang Tuah Surabaya tersebut.
Filip menuturkan, pertolongan dini juga dibutuhkan mereka yang mengalami kegawatan, tapi tidak sampai mengalami henti napas henti jantung atau code blue. Pertolongan pertama pada kejadian gawat darurat (PPGD) semacam itu bisa dilakukan pada orang yang mengalami kecelakaan, luka bakar, hingga trauma elektrik seperti tersengat listrik. Pertolongan pertama pun sebaiknya dilakukan dengan prinsip-prinsip medis yang tepat.
”Ada beberapa hal yang sering salah kaprah. Misalnya, ada yang kecelakaan, langsung diberi minum dengan alasan biar nggak kaget. Padahal seharusnya justru dipuasakan. Supaya nanti kalau pasien memerlukan tindakan bedah atau operasi, bisa dilakukan prosedur pembiusan,” terangnya.
Masih banyak pula masyarakat yang lebih memilih menggunakan odol untuk pertolongan awal pada luka bakar. Padahal, prinsip pertolongan pertamanya cukup dengan dikompres air mengalir agar tidak timbul infeksi. ”Yang sering terjadi, ada beberapa keluarga pasien yang termakan acara-acara TV. Mereka minta tenaga medis mengupayakan kejut jantung listrik. Padahal, tidak semua bisa dikejut jantung. Harus ada indikasi khusus. Seperti adanya gangguan irama jantung, baru bisa dikasih kejut jantung” ungkapnya.
Pertolongan Pertama Pada Kegawatandaruratan dan Code Blue
– Saat kondisi pandemi seperti saat ini, jangan gunakan metode napas buatan sebagai pertolongan pertama karena tidak aman.
– Upayakan melindungi diri sendiri terlebih dulu sebelum memberikan pertolongan kepada orang lain.
– Beberapa mitos mesti disingkirkan saat melakukan pertolongan pertama. Seperti memberi minum yang justru bisa berbahaya karena masuk ke dalam paru-paru.
– Pada kejadian kecelakaan, pasien sebaiknya dibiarkan dalam kondisi terakhirnya. Jangan dievakuasi atau dipindahkan sampai bantuan medis datang. Demi menghindari munculnya cedera lain yang lebih berat.
– Tiga sebab utama henti napas henti jantung (code blue): sumbatan di jalan napas, tersedak makanan yang menghalangi jalan napas, dan problem pada paru-paru seperti positif Covid-19.
– Diabetes dan kolesterol bisa menjadi faktor risiko serangan jantung yang berujung pada code blue.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman