FAST & Furious menjadi salah satu franchise film aksi paling besar. Perlahan meninggalkan "tradisi" balapan, franchise itu terus menekankan aksi yang intens. Dimulai spin-off Hobbs & Shaw yang sekarang sudah bisa ditonton di bioskop.
Spin-off pertama Fast & Furious ini sama sekali tidak berhubungan dengan film pertama Fast & Furious pada 2001. Karakter Luke Hobbs (Dwayne Johnson) baru diperkenalkan pada Fast Five (2011). Deckard Shaw (Jason Statham) adalah villain utama dalam Furious 7 (2015).
Film ini tidak akan menceritakan Hobbs yang melawan Shaw. Keduanya justru menjadi rekan setim. Shaw harus menyelamatkan adiknya, Hattie (Vanessa Kirby), agen MI6 yang kabur ke London. Dia dituduh membunuh rekan setimnya dan terlibat dalam konspirasi pemusnahan umat manusia dengan virus aneh yang mematikan. Pihak CIA dan MI6 meminta Hobbs menyelidiki kasus tersebut.
Hobbs dan Shaw kini harus menyelesaikan masalah itu bersama. Ditambah, mereka juga harus berhadapan dengan Eteon, kelompok kriminal misterius yang berbahaya. Brixton (Idris Elba) adalah bagian dari komunitas tersebut. Dia menyebut dirinya sebagai black Superman.
Buat Hobbs, ini menjadi tugas lainnya untuk menyelamatkan dunia. Namun, bagi Shaw, ini adalah petualang personal yang berhubungan dengan keluarganya. Petualangan mereka sangat menarik karena Hobbs dan Shaw memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Namun, itulah yang membuat film tersebut patut dilabeli sebagai film Fast & Furious pertama yang mengusung action-comedy.
Johnson dan Statham mampu menyampaikan skrip yang ditulis Chris Morgan dan Drew Pearce (sutradara Hotel Artemis) dengan cukup baik. "Anda hampir dapat merasakan mereka bersaing untuk mengalahkan satu sama lain di set. Dalam beberapa hal, sutradara David Leitch muncul untuk membiarkan mereka melontarkan improvisasi satu sama lain dengan close-up kamera yang intens untuk mengambil setiap ekspresi," tulis Matthew Dougherty, kolumnis IGN.
Seluruh aksi dalam film Fast & Furious selalu menarik dan all-out. Tidak terkecuali dalam film ini. Banyak aksi gila dan menegangkan. Tidak heran karena Leitch cukup sering menciptakan film-film aksi besar sebelumnya. Di antaranya, John Wick (2014), Deadpool 2 (2018), dan Atomic Blonde (2017).
"Sebagian besar sekuen menghibur dan dipentaskan dengan baik. Lalu, (Idris) Elba juga menarik (di film ini) karena bisa membuat kita benar-benar peduli ketika dia bertahan dari lemparan mobil," tulis Aja Romano, kolumnis Vox. Hobbs & Shaw sama dengan film-film Fast & Furious yang mempertahankan unsur keluarga. Shaw tidak hanya harus berhadapan dengan adik perempuannya, tetapi juga ibunya (Helen Mirren). Hobbs bernostalgia dengan tanah kelahirannya, Samoa, dan bertemu lagi dengan saudaranya, Jonah (Cliff Curtis). "Perpaduan antara ritual di pulau (Samoa) dan ikatan keluarga benar-benar menghasilkan emosi yang nyata," komentar Eric Kohn, kolumnis Indie Wire.
Namun, banyak yang menyayangkan bahwa film itu terlalu lama. Klimaks kurang gereget meski aksi yang ditampilkan cukup intens. Beberapa hal juga dinilai kurang realistis.
Sejauh ini di Transmart Pekanbaru, pemutaran film ini sejak Rabu (31/7) lalu telah ditonton lebih dari 1.845 orang. Penayangan perdananya ada lebih 970 penonton dan 875 penonton di hari kedua. "Sejauh ini bagus. Trennya Sabtu dan Ahad sepi, karena mahal. Hari biasa malah ramai," ucap Viktor, Asisten Cinema CGV Transmart.
Jika dibanding film Indonesia yang tayang, seperti Dua Garis Biru, jumlah penoton Fast & Furious Present ini masih terbilang kalah dari film dalam negeri. "Karena peminatnya banyak orang dewasa yang sudah mengikuti dari awal sekuelnya. Awal-awal Tokyo Drift," ujarnya.(adn/janjpg/*1)
Editor: Arif Oktafian