JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Persebaran virus Corona yang tak terkendali membuat perekonomian semakin tidak pasti. Pasar investasi pun ikut berfluktuasi. Emas memang menjadi sorotan karena lonjakan nilainya signifikan. Namun, ada jenis-jenis investasi lain yang juga bisa menjadi opsi.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara tidak menampik popularitas emas sebagai pilihan investasi masyarakat. Apalagi pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang. Emas merupakan salah satu instrumen safe haven. Kenaikan harganya dalam setahun terakhir juga menjadikan emas semakin diminati masyarakat.
“Harga spot dunia naiknya 28 persen. Emas relatif aset yang aman terhadap inflasi dan resesi. Jadi, ada banyak orang yang memburu,” ujar Bhima.
Namun, ada anggapan lain soal emas. Yakni, harganya sudah over value. Atau, rentan terkoreksi di masa depan nanti. Jika membelinya dalam jumlah banyak, si pemborong akan membutuhkan tempat penyimpanan. Di bank misalnya. Artinya, akan ada biaya tambahan yang harus dibayar setiap bulan.
Selain itu, emas memiliki selisih (gap) antara harga beli dan harga jual. Harga beli emas PT Aneka Tambang (Antam) pada 11 September mencapai Rp1.052.520. Harga jualnya pada posisi Rp929 ribu.
“Harga jualnya lebih murah daripada saat membeli. Ada selisih biaya di situ,” jelas Bhima.
Dia lantas merekomendasikan beberapa pilihan investasi menarik selain emas. Yakni, surat utang pemerintah/surat berharga negara (SBN), deposito, dan reksadana saham. SBN dalam bentuk obligasi negara ritel (ORI) saat ini memiliki imbal hasil 6,93 persen. Hanya dengan uang Rp1 juta, masyarakat sudah bisa membeli.
Di sisi lain, selama pemerintah masih melebarkan defisit anggaran, kebutuhan surat utang masih cukup tinggi. Potensi untuk meraup keuntungan atau laba dari investasi dalam surat berharga itu (capital gain) juga masih ada. Pembelian SBN kini bisa lewat fintech sehingga prosesnya bisa lebih cepat.
Selanjutnya, deposito bisa menjadi alternatif. Mengingat, deposito dengan simpanan di bawah Rp 2 miliar masih ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam memilih deposito, masyarakat harus memperhatikan kondisi bank. Tren selama pandemi, banyak nasabah yang bergeser ke bank dengan modal besar. Bank buku III dan IV.
Untuk reksadana, kata Bhima, volatilitas pasar saham memang cukup mengikat, apalagi dalam situasi wabah Covid-19. Tapi, itu juga bergantung pada pemilihan manajer investasinya. “Lihat yang punya track record bagus, portofolio sahamnya itu bukan saham yang kapitalisasinya kecil atau gorengan,” ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
Di samping itu, peluang properti sebagai instrumen investasi juga tetap ada. Pengamat properti dari Epic Properti Gali Ade Nofrans justru menganggap pandemi sebagai waktu yang tepat untuk membeli properti. Menurut Nofrans, hal tersebut dilatarbelakangi pemilik properti lama yang cenderung melakukan likuidasi atau melepas asetnya untuk memenuhi kebutuhan, baik secara bisnis maupun pribadi.
“Sehingga kondisi saat ini membentuk buyers market,” ujarnya.
Nofrans menambahkan bahwa dampak Covid-19 hanya mengoreksi penjualan pasar properti pada Maret dan April. Selepas periode tersebut, menurut dia, penjualan mulai kembali bergerak. “Ini menandakan bahwa industri properti akan bisa bangkit kembali,” bebernya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman