Majelis Upah-upah dan Tepuk Tepung Tawar Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau memberikan sebuah kehormatan kepada Bongku bin Jelodan (58). Dia adalah masyarakat adat Suku Sakai yang sempat 7 bulan mendekam di balik jeruji besi akibat tuduhan perusakan hutan. Dia dikriminalisasi, dijebloskan ke penjara dan divonis bersalah oleh hakim.
(RIAUPOS.CO) – ADAPUN hutan yang dimaksud dan menjadi objek tuduhan Bongku adalah kawasan hutan tanaman industri (HTI) yang dikelola korporasi di Negeri Junjungan Bengkalis. Seyogyanya, masyarakat adat Sakai meyakini tanah tersebut merupakan tanah ulayat sepeninggalan nenek moyangnya terdahulu. LAM Riau memberikan sebuah kehormatan tersebut sebagai bentuk penyemangat dan memulihkan marwah Melayu.
Ketua Dewan Pengurus Harian LAM Riau, Datuk Seri Syahril Abubakar mengatakan bahwa kasus yang menimpa Bongku ini merupakan kejadian luar biasa yang cukup menyayat hati masyarakat Melayu di bumi Lancang Kuning.
“Upah-upah dan tepuk tepung tawar yang diberikan LAM Riau kepada Bongku ini adalah pemaknaan untuk mengembalikan semangat dan kebangkitan marwah Melayu. Ini bukan hanya untuk Tuan Bongku, tapi untuk kita semua orang Melayu. Supaya kita bangkit dan tidak terperdaya di kampung sendiri,” kata Datuk Syahril, Ahad (9/8) malam.
Bongku hadir di Gedung Balai Adat Melayu Riau bersama istri, anak dan beberapa kepala Perbatinan Sakai dari Duri Kabupaten Bengkalis. Kehadirannya disambut tabuhan musik tradisional kompang dan silat Melayu bak Raja semalam. Prosesi upah-upah dan tepuk tepung tawar Bongku yang bersempena dengan hari masyarakat adat internasional ini juga difasilitasi secara virtual, sehingga dapat diikuti berbagai kalangan di alam maya.
“Mau berkebun di tanah ulayat sendiri pun dipenjarakan. Apa kita mau terima ini? Setelah kasus Bongku ini jangan ada Bongku-bongku (kasus serupa, red) yang lain, ini marwah kita,” tegas Datuk Syahril Abubakar, dengan lantang.
Ke depan, LAM Riau sudah menyiapkan warkah atau sebuah ketetapan, bahwa ke depan jangan ada lagi perusahaan-perusahaan di Riau yang membawa masyarakat Melayu ke ranah hukum sebelum dirundingkan bersama LAM Riau.
“Jika ada kasus serupa, anak kemanakan kami yang melakukan pelanggaran-pelanggaran, kita meminta kepada aparat untuk memberi waktu dan berdiskusi dengan LAM Riau,” katanya.
Kasus yang menimpa Bongku adalah pukulan telak bagi LAM Riau. Sebab masyarakat adat adalah asset kebudayaan dan sejarah yang menempati bumi Melayu di Riau. “Jangan meraja-raja di kampung raja,” ungkap Datuk Syahril lagi.
Kriminalisasi yang diterima petani Suku Sakai ini bermula saat dirinya menebang 20 batang pohon eucalyptus dan akasia yang dikelola PT Arara Abadi di kawasan rumahnya RT 01 RW 02 Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis untuk menanam ubi mangalo. Jenis ubi racun itu yang nantinya diolah Bongku untuk dijadikan makanan tradisional Sakai yang bernama mangalo.
Saat itu pula, dia ditangkap sekuriti dan digiring ke pihak polisi pada 3 November 2019. Penasehat hukum terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Rian Sibarani, mengatakan, Bongku disidang di Pengadilan Bengkalis 24 Februari 2020 lalu. “Hakim saat itu menyatakan Pak Bongku bersalah dan menjatuhi hukuman satu tahun penjara, denda Rp200 juta dan subsider 1 bulan kurungan penjara,” kata Rian kepada Riau Pos, Senin (25/5) lalu.
Rian menyebutkan, hakim memvonis Bongku melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang berbunyi: “Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun penjara serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp2,5 milar.”
Bongku sempat mendekam selama 7 bulan di balik jeruji besi. Dan akhirnya dia bebas setelah mendapat asimilasi dari Kemenkumham pada Mei lalu. Kini dirinya telah bernafas lega dan kembali ke pangkuan keluarga.
Kepada Riau Pos, Bongku mengaku bersyukur dan merasa senang setelah dinyatakan bebas. Dia pun mengucapkan terima kasih kepada LAM Riau telah diberikan momentum istimewa. ”Kalau istilah kami ini memulangkan semangat, agar semangat kembali ke diri kami lagi,” tuturnya.
Pemaknaan upah-upah bagi Bongku
Bongku dihadiahi upah-upah dan tepuk tepung tawar oleh LAM Riau. Dalam prosesi itu para tetua adat dari Perbatinan Sakai dan LAM Riau satu persatu mengupah-upah Bongku bersama istri dan anaknya di Balairung Tenas Effendy, Gedung LAM Riau. Tokoh masyarakat adat Sakai Bengkalis, Mohd Agar Kalipke menjelaskan, upah-upah yang diberikan kepada Bongku ini adalah upah-upah Nasi Kunyik Paga Tolou, Panggang Ayam Betangkup. Tradisi ini adalah salah satu bagian upacara pengobatan yang ada di lingkungan masyarakat Sakai.
Agar Kalipke mengatakan, pada mulanya upah-upah ini adalah sebuah acara pengobatan babak akhir dalam sebuah pengobatan tradisi perdukunan di masyarakat Sakai untuk seorang pasien yang telah berhasil disembuhkan oleh dukun dari penyakit, terutama yang berkenaan dengan semangat.
Namun, kali ini alasannya sedikit berbeda, seperti dipaparkan oleh yang mulia Datuk Al Azhar. Kata upah-upah ini berasal dari kata dasar upah yang maknanya adalah hadiah, atau buah tangan dari keluarga pasien melalui seorang dukun.
“Memang sesuai dengan namanya, upah-upah ini dibuat selain untuk makanan pasien yang telah sembuh sebangsa sukuran, tetapi juga yang paling penting adalah untuk imbalan kepada makhluk halus yang telah membantu pasien ini menjadi sembuh kembali dengan mengembalikan semangat atau roh yang diperangkapnya (makhluk halus),” katanya.
Upah-upah ini terdiri dari dulang kulit kayu cenaih yang bagian atasnya dilapisi dengan daun keai (sebangsa palem). Sedangkan di dalam dulang kulit kayu cenaih ini, atau isi upah-upah ini adalah, Boeh patah tampout- betampout, artinya beras putih biasa yang patah-patah, kemudian disambung-sambung. Ini melambangkan barisan masyarakat kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, menunjukkan kesatuan yang tak dapat dipisahkan atau terpisahkan.
Boeh panjang somik buieig, yakni beras putih biasa yang utuh (tak ada yang patah), kemudian disambung-sambung sehingga membentuk lingkaran yang terlihat seperti semut yang berjalan mengikuti satu dengan yang lainnya. Ini menyimbolkan kesatuan dari orang-orang yang disegani di masyarakat. Kemudian Bungo samak, yaitu bunga dari pohon samak. Bunga ini menyimbolkan keindahan. Indah dipandang mata dan senang dirasakan hati. Maka disebutlah dengan kata pujian berdoa bungo samak yang bermakna berbunyi indah bunga samak.
Lalu Boeh putih siku keluang, maknanya beras putih yang dibentuk dan dimiripkan dengan siku/sendi keluang atau siku kalong besar. Beras bentuk ini menyimbolkan orang-orang intelektual atau bijaksana di dalam lingkungan masyarakat adat Sakai, yang bisa diajak berunding untuk memecahkan suatu masalah yang ada di dalam lingkungan masyarakat adat Sakai.
Tolou ebuih, ialah telur ayam rebus. Telur ini memaknakan atau melambangkan/ membayangkan kejadian manusia atau asal-usul manusia. Dari telur inilah terlahirnya manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Seorang dukun dengan menggunakan sebutir telur, dipercayai mampu mendeteksi atau meronsen penyakit apa yang ada di dalam tubuh pasien yang sedang menderita sakit.
Kemudian Nasi kunyik, yakni nasi ketan yang diwarnai dengan air kunyit dan santan, sehingga berwarna kuning. Nasi kuning dari ketan atau pulut ini ialah menunjukkan kerapatan dan kerakraban petinggi-petinggi masyarakat Sakai yang tak mudah dipisahkan dan dipatahkan satu sama lainnya. Paling kurang kita mengharapkan demikian. Warna kuning pula menandakan warna yang berwibawa atau yang diagungkan.
Dan yang terakhir panggang ayam betangkup ialah ayam panggang yang ditelungkupkan letaknya pada nasi ketan kuning tadi. Ayam ini, biasanya, ayam jantan yang masih bujang: setelah disembelih, dibumbui, dan dipanggang hingga matang, maka ayam itu diletakkan di puncak nasi kuning.
“Nah, selain menandakan tanda bersyukur, dengan memakan ayam panggang itu juga mempunyai makna tertentu, di luar dari sekedar kebutuhan selingkar perut saja,” ungkap Agar, salah satu warga Sakai yang lama menetap di Jerman.
Proses pemanggangan ayam ini, menurut lulusan S2 di Hamburg, menyimbolkan betapa masyarakat adat Sakai sangat menjunjung tinggi budaya mereka yang mengatur hidup dan kehidupan mereka. Apa yang mereka katakan “Pampeh pemoli darah, dandang pemoli nyao” tercantumlah di dalam ayam panggang ini. “Yakni baik melukai, maupun membunuh sekalipun ada aturan dendanya atau hukumnya,” tuturnya.(kun)
Laporan PANJI A SYUHADA, Pekanbaru