(RIAUPOS.CO) – Minder atau rendah diri adalah penyakit bawaan asal manusia (penyakit primordial). Setiap orang boleh menduga, penyakit ini mungkin berkaitan dengan tak “dianggap”nya manusia oleh Iblis ketika Tuhan memerintahkan mereka untuk bersujud kala pertama penciptaan Adam. Ihwal ini selalu disebut sebagai “teater kosmis” di awal-awal sejarah manusia dan peradaban manusia. Selanjutnya? Setiap anak manusia keturunan Adam terserang penyakit minderwaardigheid complex atau populer dikenal sebagai mc (alias rendah diri). Perjalanan selanjutnya menjadi penghias dan pengukir nestapa, namun bisa pula berwujud komedia dan bahkan menuju tragedi. Kenapa ini terjadi? Karena manusia yang memikul penyakit asali bernama “rendah diri” itu harus membuat imbangan bernama “tinggi hati”. Bagaimana caranya? Tak ada jalan lain; lewat cara atau jalan merendahkan orang lain, menjatuhkan air muka orang, menghujat dan memperkatakan orang lain.
Lewat jalan inilah, seakan dia bisa menaikkan diri, meninggikan diri, meninggikan martabat. Orang lain tetap dianggap salah. Termasuk kepercayaan orang lain, yang tak sejalan dengan kepercayaannya, tetap dianggap jalan salah, jalan sesat, jalan kelabu. Bukan saja kepercayaan, malah masuk pula ke tempat dan asal tanah kelahiran. Di muka bumi yang satu ini tak ada tempat yang lebih dimuliakan berbanding tempat-tempat yang lain. Akan tetapi, secara antropologik dan sosiologik, ada fenomena kontak dan pertukaran budaya. Di kawasan yang terbuka, di kawasan sub tropis dan padang pasir, kontak dan pertukaran budaya itu berlangsung begitu seru. Sementara di kawasan negeri-negeri yang berhutan lebat, dengan pegunungan curam, seperti Afrika Tengah dan Papua, mengalami apa yang dikenal sebagai “kemiskinan budaya”, karena alam mereka yang keras, hutan lebat, sehingga tak terjadi pertukaran budaya dan kontak budaya.
Demikian halnya dengan ras, asal susul keturunan yang dalam bahasa sosiologi disebut sebagai ascribtive factors atau faktor-faktor yang dikaitkan dengan “kita”, asal usul kita, asal kejadian kita yang bukan sesuatu yang “bisa dipilih”. Faktor-faktor itu bisalah dinisbatkan dengan bahan baku asal kejadian manusia (dari tanah); iblis dari api dan malaikat dari cahaya. Anasir asal sebagai bahan baku ini tidak bisa dipilih. Ini domain Tuhan. Namun, ketika iblis menjadikan bahan baku ini sebagai diskusi “rasialis” atas penciptaan Adam dan perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam, maka terbitlah “dosa pertama” makhluk yang disebut sebagai rasialis. Maka, rasialis, fasisme adalah kejahatan sekaligus dosa pertama makhluk di depan Tuhan.
Dosa pertama ini mengalir sampai jauh, hingga kini. Dan dia beranak pinak dan diternakkan oleh manusia, melalui politik, melalui agama yang diformalkan, lewat kebijaksan pendidikan yang timpang, lewat sistem penerimaan pegawai dan rekrutmen karyawan, dan seterusnya. Semua bawaan rasialisme ini adalah merendahkan pihak lain, pihak yang berada di luar sana, pihak yang berada di seberang kita. Dari sinilah penyiksaan dan pemusnahan sebuah kelompok etnis berlangsung, gerakan anti-Semit berjalan dalam kemurungan sejarah nan gelap, gosong dan tak bertepi pada sebuah zaman. Hari ini, kita pun sibuk membajak Tuhan, menelikung hak kepemilikan surga dan neraka antara “kalian” dan “kita” yang saling berseberangan kepentingan itu. Tuhan diseret-seret dalam permainan demokrasi, Tuhan mengalami pembajakan demi pembajakan.
Dentang lonceng kedatangan agama-agama, dengan suara yang satu; Meletakkan manusia dalam kawah persaudaraan kemakhlukan. Bahwa setiap agama mengusung anti rasialisme, anti fasisme, dan mengusung orientasi pencapaian (orientasi prestasi), bukan sebaliknya, orientasi prestise. Hari ini, kita tak memerlukan siapa keturunan apa. Apa darahnya, keturunan apa datuk neneknya. Tetapi, yang lebih diutamakan adalah apa yang ada di dalam kepala dan yang mengisi dadanya. Ketika diketahui isi kepala dan dadanya, maka manusia dianggap lebih mementingkan isi yang mengarah pada suasana bijak, terbuka dan kebestarian. Di sini, manusia diperhitungkan dari apa yang diperbuatkannya demi kemaslahatan hidup. Bukan siapa dia, dan keturunan apa dia.
Seorang pemikir filsafat perenial dari Swiss, Frithjof Schuon, mengkritisi pandangan sang “Doktor Negasi” Rene Descartes; “saya berfikir maka saya ada”. Kritisi Schuon yang bernama Islam Muhammad Isa Nurudin itu, malah berpembawaan menambahkan kadar dari Descartes, bahwa; “karena saya ada maka saya harus berbuat”. Maka, manusia diukur dari perbuatannya, dirujuk dari apa yang dilakukannya untuk kemaslahatan umat dan makhluk. Bahwa mereka yang sibuk merendahkan orang lain, sejatinya tak lebih dari percikan reflektif tentang penyakit minder yang sedang disandang oleh manusia itu sendiri. Lewat cara merendahkan orang lainlah, dia merasa tinggi, dia merasa lebih utama. Padahal orang yang direndahkan atau mereka yang diperkatakan, yang diumpat itu tak berada di depan wajah mereka sendiri. Sehingga mereka memperkatakan angin, memperkatakan “daging busuk” atau bangkai, yang tidak bisa membela diri, tak bisa menjelaskan dakwaan-dakwaan yang dilontarkan kepadanya. Mau ditendang bangkai itu, dia tetap diam, tak melawan.
Dalam tradisi agama-agama, selalu dikaitakan dan diperkatakan bahwa wajah atau paras manusia adalah tumpukan berkumpulnya seluruh anasir ketuhanan. Bahwa di wajah manusialah segala kisah penciptaan dan kehendak ilahiah disulam, bukan di kaki atau di badan. Namun, sekali lagi terserap pada wajah atau paras manusia. Muhammad suci memberi ujaran cantik yang berkait dengan wajah manusia ini; “Jika kalian bertengkar, hindarilah wajah, karena wajah manusia itu diciptakan dari paras Tuhan”. Dalam Bibel, juga ditemukan satu frasa; “Man is created upon the image of God” (manusia diciptakan sejalan dengan paras Tuhan). Lalu, apa kaitannya paras atau wajah dengan minder? Ya, amat berkaitan; sebab orang yang rendah diri dan berupaya meninggikan martabatnya, selalu ditempuh lewat jalan menjatuhkan air muka orang lain, air muka dan paras orang yang berseberangan dengannya. Demikianlah dalam perjalanan sejarah manusia, yang dari waktu ke waktu, apakah lewat percakapan perorangan, diskusi kelompok, konferensi atau muktamar akbar, lewat diplomasi dan pertarungan panggung politik, sampai pecahnya perang, semua dimaksudkan untuk menjatuhkan pihak lain; bisa kaum minoritas, bisa mereka yang berseberangan ideologi politik dan kepercayaan. Inilah perjalanan dan derivasi dari pengembaraan penyakit bernama minderwaardigheid complex (rendah diri) itu. Dia tak saja memasung, namun sekaligus menumpas kemanusiaan.***