Jumat, 20 September 2024

Penjelasan PLN Dinilai Kurang Masuk Akal

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Lonjakan tagihan pelanggan listrik berujung pada pemanggilan PLN ke DPR. Kemarin (17/6), Komisi VII DPR RI meminta PLN untuk menjelaskan duduk perkara billing shock tersebut. Dalam rapat itu, DPR mendesak agar BUMN energi itu bisa memperbaiki pola komunikasi dengan konsumen agar lebih proaktif. Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menilai, pola komunikasi PLN kurang baik dalam menjelaskan penyebab tagihan listrik melonjak kepada konsumen.

Eddy juga menuntut agar PLN memberi penjelasan yang masuk akal bagi masyarakat. Terlebih, billing shock terjadi di tengah situasi pandemi.

"Masyarakat lagi susah, kaget dengan adanya lonjakan tagihan. Jadi tolong dari PLN jangan sampai ada kata-kata kalimat mengatakan bahwa masyarakat tentu bekerja dari rumah, banyak yang nonton drama Korea, nggak usah Pak. Itu kan bahasa-bahasa yang nonsains Pak," jelasnya.

Anggota Komisi VII dari Fraksi Demokrat Sartono Hutomo juga mempertanyakan sikap PLN yang tak memberi penjelasan terlebih dahulu bahwa billing shock terjadi karena petugas yang tak bisa mencatat meteran ke rumah warga. Sartono menyebut, banyak mendapat protes dari warga di dapilnya di Jawa Timur karena token prabayar dirasa cepat habis. Dia pun mengaku harus memberi penjelasan ke warga yang protes.

- Advertisement -

Dengan kondisi itu, PLN didorong untuk bisa transparan dan terus mengevaluasi kinerjanya. "Tugas bersama PLN untuk terus evaluasi dalam situasi saat ini kan sensitif ya Pak," tegasnya.

Komisi VII juga menyoroti keuntungan PLN yang terus tergerus. PLN juga dituntut untuk mencari inovasi agar pencatatan meteran tidak lagi dilakukan secara konvensional. Menanggapi berbagai persoalan itu, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menjelaskan duduk perkara itu. Dia bahkan meminta maaf apabila komunikasi yang dilakukan oleh pihaknya belum mampu mengurai persoalan yang terjadi.

- Advertisement -
Baca Juga:  Serahkan Hadiah Program Livin’ to the Max

Menurut Zulkifli, pihaknya kesulitan menjangkau 79 juta pelanggan secara bersamaan.

"Kami mohon maaf untuk itu. Komunikasi yang kami lakukan hanya melalui media dan media sosial, tetapi belum bisa menjangkau seluruh masyarakat," jelasnya.

Ke depan, dia berjanji akan melakukan sosialisasi perhitungan tagihan listrik, terutama pada masyarakat yang belum terjangkau akses internet. PLN juga akan memasang pemberitahuan di setiap kantor PLN di daerah. Zulkifli juga kembali menegaskan bahwa tidak ada kenaikan tarif listrik. Faktanya, pemerintah memang tak menaikkan tarif listrik sejak 2017.

Sehingga, kenaikan tagihan listrik masyarakat memang melonjak karena adanya skema penghitungan tagihan menggunakan formula penggunaan listrik rata-rata tiga bulan terakhir. PLN mengambil kebijakan bahwa besaran pemakaian untuk rekening April (pemakaian Maret) adalah rata-rata 3 bulan ke belakang (Januari, Februari, Maret atau Desember-Maret) dan di-carry over ke bulan Juni. Demikian pula untuk pemakaian April (rekening Mei). Sebagai catatan, kegiatan work from home dan PSBB yang dimulai Maret akan tercermin pada tagihan listrik bulan April dan Mei.

Ditambah lagi, periode April-Mei adalah bulan Ramadan yang notabene berlaku tren yang sama tiap tahunnya yakni ada peningkatan konsumsi listrik dari masyarakat pada momen Ramadan. Terlebih, bukan rahasia lagi jika banyak masyarakat yang bangun lebih awal saat momen Ramadan untuk melakukan kegiatannya. Sehingga, konsumsi listrik pun akan menjadi lebih panjang. Jadi, bisa dipastikan tagihan listrik akan naik jika dibandingkan hari-hari normal.

Baca Juga:  Ekonomi Nasional Masih Lemah, Laba Bersih KBI Tumbuh 55 Persen

Alhasil, pelanggan pun mengeluh tagihannya me­lonjak. Akhirnya, PLN pun mengambil kebijakan tagihan yang bisa dicicil oleh pelanggan. "PLN telah mengambil kebijakan perlindungan lonjakan dengan membuat skema angsuran terhadap lonjakan yang terjadi untuk yang mengalami kenaikan di atas 20 persen," jelasnya.

Terkait dengan kinerja perusahaan, Zulkifli memerinci, kuartal I tahun ini PLN merugi hingga Rp 38,8 triliun. Kerugian itu dipicu karena adanya pelemahan kurs. Mantan dirut Bank Mandiri itu menjelaskan, di awal tahun, nilai tukar rupiah sebesar Rp 16.367 per dolar AS. Maka berdasarkan pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) 10, perusahaan berkewajiban mencatat selisih kurs. "Itu adalah rugi accounting akibat selisih kurs," katanya.

Namun, pada kuartal I 2020, PLN masih mampu membukukan laba usaha Rp6,81 triliun, EBITDA positif Rp16,93 triliun dan EBITDA margin Rp19,78 triliun.

Meski begitu, bukan berarti PLN tak memiliki beban. Sebab, hingga saat ini PLN masih menunggu pembayaran utang kompensasi dari pemerintah sebesar Rp45 triliun.

"Tapi itu katanya adalah akan dibayar tahun ini. Jadi sampai saat ini kami menunggu pembayaran pemerintah terkait dana kompensasi tersebut," tutur Zulkifli.(dee/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Lonjakan tagihan pelanggan listrik berujung pada pemanggilan PLN ke DPR. Kemarin (17/6), Komisi VII DPR RI meminta PLN untuk menjelaskan duduk perkara billing shock tersebut. Dalam rapat itu, DPR mendesak agar BUMN energi itu bisa memperbaiki pola komunikasi dengan konsumen agar lebih proaktif. Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menilai, pola komunikasi PLN kurang baik dalam menjelaskan penyebab tagihan listrik melonjak kepada konsumen.

Eddy juga menuntut agar PLN memberi penjelasan yang masuk akal bagi masyarakat. Terlebih, billing shock terjadi di tengah situasi pandemi.

"Masyarakat lagi susah, kaget dengan adanya lonjakan tagihan. Jadi tolong dari PLN jangan sampai ada kata-kata kalimat mengatakan bahwa masyarakat tentu bekerja dari rumah, banyak yang nonton drama Korea, nggak usah Pak. Itu kan bahasa-bahasa yang nonsains Pak," jelasnya.

Anggota Komisi VII dari Fraksi Demokrat Sartono Hutomo juga mempertanyakan sikap PLN yang tak memberi penjelasan terlebih dahulu bahwa billing shock terjadi karena petugas yang tak bisa mencatat meteran ke rumah warga. Sartono menyebut, banyak mendapat protes dari warga di dapilnya di Jawa Timur karena token prabayar dirasa cepat habis. Dia pun mengaku harus memberi penjelasan ke warga yang protes.

Dengan kondisi itu, PLN didorong untuk bisa transparan dan terus mengevaluasi kinerjanya. "Tugas bersama PLN untuk terus evaluasi dalam situasi saat ini kan sensitif ya Pak," tegasnya.

Komisi VII juga menyoroti keuntungan PLN yang terus tergerus. PLN juga dituntut untuk mencari inovasi agar pencatatan meteran tidak lagi dilakukan secara konvensional. Menanggapi berbagai persoalan itu, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menjelaskan duduk perkara itu. Dia bahkan meminta maaf apabila komunikasi yang dilakukan oleh pihaknya belum mampu mengurai persoalan yang terjadi.

Baca Juga:  Ekonomi Nasional Masih Lemah, Laba Bersih KBI Tumbuh 55 Persen

Menurut Zulkifli, pihaknya kesulitan menjangkau 79 juta pelanggan secara bersamaan.

"Kami mohon maaf untuk itu. Komunikasi yang kami lakukan hanya melalui media dan media sosial, tetapi belum bisa menjangkau seluruh masyarakat," jelasnya.

Ke depan, dia berjanji akan melakukan sosialisasi perhitungan tagihan listrik, terutama pada masyarakat yang belum terjangkau akses internet. PLN juga akan memasang pemberitahuan di setiap kantor PLN di daerah. Zulkifli juga kembali menegaskan bahwa tidak ada kenaikan tarif listrik. Faktanya, pemerintah memang tak menaikkan tarif listrik sejak 2017.

Sehingga, kenaikan tagihan listrik masyarakat memang melonjak karena adanya skema penghitungan tagihan menggunakan formula penggunaan listrik rata-rata tiga bulan terakhir. PLN mengambil kebijakan bahwa besaran pemakaian untuk rekening April (pemakaian Maret) adalah rata-rata 3 bulan ke belakang (Januari, Februari, Maret atau Desember-Maret) dan di-carry over ke bulan Juni. Demikian pula untuk pemakaian April (rekening Mei). Sebagai catatan, kegiatan work from home dan PSBB yang dimulai Maret akan tercermin pada tagihan listrik bulan April dan Mei.

Ditambah lagi, periode April-Mei adalah bulan Ramadan yang notabene berlaku tren yang sama tiap tahunnya yakni ada peningkatan konsumsi listrik dari masyarakat pada momen Ramadan. Terlebih, bukan rahasia lagi jika banyak masyarakat yang bangun lebih awal saat momen Ramadan untuk melakukan kegiatannya. Sehingga, konsumsi listrik pun akan menjadi lebih panjang. Jadi, bisa dipastikan tagihan listrik akan naik jika dibandingkan hari-hari normal.

Baca Juga:  PGN Pastikan Gas ke Pelanggan Rumah Tangga Aman

Alhasil, pelanggan pun mengeluh tagihannya me­lonjak. Akhirnya, PLN pun mengambil kebijakan tagihan yang bisa dicicil oleh pelanggan. "PLN telah mengambil kebijakan perlindungan lonjakan dengan membuat skema angsuran terhadap lonjakan yang terjadi untuk yang mengalami kenaikan di atas 20 persen," jelasnya.

Terkait dengan kinerja perusahaan, Zulkifli memerinci, kuartal I tahun ini PLN merugi hingga Rp 38,8 triliun. Kerugian itu dipicu karena adanya pelemahan kurs. Mantan dirut Bank Mandiri itu menjelaskan, di awal tahun, nilai tukar rupiah sebesar Rp 16.367 per dolar AS. Maka berdasarkan pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) 10, perusahaan berkewajiban mencatat selisih kurs. "Itu adalah rugi accounting akibat selisih kurs," katanya.

Namun, pada kuartal I 2020, PLN masih mampu membukukan laba usaha Rp6,81 triliun, EBITDA positif Rp16,93 triliun dan EBITDA margin Rp19,78 triliun.

Meski begitu, bukan berarti PLN tak memiliki beban. Sebab, hingga saat ini PLN masih menunggu pembayaran utang kompensasi dari pemerintah sebesar Rp45 triliun.

"Tapi itu katanya adalah akan dibayar tahun ini. Jadi sampai saat ini kami menunggu pembayaran pemerintah terkait dana kompensasi tersebut," tutur Zulkifli.(dee/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari