JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri, mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menyusun kebijakan terkait batu bara. Hal ini dia sampaikan merespons pembahasan revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) di tengah wabah Covid-19.
Menurut pengamatan Faisal, sejauh ini tidak ada urgensi yang menyebabkan legislator harus membahas revisi UU ini saat pandemi berlangsung. Faisal melihat, satu-satunya kedaruratan adalah masa kontrak dari enam Kontrak Karya (KK) yang akan segera berakhir yakni pada 2020, 2021, 2022, 2023, dan 2025.
Faisal khawatir, pembahasan revisi UU Minerba hanya akan menguntungkan segelintir pemain besar. Catatan Faisal, keenam KK yang akan berakhir masa kontraknya itu menguasai hampir 70 persen produksi batu bara nasional.
"Apalagi dalam revisinya, pengajuan perpanjangan dimajukan dari yang tadinya lima tahun menjadi dua tahun. Luar biasa (upayanya) sistemik, masif," katanya dalam diskusi Indef baru-baru ini.
Lebih lanjut Faisal mengajak pemerintah menyadari bahwa rasio produksi dibandingkan cadangan batu bara Indonesia tidak terlalu tinggi. Dia mengingatkan, 67 tahun lagi batu bara Indonesia akan habis.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat (AS) – pemilik cadangan batu bara terbesar di dunia- baru akan habis 365 tahun lagi. Sementara itu, Tiongkok yang memang sangat boros dalam penggunaan batu bara, akan kehabisan sumber tak terbarukan itu dalam 38 tahun lagi.
Di sisi lain, Indonesia hanya memiliki cadangan 3,5 persen dari dunia, namun ekspornya mencapai 25,7 persen. Bahkan berdasarkan International Energy Agency (IEA), pada 2018 Indonesia menjadi negara eksportir batu bara terbesar kedua di dunia.
"Jadi, betul-betul terjadi pengurasan kekayaan alam yang sangat eksesif di Indonesia untuk batu bara," sesal Faisal.
Pengurasan kekayaan alam ini terlihat dari share cadangan yang hanya 3,5 persen dari global, namun share produksinya mencapai 6,8 persen dari global. Tak hanya sampai di situ, Faisal juga menyampaikan bahwa pengurasan kekayaan alam ini tidak dinikmati oleh negara sendiri.
"Negara-negara lain cenderung menggunakan sendiri batu bara untuk kepentingan energi nasional mereka, karena batu bara ini relatif murah, terlepas dari lingkungan. Kalau Indonesia, yang murah dijual, yang mahal dibeli. Pinter," ujar Faisal.
Melihat data dan fakta tersebut, Faisal berharap pemerintah teliti dalam merevisi UU Minerba. Faisal mengakui, batu bara merupakan penyumbang devisa terbesar selain kelapa sawit dan gas. Akan tetapi, agar negara mendapatkan manfaat yang lebih besar dari kekayaan alam yang dimiliki, dia berharap batu bara tak lagi hanya dikeruk lalu diekspor.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal