PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Perkara yang menimpa kakek Syafrudin masih bergulir. Selasa (21/1) lalu pria 69 tahun itu menjalani sidang pembelaan di PN Pekanbaru. Sebagaimana diketahui petani asal Rumbai itu dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp3 miliar karena mengelola lahan 20×20 meter dengan cara membakar.
Pengamat Hukum Pidana dari UIR Dr Muhammad Nurul Huda, SH, MH mengatakan, UU PPLH 32 Tahun 2009 tentang lingkungan yang dijatuhkan kepada Syafrudin adalah Pasal 98 dan Pasal 108. Yakni ancaman pidana minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun dengan denda maksimal Rp10 miliar. "Jika dilihat dari hukum pidana, hakim itu bukan corong undang-undang. Harusnya hakim itu boleh keluar dari ketentuan perundang-undangan ancaman minimal itu. Asalkan ada nilai-nilai keadilan yang memang dipikirkan dan dihayati hakim," jelasnya.
Diuraikan Nurul Huda, jika ancaman minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun harusnya diterapkan kepada perusahaan bukan kepada orang tidak mampu. "Okelah dia salah. Tapi jangan empat tahun, lama kali itu. Karena melukai hati rakyat," tegasnya.
Apalagi perkara yang masih dapat diingat tentang SP3 15 perusahaan sangat melukai. Menurutnya, kebakaran banyak terjadi tahun lalu, namun yang ditangkapi rakyat semua dan hanya dua perusahaan. "Hukum itu dinilai masyarakat apakah berlaku sama untuk seluruh warga negara," ujar Nurul Huda.
Kalaupun tetap menjadi corong undang-undang, ujar Nurul Huda, mengapa tidak menghukum tiga tahun saja. Perihal denda, hakim bisa menjatuhkan satu rupiah ataupun Rp10 ribu.
"Dalam hukum pidana itu namanya pidana penjar dan denda. Dalam uu pidana khusus itukan dendanya maksimal Rp10 miliar. Artinya hakim bisa memilih dari satu rupiah sampai 10 miliar. Jadi, harus melihat latar belakang yang dihukum. Sehingga tidak logis, terus siapa yang mau ganti dendanya," ulasnya.
Sementara Pengamat Hukum Tatanegara dari Fakultas Hukum UR Dr Mexsasai Indra, SH, MH mengatakan, dalam hukum pidana ada tindak pidana tanpa kesalahan, namun dalam hukum negara ini dihadapkan dengan kondisi sosial yang ada di masyarakat. Sehingga dalam kasus Syafrudin ada perspektif sosial masyarakat yang menganggap ada aspek ketidakadilan di situ.
"Munculnya perspektif seperti itu karena berjalannya hukum kita belum normal. Ada yang dalam kacamata masyarakat harus dihukum berat, ternyata ringan. Masih terjadi disparitas (penjatuhan hukuman oleh hakim, tetapi tuntutan oleh jaksa) terhadap tindak pidana pada masyarakat. Sehingga muncul rasa sensitivitas publik terhadap proses penegakan hukum," tuturnya.
Tidak Hanya UU Lingkungan Hidup
Karena membakar tumpukan dahan yang ditebang, F harus berurusan dengan polisi. Ia pun ditetapkan sebagai tersangka karhutla usai membakar di wilayah hukum Polsek Tampan pada 11 Januari lalu.
"Jadi, F itu supir yang diperbantukan sebagai petugas taman. Dia membakar hasil yang ditebang di mana posisi terbakarnya bukan di taman. Sehingga saat terbakar F tidak bisa memadamkannya," sebut Kasat Reskrim Polresta Pekanbaru Kompol Awalludin Syam pada Riau Pos, Selasa (21/1).
Kemudian kata Awal, ia gunakan alat untuk menyiram tanaman itu. Namun demikian tetap dibantu oleh Manggala Agni, MPA, BPBD, Babin maupun Babinsa. Jika berbicara objek terbakar memang tidak banyak sekitar 20×15. Karena sempat dipadamkan.
"Saya tidak mengacu pada luasan, tapi unsur melakukan pembakaran yang diluar tugas pokoknya itulah yang saya kejar," terangnya.
Sementara itu terkait IST dan SS diduga membakar seluas satu hektare dan diamankan Sabtu (18/1) lalu. Awalludin mengatakan keduanya harus lapor dua kali dalam seminggu di hari Senin dan Kamis.