JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Tumpukan uang setinggi lebih dari dua meter menghiasi halaman Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Rabu (2/7/2025) lalu. Bukan ajang pamer sensasi, melainkan bentuk keterbukaan kepada publik soal uang sitaan dari kasus korupsi minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya.
Uang tunai senilai Rp1,3 triliun dipajang rapi dalam plastik-plastik transparan. Ini adalah pameran kedua dari Kejagung, setelah sebelumnya pada 17 Juni mereka juga menampilkan uang sitaan sebesar Rp2 triliun dari total Rp11,8 triliun.
“Kadang publik bertanya, perkaranya besar, tapi uangnya ke mana? Nah, ini bentuk transparansi kami,” jelas Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno.
Uang yang ditampilkan kali ini berasal dari Musimas Group, salah satu dari tiga perusahaan besar yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, bersama Wilmar Group dan Permata Hijau Group. Total dugaan kerugian negara yang dibebankan ke ketiganya mencapai Rp17,7 triliun.
Menariknya, cara menghitung uang tersebut ternyata sederhana. Sutikno menyebut, satu pak plastik berisi Rp1 miliar, tinggal dikalikan saja berapa banyak pak yang disusun.
Tentu saja uang sebanyak itu dijaga ketat. Pengamanan dilakukan secara berlapis, tak hanya dari petugas internal Kejagung, tetapi juga melibatkan anggota TNI.
“Sudah sesuai standar keamanan. Kalau nanti diputuskan pengadilan untuk dikembalikan ke negara, uang ini akan masuk ke kas negara,” tegasnya.
Mengapa para korporasi terdakwa bersedia menitipkan uangnya? Sutikno menduga karena mereka mulai menyadari proses hukum yang tengah berjalan dan ingin menunjukkan niat baik.
“Kalau ada yang mau mengembalikan kerugian negara, tentu itu kami sambut baik,” ujarnya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa semuanya akan bergantung pada putusan pengadilan. Bisa saja uang itu dikembalikan kepada terdakwa jika perbuatan yang didakwakan terbukti namun dianggap bukan tindak pidana, seperti putusan onslag sebelumnya.
Pasca putusan onslaag itulah, Kejagung melakukan penangkapan terhadap tiga hakim yang mengeluarkan vonis kontroversial: Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom, karena diduga menerima gratifikasi. Ketiganya diduga berhubungan dengan mantan Ketua PN Jaksel, M Arif Nuryanta.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa aksi pamer uang ini bukan untuk cari panggung.
“Ini bentuk tanggung jawab kami dalam menyampaikan informasi secara terbuka kepada publik,” tegas Harli.
Laporan ILHAM WANCOKO, Jakarta