Jumat, 14 Maret 2025
spot_img

Pendapatan Pajak Januari-Februari Anjlok

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kinerja APBN akhirnya diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (13/3). Sebelumnya, sikap pemerintah yang tak kunjung mengumumkan realisasi kinerja APBN itu sempat menjadi pembicaraan. Publik dan kalangan investor mempertanyakan transparansi pemerintah.

Ani –sapaan akrab Menkeu– beralasan bahwa penundaan itu disebabkan data yang belum stabil. ’’Untuk menjelaskan, terkait pelaksanaan APBN di awal tahun, kami melihat datanya masih sangat belum stabil karena berbagai faktor,’’ ujarnya pada konferensi pers APBN Kita di kantor Kemenkeu, kemarin (13/3).

Kemenkeu mempertimbangkan perkembangan belanja negara, pendapatan, serta implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025.

’’Kami menunggu sampai ternyata cukup stabil sehingga bisa memberikan laporan mengenai pelaksanaan APBN Kita 2025 dengan dasar yang jauh lebih bisa stabil dan diperbandingkan,’’ jelasnya.

Hingga 28 Februari, realisasi APBN tercatat tekor atau defisit Rp31,2 triliun. Jumlah itu setara 0,13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit itu disebabkan belanja yang lebih besar dibanding pendapatan negara. Belanja negara tercatat Rp348,1 triliun, sementara pendapatan negara mencapai Rp316,9 triliun. Menkeu menyebut angka itu masih berada dalam target postur APBN 2025. Defisit APBN pada 2025 ditargetkan 2,53 persen terhadap PDB.

Dari sisi pendapatan negara, hingga akhir Februari mencapai Rp316,9 triliun. Itu bersumber dari penerimaan perpajakan Rp240,4 triliun, terdiri atas pajak Rp187,8 triliun dan penerimaan bea cukai Rp52,6 triliun. Lalu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp76,4 triliun.

Realisasi penerimaan pajak turut menjadi sorotan, khususnya setelah munculnya permasalahan imbas implementasi sistem Coretax. Penerimaan pajak hingga akhir Februari yang mencapai Rp187,8 triliun itu baru 8,6 persen dari target. Total penerimaan itu susut sekitar 30,1 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2024, penerimaan pajak mencapai Rp269,02 triliun.

Baca Juga:  Anak di Bawah 7 Tahun Rentan Kena Hipoglikemia

Khusus Januari 2025, penerimaan pajak juga anjlok 41,86 persen. Penerimaan pajak awal tahun hanya terkumpul Rp88,89 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sejumlah Rp152,89 triliun. Sepanjang 2025, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp2.189,3 triliun. Sebagai catatan, data penerimaan pajak Januari ini sempat terpublikasi di website resmi Kemenkeu, namun lantas dihapus tanpa alasan yang jelas.

Khusus untuk anjloknya penerimaan pajak ini, Menkeu meminta agar hal tersebut tidak didramatisasi. Menurutnya, hal itu akan menciptakan persepsi yang kurang baik kepada ekonomi. ’’Mohon teman-teman tidak mendramatisasi untuk menciptakan suatu ketakutan. Kayaknya itu memang laku, tapi tidak bagus untuk kita semua. Untuk ekonomi juga nggak bagus,’’ kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.

Ada dua penyebab minimnya penerimaan di awal tahun. Yakni, penurunan harga komoditas andalan ekspor RI dan faktor dinamika kebijakan. ’’Penerimaan negara memang mengalami penurunan, tapi polanya sama dan dalam hal ini beberapa memang yang kita sampaikan tadi karena adanya koreksi harga-harga komoditas yang memberi kontribusi penting bagi perekonomian kita seperti batu bara, minyak, dan nikel,’’ jelas Ani.

Kebijakan atau policy yang disebut memengaruhi penurunan penerimaan pajak ini meliputi relaksasi pembayaran pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) dan penerapan tarif efektif rata-rata (TER) atas pajak penghasilan (PPh) pasal 21. ’’Kami juga melihat bahwa beberapa policy yang kami introduce seperti tarif efektif rata-rata (TER) itu menimbulkan perubahan atau shift dari sisi beberapa penerimaan negara, terutama PPh 21. Kemudian ada restitusi yang cukup signifikan pada awal tahun, itu juga menyebabkan penurunan,’’ tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebutkan, penurunan penerimaan pajak pada dua bulan pertama awal tahun adalah sesuatu yang normal. Menurut dia, penerimaan pajak memiliki tren bulanan yang spesifik. Selama empat tahun terakhir, Anggito menjelaskan, pola penerimaan pajak cenderung sama, yakni pada Desember penerimaan pajak akan meningkat, kemudian pada Januari dan Februari akan menurun.

Baca Juga:  Azan

’’Desember itu naik cukup tinggi karena ada efek Nataru (Natal dan tahun baru), kemudian turun di bulan Januari dan Februari. Itu sama setiap tahun. Jadi, tidak ada hal yang anomali, sifatnya normal saja,’’ katanya.

Terpisah, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menuturkan, anjloknya penerimaan pajak hingga 41,8 persen YoY itu terjadi di tengah implementasi sistem Coretax yang penuh masalah. Sistem digitalisasi perpajakan yang semestinya membantu kinerja pengumpulan pundi-pundi penerimaan negara malah banyak dikeluhkan masyarakat akibat gangguan yang terjadi. Imbasnya, pengumpulan pajak menjadi kurang optimal.

Huda menjelaskan, pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak di bulan Januari 2025 sebesar Rp 64 triliun. Ada dua faktor yang membuat penerimaan pajak turun begitu drastis. ’’Pertama, terdapat pengembalian dana restitusi atau kelebihan bayar PPN tahun 2024. Alasan kedua adalah kendala di sistem Coretax yang membuat wajib pajak kesulitan melaporkan transaksinya. Akibatnya, transaksi menjadi terhambat. Rasio pajak terhadap PDB tahun 2025 bisa lebih rendah dibandingkan tahun 2024. Implikasinya, defisit APBN rentan di atas 3 persen dan bisa berpotensi impeachment,’’ ujar Huda di Jakarta, Kamis (13/3).

Menurutnya, kesalahan terbesar pengelolaan anggaran pemerintah dimulai dari program ambisius yang tidak disertai dengan naiknya sumber perpajakan. Hal itu pada akhirnya membuat pemerintah melakukan efisiensi secara masif. ’’Belanja dipotong hingga Rp306 triliun, dividen BUMN dialihkan langsung kepada Danantara, hingga penundaan pengangkatan CPNS merupakan korban dari program ambisius pemerintah. Program tersebut membutuhkan dana dengan jumlah jumbo, namun penerimaan negara sedang cekak,’’ katanya.(dee/oni/jpg) 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kinerja APBN akhirnya diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (13/3). Sebelumnya, sikap pemerintah yang tak kunjung mengumumkan realisasi kinerja APBN itu sempat menjadi pembicaraan. Publik dan kalangan investor mempertanyakan transparansi pemerintah.

Ani –sapaan akrab Menkeu– beralasan bahwa penundaan itu disebabkan data yang belum stabil. ’’Untuk menjelaskan, terkait pelaksanaan APBN di awal tahun, kami melihat datanya masih sangat belum stabil karena berbagai faktor,’’ ujarnya pada konferensi pers APBN Kita di kantor Kemenkeu, kemarin (13/3).

Kemenkeu mempertimbangkan perkembangan belanja negara, pendapatan, serta implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025.

’’Kami menunggu sampai ternyata cukup stabil sehingga bisa memberikan laporan mengenai pelaksanaan APBN Kita 2025 dengan dasar yang jauh lebih bisa stabil dan diperbandingkan,’’ jelasnya.

Hingga 28 Februari, realisasi APBN tercatat tekor atau defisit Rp31,2 triliun. Jumlah itu setara 0,13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit itu disebabkan belanja yang lebih besar dibanding pendapatan negara. Belanja negara tercatat Rp348,1 triliun, sementara pendapatan negara mencapai Rp316,9 triliun. Menkeu menyebut angka itu masih berada dalam target postur APBN 2025. Defisit APBN pada 2025 ditargetkan 2,53 persen terhadap PDB.

Dari sisi pendapatan negara, hingga akhir Februari mencapai Rp316,9 triliun. Itu bersumber dari penerimaan perpajakan Rp240,4 triliun, terdiri atas pajak Rp187,8 triliun dan penerimaan bea cukai Rp52,6 triliun. Lalu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp76,4 triliun.

Realisasi penerimaan pajak turut menjadi sorotan, khususnya setelah munculnya permasalahan imbas implementasi sistem Coretax. Penerimaan pajak hingga akhir Februari yang mencapai Rp187,8 triliun itu baru 8,6 persen dari target. Total penerimaan itu susut sekitar 30,1 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2024, penerimaan pajak mencapai Rp269,02 triliun.

Baca Juga:  Azan

Khusus Januari 2025, penerimaan pajak juga anjlok 41,86 persen. Penerimaan pajak awal tahun hanya terkumpul Rp88,89 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sejumlah Rp152,89 triliun. Sepanjang 2025, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp2.189,3 triliun. Sebagai catatan, data penerimaan pajak Januari ini sempat terpublikasi di website resmi Kemenkeu, namun lantas dihapus tanpa alasan yang jelas.

Khusus untuk anjloknya penerimaan pajak ini, Menkeu meminta agar hal tersebut tidak didramatisasi. Menurutnya, hal itu akan menciptakan persepsi yang kurang baik kepada ekonomi. ’’Mohon teman-teman tidak mendramatisasi untuk menciptakan suatu ketakutan. Kayaknya itu memang laku, tapi tidak bagus untuk kita semua. Untuk ekonomi juga nggak bagus,’’ kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.

Ada dua penyebab minimnya penerimaan di awal tahun. Yakni, penurunan harga komoditas andalan ekspor RI dan faktor dinamika kebijakan. ’’Penerimaan negara memang mengalami penurunan, tapi polanya sama dan dalam hal ini beberapa memang yang kita sampaikan tadi karena adanya koreksi harga-harga komoditas yang memberi kontribusi penting bagi perekonomian kita seperti batu bara, minyak, dan nikel,’’ jelas Ani.

Kebijakan atau policy yang disebut memengaruhi penurunan penerimaan pajak ini meliputi relaksasi pembayaran pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) dan penerapan tarif efektif rata-rata (TER) atas pajak penghasilan (PPh) pasal 21. ’’Kami juga melihat bahwa beberapa policy yang kami introduce seperti tarif efektif rata-rata (TER) itu menimbulkan perubahan atau shift dari sisi beberapa penerimaan negara, terutama PPh 21. Kemudian ada restitusi yang cukup signifikan pada awal tahun, itu juga menyebabkan penurunan,’’ tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebutkan, penurunan penerimaan pajak pada dua bulan pertama awal tahun adalah sesuatu yang normal. Menurut dia, penerimaan pajak memiliki tren bulanan yang spesifik. Selama empat tahun terakhir, Anggito menjelaskan, pola penerimaan pajak cenderung sama, yakni pada Desember penerimaan pajak akan meningkat, kemudian pada Januari dan Februari akan menurun.

Baca Juga:  Soal Transaksi Ilegal di Kementerian Agama, Lukman Hakim Bilang Begini

’’Desember itu naik cukup tinggi karena ada efek Nataru (Natal dan tahun baru), kemudian turun di bulan Januari dan Februari. Itu sama setiap tahun. Jadi, tidak ada hal yang anomali, sifatnya normal saja,’’ katanya.

Terpisah, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menuturkan, anjloknya penerimaan pajak hingga 41,8 persen YoY itu terjadi di tengah implementasi sistem Coretax yang penuh masalah. Sistem digitalisasi perpajakan yang semestinya membantu kinerja pengumpulan pundi-pundi penerimaan negara malah banyak dikeluhkan masyarakat akibat gangguan yang terjadi. Imbasnya, pengumpulan pajak menjadi kurang optimal.

Huda menjelaskan, pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak di bulan Januari 2025 sebesar Rp 64 triliun. Ada dua faktor yang membuat penerimaan pajak turun begitu drastis. ’’Pertama, terdapat pengembalian dana restitusi atau kelebihan bayar PPN tahun 2024. Alasan kedua adalah kendala di sistem Coretax yang membuat wajib pajak kesulitan melaporkan transaksinya. Akibatnya, transaksi menjadi terhambat. Rasio pajak terhadap PDB tahun 2025 bisa lebih rendah dibandingkan tahun 2024. Implikasinya, defisit APBN rentan di atas 3 persen dan bisa berpotensi impeachment,’’ ujar Huda di Jakarta, Kamis (13/3).

Menurutnya, kesalahan terbesar pengelolaan anggaran pemerintah dimulai dari program ambisius yang tidak disertai dengan naiknya sumber perpajakan. Hal itu pada akhirnya membuat pemerintah melakukan efisiensi secara masif. ’’Belanja dipotong hingga Rp306 triliun, dividen BUMN dialihkan langsung kepada Danantara, hingga penundaan pengangkatan CPNS merupakan korban dari program ambisius pemerintah. Program tersebut membutuhkan dana dengan jumlah jumbo, namun penerimaan negara sedang cekak,’’ katanya.(dee/oni/jpg) 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari