Memutus Rantai Kemiskinan

Berbicara masalah kemiskinan memang bukanlah sekadar berbicara angka-angka, tetapi bagaimanapun angka-angka menjadi bagian yang tak kalah penting dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia  menggunakan pendekatan basic needs approach, yakni kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (baik makanan maupun bukan makanan). Namun demikian, kemiskinan terutama pada anak lebih bersifat multidimensional, artinya banyak aspek yang harus diperhatikan lebih jauh.

Keterbatasan pendidikan yang dimiliki oleh seseorang membuatnya sulit untuk hidup secara sejahtera. Tingkat pendidikan yang rendah cenderung berbanding lurus dengan keterampilan, wawasan, dan pengetahuan yang kurang memadai untuk menjalani kehidupan. Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga miskin sebesar 6,14 tahun (Susenas, Maret 2021), artinya bahwa kepala rumah tangga miskin rata-rata pendidikannya hanya sampai lulus tingkat sekolah dasar.  

- Advertisement -

Warisan kemiskinan dari orang tuanya bisa menjadi salah satu penyebab hal tersebut, karena ketidakmampuan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan sang anak. Bahkan dalam kenyataannya, masih ada anak yang tidak mengenyam bangku pendidikan.  Di Riau,  anak-anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah sebanyak 0,35 persen, usia 13-15 tahun sebanyak 4,34 persen, dan usia 16-18 tahun sebanyak 22,19 persen yang tidak bersekolah.

Memberikan anak-anak kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya dan menunda untuk memasuki dunia kerja merupakah salah satu langkah yang diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan anak ke depannya, karena bagaimanapun pendidikan menjadi modal penting untuk bersaing mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih layak.

- Advertisement -

Selanjutnya, aspek kesehatan. Angka kesakitan di Riau sebesar 9,93 persen. Dapat dikatakan bahwa 1 dari 10 penduduk Riau menderita sakit pada tahun 2021. Di sisi lain, penduduk Riau yang tidak memiliki jaminan kesehatan, baik dari pemerintah maupuan swasta, masih sebanyak 35,29 persen.

Anak-anak dari keluarga miskin sangat rentan mengalami gangguan kesehatan. Selain disebabkan karena kurangnya asupan gizi yag diterima bahkan sejak dalam kandungan, kondisi perumahan dan sanitasi yang buruk juga dapat menambah buruknya kualitas kesehatan anak-anak miskin.

Ironisnya lagi, asupan gizi anak yang rendah ini dikarenakan sebagian pengeluaran rumah tangga miskin dialihkan untuk membeli rokok si ayah daripada membeli lauk dan buah sebagai sumber protein dan vitamin yang tentunya sangat bermanfaat untuk tumbuh kembang seorang anak.  Masih dari hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) pada Maret 2021, tercatat bahwa rata-rata penduduk Riau menghabiskan 6,89 persen dari pengeluarannya sebulan untuk mengonsumsi rokok. Angka ini jauh melampaui pengeluaran untuk membeli  telur dan susu (2,90 persen) ataupun buah-buahan (2,05 persen).

Bagi keluarga miskin, tentu harus ada prioritas pengeluaran pada makanan yang bergizi untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya. Semakin rendah tingkat kesadaran akan pentingnya kesehatan bagi keluarga miskin, semakin sulit bagi mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Upaya pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan disinyalir karena peran bantuan sosial yang digelontorkan kepada masyarakat. Namun pertanyaan berikutnya yang akan muncul adalah seberapa kuat Pemerintah Riau mampu membantu penduduk miskin dengan jumlah 500,81 ribu jiwa tersebut? Tentu merupakan PR tersendiri bagi pemerintan untuk menjadikan masyarakat miskin ini mandiri dan tidak selalu bergantung dengan bantuan-bantuan sosial yang ada.
Upaya pengentasan kemiskinan saat ini tidak hanya terfokus pada penduduk miskin dewasa saja, namun juga penduduk miskin usia anak-anak. Untuk penduduk miskin dewasa, program kartu prakerja diyakini sangat membantu para pencari kerja ataupun buruh yang terkena PHK untuk meningkatkan kompetensi kerja. Sedangkan untuk penduduk miskin usia anak-anak, bantuan terkait pendidikan dan kesehatan jauh lebih memberikan manfaat.

Berbagai upaya perlu dilakukan secara simultan agar rantai kemiskinan dapat diputuskan, sehingga anak-anak miskin bisa mengubah nasib.***

Berbicara masalah kemiskinan memang bukanlah sekadar berbicara angka-angka, tetapi bagaimanapun angka-angka menjadi bagian yang tak kalah penting dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia  menggunakan pendekatan basic needs approach, yakni kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (baik makanan maupun bukan makanan). Namun demikian, kemiskinan terutama pada anak lebih bersifat multidimensional, artinya banyak aspek yang harus diperhatikan lebih jauh.

Keterbatasan pendidikan yang dimiliki oleh seseorang membuatnya sulit untuk hidup secara sejahtera. Tingkat pendidikan yang rendah cenderung berbanding lurus dengan keterampilan, wawasan, dan pengetahuan yang kurang memadai untuk menjalani kehidupan. Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga miskin sebesar 6,14 tahun (Susenas, Maret 2021), artinya bahwa kepala rumah tangga miskin rata-rata pendidikannya hanya sampai lulus tingkat sekolah dasar.  

Warisan kemiskinan dari orang tuanya bisa menjadi salah satu penyebab hal tersebut, karena ketidakmampuan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan sang anak. Bahkan dalam kenyataannya, masih ada anak yang tidak mengenyam bangku pendidikan.  Di Riau,  anak-anak usia 7-12 tahun yang tidak bersekolah sebanyak 0,35 persen, usia 13-15 tahun sebanyak 4,34 persen, dan usia 16-18 tahun sebanyak 22,19 persen yang tidak bersekolah.

Memberikan anak-anak kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya dan menunda untuk memasuki dunia kerja merupakah salah satu langkah yang diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan anak ke depannya, karena bagaimanapun pendidikan menjadi modal penting untuk bersaing mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih layak.

Selanjutnya, aspek kesehatan. Angka kesakitan di Riau sebesar 9,93 persen. Dapat dikatakan bahwa 1 dari 10 penduduk Riau menderita sakit pada tahun 2021. Di sisi lain, penduduk Riau yang tidak memiliki jaminan kesehatan, baik dari pemerintah maupuan swasta, masih sebanyak 35,29 persen.

Anak-anak dari keluarga miskin sangat rentan mengalami gangguan kesehatan. Selain disebabkan karena kurangnya asupan gizi yag diterima bahkan sejak dalam kandungan, kondisi perumahan dan sanitasi yang buruk juga dapat menambah buruknya kualitas kesehatan anak-anak miskin.

Ironisnya lagi, asupan gizi anak yang rendah ini dikarenakan sebagian pengeluaran rumah tangga miskin dialihkan untuk membeli rokok si ayah daripada membeli lauk dan buah sebagai sumber protein dan vitamin yang tentunya sangat bermanfaat untuk tumbuh kembang seorang anak.  Masih dari hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) pada Maret 2021, tercatat bahwa rata-rata penduduk Riau menghabiskan 6,89 persen dari pengeluarannya sebulan untuk mengonsumsi rokok. Angka ini jauh melampaui pengeluaran untuk membeli  telur dan susu (2,90 persen) ataupun buah-buahan (2,05 persen).

Bagi keluarga miskin, tentu harus ada prioritas pengeluaran pada makanan yang bergizi untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya. Semakin rendah tingkat kesadaran akan pentingnya kesehatan bagi keluarga miskin, semakin sulit bagi mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Upaya pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan disinyalir karena peran bantuan sosial yang digelontorkan kepada masyarakat. Namun pertanyaan berikutnya yang akan muncul adalah seberapa kuat Pemerintah Riau mampu membantu penduduk miskin dengan jumlah 500,81 ribu jiwa tersebut? Tentu merupakan PR tersendiri bagi pemerintan untuk menjadikan masyarakat miskin ini mandiri dan tidak selalu bergantung dengan bantuan-bantuan sosial yang ada.
Upaya pengentasan kemiskinan saat ini tidak hanya terfokus pada penduduk miskin dewasa saja, namun juga penduduk miskin usia anak-anak. Untuk penduduk miskin dewasa, program kartu prakerja diyakini sangat membantu para pencari kerja ataupun buruh yang terkena PHK untuk meningkatkan kompetensi kerja. Sedangkan untuk penduduk miskin usia anak-anak, bantuan terkait pendidikan dan kesehatan jauh lebih memberikan manfaat.

Berbagai upaya perlu dilakukan secara simultan agar rantai kemiskinan dapat diputuskan, sehingga anak-anak miskin bisa mengubah nasib.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya