Partai Demokrat dalam kondisi diuji oleh sistem politik kepartaian di Indonesia. Risiko partai besar adalah harus siap dengan goncangan besar. Sebagai partai oposisi, Demokrat harus pandai bermain politik untuk bisa bertahan dalam pertarungan kekuasaan negara.
Belum lama ini Partai Demokrat tiba-tiba mengumumkan bahwa partainya dalam kondisi akan diambil alih paksa oleh beberapa kader aktif dan mantan kader partai. Tidak sampai pada pengumuman saja, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga menyurati Presiden Jokowi secara formal yang menerangkan partainya dalam keadaan bahaya. Ternyata dua upaya yang dilakukan masih belum cukup sehingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pendiri partai ikut memberikan pengumumam perihal pengambilan paksa kepengurusan Partai Demokrat.
Lalu apa yang terjadi? Pada hari Jumat (5/3/2021) beredar video telah dilakukan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat. KLB tersebut menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum menggantikan AHY. Seperti pengumuman AHY dan SBY sebelumnya, nama Moeldoko menjadi tokoh utama dalam upaya pengambilan paksa kepengurusan partai.
Pertanyaan besarnya adalah bagaimana bisa bukan kader partai bisa menjadi ketua umum? Serapuh itukah partai dengan lambang bintang tiga tersebut? Pertanyaan ini menjadi fokus dalam tulisan ini.
Moeldoko Bukan Kader Partai Demokrat
History dualisme kepemimpinan partai politik di Indonesia sudah menjadi hal biasa. Beberapa partai politik juga pernah mengalami hal yang sama dengan partai Demokrat. Seperti PDI (Megawati v Suryadi), PKB (Gusdur v Muhaimin), Golkar (Abu Rizal Bakri v Agung Laksono), PPP (Djan Farid v Romi).
Namun ada perbedaan dualisme Partai Demokrat dengan partai lain. Dualisme yang terjadi adalah antara kader partai versus bukan kader partai. Moeldoko adalah menjadi Panglima TNI pada era kepemimpinan SBY dan setelah pensiun dari TNI bergabung dengan partai Hanura pimpinan Oesman Sapta Odang (OSO) pada tahun 2016. Namun pada tahun 2018 Moeldoko mengundurkan diri dari Partai Hanura dan pada tahun yang sama diangkat menjadi Kepala Staf Kepresidenan.
Dari sejarah politik Moeldoko tidak pernah menjadi bagian dari Partai Demokrat. Tiba-tiba namanya disebut-sebut oleh AHY dan SBY sebagai dalang dari perpecahan ini. Karena bukan bagian dari partai manapun, akhirnya analisis politik berkembang Moeldoko adalah bagian dari istana.
Logika Moeldoko bagian dari istana ini mungkin menjadi dasar bagi Demokrat menyurati presiden. Namun secara administrasi Demokrat telah offside dalam konteks menyurati presiden, karena tidak ada hubungan antara presiden dengan manuver yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.
Demokrat Melawan Kekuatan yang Tidak Terlihat
Partai Demokrat dalam posisi yang sangat sulit karena tidak mengetahui lawan tandingnya. Dalam strategi perang, kegagalan memetakan kekuatan lawan adalah bencana untuk pasukan. Dalam konteks ini belum diketahui Moeldoko membawa kepentingan dari pihak mana? Apakah dari kelompok partai koalisi pemerintah atau kepentingan pribadi. Masalah dualisme ini menjadi sulit untuk diselesaikan karena Partai Demokrat tidak mengetahui dengan pihak mana harus berdamai.
Maka pilihan paling logis adalah meminta bantuan kepada presiden untuk menghentikan upaya “kudeta” terhadap kepengurusah AHY. Namun upaya meminta bantuan ini pada akhirnya berdampak pada image Partai Demokrat. Publik berfikir bahwa Partai Demokrat tidak bisa berbuat banyak saat partainya diuji dalam kontestasi politik kepartaian di Indonesia.
Sebagai partai yang pernah menjadi pemenang pemilu, Demokrat harusnya sudah matang dengan pertarungan politik seperti ini. Namun yang terjadi adalah Demokrat ternyata tidak mampu menggagalkan KLB yang dilakukan oleh beberapa kader partai dan celakanya ketua umum hasil KLB bukan dari kader partainya sendiri.
Logika Playing Victim
Sepertinya agak aneh jika kelak ketua umum Demokrat versi KLB disahkan oleh Mendagri, bagaimanapun sulit untuk membenarkan ketua umum terpilih bukan dari kader partai. Maka analisis yang muncul adalah kondisi ini hanya sandiwara untuk mendapatkan simpati publik. Dengan masalah ini seolah-oleh Partai Demokrat ingin menyampaikan kepada publik bahwa banyak pihak yang ingin partainya hancur. Semoga saja tidak begitu.***