Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Bro, Ini soal Kepemimpinan

TANGGAL 9 Desember 2020 merupakan hari istimewa bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak. Ada 270 kepala daerah yang terpilih serentak; sembilan di antaranya gubernur, 37 walikota dan 224 orang bupati. Tak ada negara manapun di planet ini yang melakukan pemilihan ‘segila” ini. Tahu berapa jumlah anggaran yang dihabiskan? Tidak kurang dari Rp 15 Triliun! Itu belum termasuk biaya kampanye yang dikeluarkan oleh kontestan, dan belum juga termasuk mahar "pembelian perahu". Ah, yang terakhir ini hanya kabar burung.

Alangkah mahalnya ongkos sistem demokrasi kita. Tapi tunggu dulu. Tesis ongkos ini, barangkali dengan mudah bisa dipatahkan dengan asumsi, demokrasi itu memang mahal. Bukankah demokrasi itu bermakna, kedaulatan di tangan rakyat? Bukankah ada adagium, vox populi vox Dei, suara rakyat suara Tuhan? Bukankah ada kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat? Bukankah kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa yang diperjuangkan sampai tetesan darah penghabisan? Jadi, kedaulatan rakyat itu tidak mudah dan tidak murah.

Sayangnya, ada catatan panjang di banyak negeri, demokrasi itu acapkali salah jalan atau diselewengkan, atau dipermainkan, sehingga rakyatnya “terkicuh di nan tarang”. Atau tidak sedikit rezim yang terpilih secara demokratis, menyengsarakan rakyat yang memberikan suara, bahkan pemimpin yang terpilih menjarah negerinya sendiri, seperti disindir pujangga Amin Maalouf dalam novel Leo The African. Demokrasi yang pada awalnya diberi tepuk tangan, berubah bentuk menjadi pseudo-demokrasi alias demokrasi semu, alias pepesan kosong.

Hasil akhir dari seluruh ikhtiar demokrasi itu sesungguhnya adalah terwujudnya sebuah negeri dimana  rakyatnya hidup sejahtera dan bahagia dalam moralitas yang tinggi (bonum publicum). Di sinilah kita kadang merasa sedih. Sebab demokrasi yang bersusah payah kita tegakkan, seperti tidak berfungsi. Banyak kerja tak menjadi. Bahkan hari-hari terakhir ini, negeri kita diguncang bertubi-tubi oleh kasus korupsi yang dilakukan oleh para petinggi, yang terlalu panjang daftarnya bila satu-persatu dirinci, ada Menteri, walikota atau bupati. Mereka adalah orang-orang yang terpilih dari sebuah proses demokrasi.

Baca Juga:  Pekanbaru Menuju Kota Berketahanan Iklim  (CRIC/Climate Ressilient Inklusive Cities)

Kejadian seperti itu bukan lagi sekali dua, seperti menjadi sebuah fenomena bahwa demokrasi tak berkorelasi dengan bonum publicum. Mestinya tidak demikian. Mestinya sebaliknya, pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai penanda bahwa kita berdemokrasi, sejalan dengan harapan kita untuk setiap periode mendapatkan pemimpin-pemimpin yang lebih baik yang mampu menghadirkan kesejahteraan, serta mampu mengurus negeri dengan lebih baik dari sebelumnya. Melalui sistem demokrasi itu sebenarnya kita mengharapkan hadirnya pemimpin-pemimpin yang mampu mengelola sumber daya alam dengan baik untuk kesejahteraan rakyat, mampu memajukan pendidikan, mampu memberikan perlindungan kesehatan (dan sekarang ditambah harus mampu cepat belajar menanggulangi wabah penyakit beserta dampak sosialnya), mampu menciptakan lapangan pekerjaan, mampu menciptakan ketenteraman dalam masyarakat, dan seterusnya. Intinya, mampu menghadirkan kehidupan masyarakatnya lebih baik (better of life).

Artinya, yang kita cari sebenarnya adalah sosok pemimpin. Dalam konteks ini tak dipersoalkan dengan cara apa pemimpin ideal seperti itu hadir di tengah masyarakat. Fenomena ini menarik, dan agaknya sejalan dengan pendapat Fareed Zakaria editor senior Newsweek International, dalam bukunya “The Future of Freedom” (1997) edisi Bahasa Indonesia (Masa Depan Kebebasan, 2004) yang menemukan fakta menarik dalam penelitiannya di Afrika, bahwa pemilihan umum di banyak negara di Afrika, menghasilkan pemerintah yang tidak efisien bahkan korup. Oleh karena itu yang dibutuhkan Afrika menurut Zakaria adalah tatakelola pemerintah yang baik (good governance) ketimbang demokratisasi.

Baca Juga:  Luring Penuh dan Potensi "Reverse Culture Shock"

Berkaitan dengan pilkada serentak 2020, pertanyaan yang mengemuka lebih dari lima belas tahun lalu, terasa masih relevan. Efektifkah pilkada secara langsung?  Gagasan awal pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan akan menghasilkan kepala daerah yang kredibel, lebih merakyat, dan sesuai aspirasi rakyat. Pemilihan langsung juga untuk memastikan kepala daerah tidak hanya dipilih oleh sebagian elit partai politik tetapi dipilih langsung oleh rakyat di daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan menumbuhkan kesadaran berpolitik secara lebih bertanggung jawab, dan politik uang bisa dihilangkan.

Pilkada secara lagsung itu adalah instrumen demokrasi kita untuk mencari, tidak hanya seorang kepala daerah, tapi seorang pemimpin yang punya pengaruh dan seorang manajer sekaligus. Kita agaknya terlalu berlebihan memaknai demokrasi itu, sehingga semua seperti berjudi dan bertempur ibarat "perang sosoh".  Habis kapasitas memori kita untuk pilkada. Negara harusnya hadir sebagai wasit, pelatih dan orangtua yang bijak dan tegas sekaligus, tidak ibarat pepatah "tiba di mata dipicingkan tiba di perut dikempiskan," sehingga putra-putrinya tidak menjadi korban. Setelah pilkada usai semua bisa menegakkan kepala dengan penuh keterhormatan, kalah atau menang.    

Bila negara tidak memaknai demikian, maka pilkada kita hanya menghasilkan seorang kepala daerah yang bila terpilih akan terperangkap dalam pseudo-demokrasi dan harus berpikir tentang pengembalian investasi. Bro, ini soal kepemimpinan.***

TANGGAL 9 Desember 2020 merupakan hari istimewa bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak. Ada 270 kepala daerah yang terpilih serentak; sembilan di antaranya gubernur, 37 walikota dan 224 orang bupati. Tak ada negara manapun di planet ini yang melakukan pemilihan ‘segila” ini. Tahu berapa jumlah anggaran yang dihabiskan? Tidak kurang dari Rp 15 Triliun! Itu belum termasuk biaya kampanye yang dikeluarkan oleh kontestan, dan belum juga termasuk mahar "pembelian perahu". Ah, yang terakhir ini hanya kabar burung.

Alangkah mahalnya ongkos sistem demokrasi kita. Tapi tunggu dulu. Tesis ongkos ini, barangkali dengan mudah bisa dipatahkan dengan asumsi, demokrasi itu memang mahal. Bukankah demokrasi itu bermakna, kedaulatan di tangan rakyat? Bukankah ada adagium, vox populi vox Dei, suara rakyat suara Tuhan? Bukankah ada kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat? Bukankah kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa yang diperjuangkan sampai tetesan darah penghabisan? Jadi, kedaulatan rakyat itu tidak mudah dan tidak murah.

- Advertisement -

Sayangnya, ada catatan panjang di banyak negeri, demokrasi itu acapkali salah jalan atau diselewengkan, atau dipermainkan, sehingga rakyatnya “terkicuh di nan tarang”. Atau tidak sedikit rezim yang terpilih secara demokratis, menyengsarakan rakyat yang memberikan suara, bahkan pemimpin yang terpilih menjarah negerinya sendiri, seperti disindir pujangga Amin Maalouf dalam novel Leo The African. Demokrasi yang pada awalnya diberi tepuk tangan, berubah bentuk menjadi pseudo-demokrasi alias demokrasi semu, alias pepesan kosong.

Hasil akhir dari seluruh ikhtiar demokrasi itu sesungguhnya adalah terwujudnya sebuah negeri dimana  rakyatnya hidup sejahtera dan bahagia dalam moralitas yang tinggi (bonum publicum). Di sinilah kita kadang merasa sedih. Sebab demokrasi yang bersusah payah kita tegakkan, seperti tidak berfungsi. Banyak kerja tak menjadi. Bahkan hari-hari terakhir ini, negeri kita diguncang bertubi-tubi oleh kasus korupsi yang dilakukan oleh para petinggi, yang terlalu panjang daftarnya bila satu-persatu dirinci, ada Menteri, walikota atau bupati. Mereka adalah orang-orang yang terpilih dari sebuah proses demokrasi.

- Advertisement -
Baca Juga:  Kemanunggalan TNI dan Rakyat

Kejadian seperti itu bukan lagi sekali dua, seperti menjadi sebuah fenomena bahwa demokrasi tak berkorelasi dengan bonum publicum. Mestinya tidak demikian. Mestinya sebaliknya, pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai penanda bahwa kita berdemokrasi, sejalan dengan harapan kita untuk setiap periode mendapatkan pemimpin-pemimpin yang lebih baik yang mampu menghadirkan kesejahteraan, serta mampu mengurus negeri dengan lebih baik dari sebelumnya. Melalui sistem demokrasi itu sebenarnya kita mengharapkan hadirnya pemimpin-pemimpin yang mampu mengelola sumber daya alam dengan baik untuk kesejahteraan rakyat, mampu memajukan pendidikan, mampu memberikan perlindungan kesehatan (dan sekarang ditambah harus mampu cepat belajar menanggulangi wabah penyakit beserta dampak sosialnya), mampu menciptakan lapangan pekerjaan, mampu menciptakan ketenteraman dalam masyarakat, dan seterusnya. Intinya, mampu menghadirkan kehidupan masyarakatnya lebih baik (better of life).

Artinya, yang kita cari sebenarnya adalah sosok pemimpin. Dalam konteks ini tak dipersoalkan dengan cara apa pemimpin ideal seperti itu hadir di tengah masyarakat. Fenomena ini menarik, dan agaknya sejalan dengan pendapat Fareed Zakaria editor senior Newsweek International, dalam bukunya “The Future of Freedom” (1997) edisi Bahasa Indonesia (Masa Depan Kebebasan, 2004) yang menemukan fakta menarik dalam penelitiannya di Afrika, bahwa pemilihan umum di banyak negara di Afrika, menghasilkan pemerintah yang tidak efisien bahkan korup. Oleh karena itu yang dibutuhkan Afrika menurut Zakaria adalah tatakelola pemerintah yang baik (good governance) ketimbang demokratisasi.

Baca Juga:  Musibah bagaikan Asap dalam Kehidupan

Berkaitan dengan pilkada serentak 2020, pertanyaan yang mengemuka lebih dari lima belas tahun lalu, terasa masih relevan. Efektifkah pilkada secara langsung?  Gagasan awal pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan akan menghasilkan kepala daerah yang kredibel, lebih merakyat, dan sesuai aspirasi rakyat. Pemilihan langsung juga untuk memastikan kepala daerah tidak hanya dipilih oleh sebagian elit partai politik tetapi dipilih langsung oleh rakyat di daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan menumbuhkan kesadaran berpolitik secara lebih bertanggung jawab, dan politik uang bisa dihilangkan.

Pilkada secara lagsung itu adalah instrumen demokrasi kita untuk mencari, tidak hanya seorang kepala daerah, tapi seorang pemimpin yang punya pengaruh dan seorang manajer sekaligus. Kita agaknya terlalu berlebihan memaknai demokrasi itu, sehingga semua seperti berjudi dan bertempur ibarat "perang sosoh".  Habis kapasitas memori kita untuk pilkada. Negara harusnya hadir sebagai wasit, pelatih dan orangtua yang bijak dan tegas sekaligus, tidak ibarat pepatah "tiba di mata dipicingkan tiba di perut dikempiskan," sehingga putra-putrinya tidak menjadi korban. Setelah pilkada usai semua bisa menegakkan kepala dengan penuh keterhormatan, kalah atau menang.    

Bila negara tidak memaknai demikian, maka pilkada kita hanya menghasilkan seorang kepala daerah yang bila terpilih akan terperangkap dalam pseudo-demokrasi dan harus berpikir tentang pengembalian investasi. Bro, ini soal kepemimpinan.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari