Kembali ke Hakikat dan Tujuan Bernegara (Refleksi Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2020)

Di Indonesia, istilah negara berasal dari bahasa Sansekerta, yakni “nagari” atau “nagara”, memiliki arti wilayah atau penguasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negara adalah organisasi suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Wikipedia menyebutkan bahwa negara (nation state) adalah organisasi kekuasaan yang berdaulat dengan tata pemerintahan yang melaksanakan tata tertib atas orang-orang di daerah tertentu. 
Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independen. Secara terminologi, negara adalah sebagai organisasi tertinggi di antara suatu kelompok masyarakat yang punya cita-cita untuk bersatu dan memiliki pemerintah yang berdaulat. Lebih lanjut, orang-orang atau bangsa (nation) dalam suatu negara dipersatukan dalam suatu tujuan bersama, dan inilah yang menjadi hakikat berdirinya suatu negara.
Para ahli mendefinisikan tujuan negara secara umum. Roger H Soltau dalam An Introduction to Politics (1951) menjelaskan tujuan negara yakni: “Memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.” Sementara Harold J Laski dalam The State in Theory and Practice (1947) menjelaskan tujuan negara sebagai: “Menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal.”
75 tahun yang lalu sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, pondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dipersiapkan dengan apik dan sangat baik oleh para Pendiri Bangsa (The Founding Fathers). Dengan mengedepankan integritas dan nasionalisme yang tinggi, beradasarkan kapasitas dan kapabilitas masing-masing yang unggul dalam pemikiran, visi, dan intelektualisme, The Founding Fathers telah meletakkan Pancasila sebagai Dasar Negara dan juga UUD RI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional.
Sebagai negara yang berdaulat (sovereign state), tujuan bangsa dan negara Indonesia pun dengan tegas dinyatakan pada alinea keempat Pembukaan UUD RI Tahun 1945 tersebut, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,  perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Menilik tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945 tersebut, terdapat empat dimensi fungsi negara berdaulat (sovereign nation) meliputi “perlindungan”, “kesejahteraan”, “pencerdasan, dan “perdamaian”.
Negara wajib melindungi semua komponen yang membentuk negara bangsa (nation state) Indonesia, mulai dari rakyat, kekayaan alam, serta nilai-nilai bangsa yang patut dipertahankan. Parameter atau indikator subyek hukum warga negara sudah terlindungi adalah jika hak-haknya telah terpenuhi, berdasarkan konstitusi negara.  Hak warga negara Indonesia sendiri telah tercantum dalam UUD 1945. Hak-hak tersebut antara lain adalah hak asasi manusia, hak mendapatkan pekerjaan, hak perlindungan hukum yang sama, hak memperoleh pendidikan, hak menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul, dan lain sebagainya.
Kesejahteraan rakyat (nation welfare), fungsi ini yang paling penting dan diharapkan semua manusia. Fungsi ini menjamin rakyat tetap hidup sehingga negara tetap ada. Untuk itu negara diberi wewenang mengelola kekayaan agar mampu menjalankan fungsi ini. Parameter kesejahteraan di Indonesia memiliki 3 unsur dan merupakan syarat yang paling minimal dan subjektif, apabila ketiganya terpenuhi, maka masyarakat dapat dikatakan  sejahtera. Unsur-unsur tersebut adalah sandang (pakaian), pangan (makan), dan papan (tempat tinggal).
Kesejahteraan umum juga tidak hanya mencakup tentang kesejahteraan ekonomi dan materi, namun juga mencakup kesejahteraan lahir dan batin, antara lain adalah terciptanya rasa aman dan nyaman, gotong royong, saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing individu, masyarakat yang makmur, adil dan setara.
Mencerdaskan bangsa merupakan tugas negara, pemerintah dan masing-masing individu untuk berusaha meraih jenjang pendidikan yang terbaik. Karena dengan adanya masyarakat yang cerdas, pembangunan dan kemajuan negara akan semakin mudah dicapai. Tujuan dari pencerdasan ini adalah memastikan seluruh masyarakat Indonesia memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan yang layak dan berkualitas.
Perdamaian merupakan cita-cita semua negara. Adalah fungsi negara untuk menjamin terwujudnya dan menjaga perdamaian di dalam negeri. Perdamaian juga dapat diwujudkan oleh setiap warga Indonesia dengan menjaga perdamaian antar suku, antar umat beragama, saling menghargai, dan menghormati perbedaan-berbedaan yang ada.
 
Indonesia Pasca Reformasi, Indonesia Kini
Kondisi Indonesia saat ini, setelah lebih dua dekade sejak digulirkannya tuntutan reformasi dinilai sudah jauh melenceng, perkembangan terakhir menunjukkan adanya deviasi, distorsi, dan disorientasi kehidupan nasional dari nilai-nilai dasar dan cita-cita nasional, lari dari hakikat dan tujuan berbangsa dan bernegara. 
Demokratisasi sebagai koridor untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, menjadi liar dan tak terarah. Mekanisme peralihan pengelolaan pemerintahan melalui proses PEMILU dan PILKADA menjadi ajang perebutan kekuasaan dan membangun rezim oligarki dan kleptokrasi. Pemerintahan yang tidak jauh dari praktik-praktik korupsi, kezaliman dan kriminalisasi, pembatasan kebebasan, yang sejatinya telah dijamin oleh konstitusi.
Ada pameo yang beredar umum, jika pada orde baru tindak korupsi dilakukan dibawah meja, justru di era pasca reformasi praktik pungli dan korupsi dilakukan di atas meja, secara terang benderang, vulgar dan terjadi pada semua lini. Koruptor yang jelas-jelas menyengsarakan banyak rakyat, diperlakukan secara istimewa, diberikan fasilitas keringanan hukuman dan fasilitas penjara yang nyaman, berbanding terbalik dengan rakyat kecil yang “terpaksa” melakukan tindak kejahatan karena tuntutan sepiring nasi untuk sekedar menyambung hidup diri dan keluarga. 
Yang lebih ironis lagi, justru Sebagian besar rakyat masih memberikan respek bahkan memuliakan para koruptor tersebut bagaikan seorang pahlawan, tak ada lagi hukuman moral dan hukuman sosial atas kejahatan yang telah mereka lakukan pada rakyat dan negara.
Lembaga legislasi, yang patutnya mengontrol eksekutif dan membuat perundang-undangan yang memberikan kepastian dan jaminan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan perdamaian bagi rakyat, pada pandangan rakyat bagaikan “ingin memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai”. 
Hiruk pikuk RUU HIP yang berganti baju menjadi RUU BPIP, RUU Omnibus Law Cipta Kerja, RUU Pendidikan, RUU KUHP, UU KPK, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan sederet lagi RUU yang meresahkan karena terindikasi mengenyampingkan hak azasi rakyat, tetap saja diproses, sebagaimana kata pepatah “anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Nurani para senator dan legislator yang duduk di kursi empuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPD/DPR/DPRD) seperti hilang dan tak lagi mewakili rakyat sebagai konstituennya.
Secara khusus, Pemerintah dan DPR cenderung menyimpang dari Pancasila, yang ditunjukkan dengan adanya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebagai kudeta konstitusional, kemudian diajukan RUU BPIP yang merendahkan Pancasila 18 Agustus 1945, memberi peluang bangkitnya PKI/komunisme, memonopoli tafsir tunggal Pancasila, untuk menghabisi lawan politik (diperkuat dengan pernyataan agama sebagai musuh Pancasila), yang kesemuanya sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Kebebasan berpendapat, menyuarakan ide dan gagasan, berserikat dan berkumpul, dibelenggu dengan berbagai macam tindakan. Aparat penegak hukum seperti menggunakan kaca mata kuda, tidak melihat kiri dan kanan, tak lagi berpijak pada kebenaran dan keadilan. Persekusi ulama dan pelecehan agama Islam, terakhir dengan kasus penusukan Syech Ali Jaber dan Perusakan Masjid/Mushalla yang viral di media massa maupun medsos, ditindak dengan cara kerja logika terbalik dan mencengangkan. Bukannya pelaku kejahatan yang ditindak dan diproses hukum, tetapi sebaliknya korban yang malah dipersoalkan. 
Belum lagi mensepelekan kasus dengan menyatakan pelaku adalah orang gila (terganggu kejiwaan), tanpa mengedepankan dan melakukan prosedur hukum standar. Pemberian label “orang gangguan jiwa” pada pelaku tindak kejahatan bernuansa agama, sepertinya cara mudah dan cepat untuk mengaburkan dan untuk tidak memproses hukum pelaku, dan akhirnya kasus tersebut menguap tanpa ada kejelasan status hukumnya. 
Sehingga rakyat menganggap modus “orang gangguan jiwa” sebagai jalan pintas untuk menghalalkan tindak kejahatan. Bahkan muncul pelesetan istilah OTG (orang tanpa gejala) yang dipakai untuk suspek terkonfirmasi positif Covid-19, berubah menjadi “Orang Terlatih Gila”, ini patut diwaspadai.
Peringatan sejarah kelam pengkhianatan G30S PKI sebagai upaya memperingatkan dan kilas balik bagi generasi saat ini maupun generasi mendatang terhadap kekejaman ajaran komunisme di Indonesia, diperdebatkan dan menjadi polemik yang panjang. Padahal proklamator RI Bung Karno selalu mengingatkan “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah), orang bijak mengatakan “belajarlah dari sejarah”. Bahkan surat dan ayat Al-Quran sebagian besar berisi dan menceritakan tentang sejarah, maknanya bahwa sejarah itu sangat penting.
Sebagaimana dinyatakan pada pendahuluan Maklumat KAMI yang di deklarasikan pada 18 Agustus 2020 di lapangan Monumen Pancasila Sakti, pembangunan ekonomi nasional telah gagal membebaskan bangsa dari ketergantungan pada utang luar negeri, investasi asing, dan produk impor, serta telah gagal pula menciptakan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini antara lain ditandai oleh makin besarnya utang luar negeri, membanjirnya produk impor, dan terjadinya kontraksinya ekonomi (minus 5,32 persen), yang tentu membawa dampak buruk bagi melemahnya daya beli rakyat, menurunnya ketersediaan bahan pangan, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan, diiringi oleh timpangnya struktur kepemilikan rakyat secara proporsional terhadap sumberdaya ekonomi, produksi dan distribusi.
Mencermati secara seksama kenyataan kehidupan bangsa dewasa ini, dan memperhatikan, penyelenggaraan dan tata kelola negara, khususnya pada Era Pandemi Covid-19, sepatutnya kita kembali kepangkal jalan dari hakikat mendirikan negara, hakikat dari merdeka dan membebaskan diri dari belenggu penjajahan, Kembali pada tujuan dan cita-cita berbangsa dan bernegara yang telah disepakati bersama sebagaimana disebutkan pada konstitusi negara (UUD 1945).
Tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945 diharapkan dapat diterapkan dalam pelaksanaan pemerintahan Indonesia. Pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Sehingga rakyat Indonesia dapat merasakan kesejahteraan di Negara Indonesia dan benar-benar tercipta pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mari kita kembali menerapkan norma dan nilai yang terdapat pada PANCASILA sebagai ideologi negara. Selamat memperingati Hari Kesaktian Pancasila.


Di Indonesia, istilah negara berasal dari bahasa Sansekerta, yakni “nagari” atau “nagara”, memiliki arti wilayah atau penguasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negara adalah organisasi suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Wikipedia menyebutkan bahwa negara (nation state) adalah organisasi kekuasaan yang berdaulat dengan tata pemerintahan yang melaksanakan tata tertib atas orang-orang di daerah tertentu. 
Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independen. Secara terminologi, negara adalah sebagai organisasi tertinggi di antara suatu kelompok masyarakat yang punya cita-cita untuk bersatu dan memiliki pemerintah yang berdaulat. Lebih lanjut, orang-orang atau bangsa (nation) dalam suatu negara dipersatukan dalam suatu tujuan bersama, dan inilah yang menjadi hakikat berdirinya suatu negara.
Para ahli mendefinisikan tujuan negara secara umum. Roger H Soltau dalam An Introduction to Politics (1951) menjelaskan tujuan negara yakni: “Memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.” Sementara Harold J Laski dalam The State in Theory and Practice (1947) menjelaskan tujuan negara sebagai: “Menciptakan keadaan di mana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal.”
75 tahun yang lalu sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, pondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dipersiapkan dengan apik dan sangat baik oleh para Pendiri Bangsa (The Founding Fathers). Dengan mengedepankan integritas dan nasionalisme yang tinggi, beradasarkan kapasitas dan kapabilitas masing-masing yang unggul dalam pemikiran, visi, dan intelektualisme, The Founding Fathers telah meletakkan Pancasila sebagai Dasar Negara dan juga UUD RI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional.
Sebagai negara yang berdaulat (sovereign state), tujuan bangsa dan negara Indonesia pun dengan tegas dinyatakan pada alinea keempat Pembukaan UUD RI Tahun 1945 tersebut, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,  perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Menilik tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945 tersebut, terdapat empat dimensi fungsi negara berdaulat (sovereign nation) meliputi “perlindungan”, “kesejahteraan”, “pencerdasan, dan “perdamaian”.
Negara wajib melindungi semua komponen yang membentuk negara bangsa (nation state) Indonesia, mulai dari rakyat, kekayaan alam, serta nilai-nilai bangsa yang patut dipertahankan. Parameter atau indikator subyek hukum warga negara sudah terlindungi adalah jika hak-haknya telah terpenuhi, berdasarkan konstitusi negara.  Hak warga negara Indonesia sendiri telah tercantum dalam UUD 1945. Hak-hak tersebut antara lain adalah hak asasi manusia, hak mendapatkan pekerjaan, hak perlindungan hukum yang sama, hak memperoleh pendidikan, hak menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul, dan lain sebagainya.
Kesejahteraan rakyat (nation welfare), fungsi ini yang paling penting dan diharapkan semua manusia. Fungsi ini menjamin rakyat tetap hidup sehingga negara tetap ada. Untuk itu negara diberi wewenang mengelola kekayaan agar mampu menjalankan fungsi ini. Parameter kesejahteraan di Indonesia memiliki 3 unsur dan merupakan syarat yang paling minimal dan subjektif, apabila ketiganya terpenuhi, maka masyarakat dapat dikatakan  sejahtera. Unsur-unsur tersebut adalah sandang (pakaian), pangan (makan), dan papan (tempat tinggal).
Kesejahteraan umum juga tidak hanya mencakup tentang kesejahteraan ekonomi dan materi, namun juga mencakup kesejahteraan lahir dan batin, antara lain adalah terciptanya rasa aman dan nyaman, gotong royong, saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing individu, masyarakat yang makmur, adil dan setara.
Mencerdaskan bangsa merupakan tugas negara, pemerintah dan masing-masing individu untuk berusaha meraih jenjang pendidikan yang terbaik. Karena dengan adanya masyarakat yang cerdas, pembangunan dan kemajuan negara akan semakin mudah dicapai. Tujuan dari pencerdasan ini adalah memastikan seluruh masyarakat Indonesia memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan yang layak dan berkualitas.
Perdamaian merupakan cita-cita semua negara. Adalah fungsi negara untuk menjamin terwujudnya dan menjaga perdamaian di dalam negeri. Perdamaian juga dapat diwujudkan oleh setiap warga Indonesia dengan menjaga perdamaian antar suku, antar umat beragama, saling menghargai, dan menghormati perbedaan-berbedaan yang ada.
 
Indonesia Pasca Reformasi, Indonesia Kini
Kondisi Indonesia saat ini, setelah lebih dua dekade sejak digulirkannya tuntutan reformasi dinilai sudah jauh melenceng, perkembangan terakhir menunjukkan adanya deviasi, distorsi, dan disorientasi kehidupan nasional dari nilai-nilai dasar dan cita-cita nasional, lari dari hakikat dan tujuan berbangsa dan bernegara. 
Demokratisasi sebagai koridor untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, menjadi liar dan tak terarah. Mekanisme peralihan pengelolaan pemerintahan melalui proses PEMILU dan PILKADA menjadi ajang perebutan kekuasaan dan membangun rezim oligarki dan kleptokrasi. Pemerintahan yang tidak jauh dari praktik-praktik korupsi, kezaliman dan kriminalisasi, pembatasan kebebasan, yang sejatinya telah dijamin oleh konstitusi.
Ada pameo yang beredar umum, jika pada orde baru tindak korupsi dilakukan dibawah meja, justru di era pasca reformasi praktik pungli dan korupsi dilakukan di atas meja, secara terang benderang, vulgar dan terjadi pada semua lini. Koruptor yang jelas-jelas menyengsarakan banyak rakyat, diperlakukan secara istimewa, diberikan fasilitas keringanan hukuman dan fasilitas penjara yang nyaman, berbanding terbalik dengan rakyat kecil yang “terpaksa” melakukan tindak kejahatan karena tuntutan sepiring nasi untuk sekedar menyambung hidup diri dan keluarga. 
Yang lebih ironis lagi, justru Sebagian besar rakyat masih memberikan respek bahkan memuliakan para koruptor tersebut bagaikan seorang pahlawan, tak ada lagi hukuman moral dan hukuman sosial atas kejahatan yang telah mereka lakukan pada rakyat dan negara.
Lembaga legislasi, yang patutnya mengontrol eksekutif dan membuat perundang-undangan yang memberikan kepastian dan jaminan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan perdamaian bagi rakyat, pada pandangan rakyat bagaikan “ingin memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai”. 
Hiruk pikuk RUU HIP yang berganti baju menjadi RUU BPIP, RUU Omnibus Law Cipta Kerja, RUU Pendidikan, RUU KUHP, UU KPK, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan sederet lagi RUU yang meresahkan karena terindikasi mengenyampingkan hak azasi rakyat, tetap saja diproses, sebagaimana kata pepatah “anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Nurani para senator dan legislator yang duduk di kursi empuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPD/DPR/DPRD) seperti hilang dan tak lagi mewakili rakyat sebagai konstituennya.
Secara khusus, Pemerintah dan DPR cenderung menyimpang dari Pancasila, yang ditunjukkan dengan adanya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebagai kudeta konstitusional, kemudian diajukan RUU BPIP yang merendahkan Pancasila 18 Agustus 1945, memberi peluang bangkitnya PKI/komunisme, memonopoli tafsir tunggal Pancasila, untuk menghabisi lawan politik (diperkuat dengan pernyataan agama sebagai musuh Pancasila), yang kesemuanya sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Kebebasan berpendapat, menyuarakan ide dan gagasan, berserikat dan berkumpul, dibelenggu dengan berbagai macam tindakan. Aparat penegak hukum seperti menggunakan kaca mata kuda, tidak melihat kiri dan kanan, tak lagi berpijak pada kebenaran dan keadilan. Persekusi ulama dan pelecehan agama Islam, terakhir dengan kasus penusukan Syech Ali Jaber dan Perusakan Masjid/Mushalla yang viral di media massa maupun medsos, ditindak dengan cara kerja logika terbalik dan mencengangkan. Bukannya pelaku kejahatan yang ditindak dan diproses hukum, tetapi sebaliknya korban yang malah dipersoalkan. 
Belum lagi mensepelekan kasus dengan menyatakan pelaku adalah orang gila (terganggu kejiwaan), tanpa mengedepankan dan melakukan prosedur hukum standar. Pemberian label “orang gangguan jiwa” pada pelaku tindak kejahatan bernuansa agama, sepertinya cara mudah dan cepat untuk mengaburkan dan untuk tidak memproses hukum pelaku, dan akhirnya kasus tersebut menguap tanpa ada kejelasan status hukumnya. 
Sehingga rakyat menganggap modus “orang gangguan jiwa” sebagai jalan pintas untuk menghalalkan tindak kejahatan. Bahkan muncul pelesetan istilah OTG (orang tanpa gejala) yang dipakai untuk suspek terkonfirmasi positif Covid-19, berubah menjadi “Orang Terlatih Gila”, ini patut diwaspadai.
Peringatan sejarah kelam pengkhianatan G30S PKI sebagai upaya memperingatkan dan kilas balik bagi generasi saat ini maupun generasi mendatang terhadap kekejaman ajaran komunisme di Indonesia, diperdebatkan dan menjadi polemik yang panjang. Padahal proklamator RI Bung Karno selalu mengingatkan “Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah), orang bijak mengatakan “belajarlah dari sejarah”. Bahkan surat dan ayat Al-Quran sebagian besar berisi dan menceritakan tentang sejarah, maknanya bahwa sejarah itu sangat penting.
Sebagaimana dinyatakan pada pendahuluan Maklumat KAMI yang di deklarasikan pada 18 Agustus 2020 di lapangan Monumen Pancasila Sakti, pembangunan ekonomi nasional telah gagal membebaskan bangsa dari ketergantungan pada utang luar negeri, investasi asing, dan produk impor, serta telah gagal pula menciptakan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini antara lain ditandai oleh makin besarnya utang luar negeri, membanjirnya produk impor, dan terjadinya kontraksinya ekonomi (minus 5,32 persen), yang tentu membawa dampak buruk bagi melemahnya daya beli rakyat, menurunnya ketersediaan bahan pangan, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan, diiringi oleh timpangnya struktur kepemilikan rakyat secara proporsional terhadap sumberdaya ekonomi, produksi dan distribusi.
Mencermati secara seksama kenyataan kehidupan bangsa dewasa ini, dan memperhatikan, penyelenggaraan dan tata kelola negara, khususnya pada Era Pandemi Covid-19, sepatutnya kita kembali kepangkal jalan dari hakikat mendirikan negara, hakikat dari merdeka dan membebaskan diri dari belenggu penjajahan, Kembali pada tujuan dan cita-cita berbangsa dan bernegara yang telah disepakati bersama sebagaimana disebutkan pada konstitusi negara (UUD 1945).
Tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945 diharapkan dapat diterapkan dalam pelaksanaan pemerintahan Indonesia. Pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Sehingga rakyat Indonesia dapat merasakan kesejahteraan di Negara Indonesia dan benar-benar tercipta pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mari kita kembali menerapkan norma dan nilai yang terdapat pada PANCASILA sebagai ideologi negara. Selamat memperingati Hari Kesaktian Pancasila.


Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya