Bahagia menjadi dambaan setiap manusia. Tak satupun manusia yang tidak menginginkan kebahagiaan dalam hidup. Hanya saja, apa itu bahagia dan bagaimana meraihnya, terkadang manusia berbeda pandangan dan jalan dalam meraihnya.
Ada yang menganggap bahwa bahagia itu dengan limpahan harta. Sehingga hidupnya dipenuhi dengan ragam usaha untuk mendapatkan harta. Tak peduli harta itu didapat dengan cara halal atau haram. Baginya harta adalah segalanya. Dan ada juga yang menganggap bahagia itu dengan memiliki kuasa. Sebab dengan kuasa ia dihormati dan bisa mengatur segalanya. Ada juga yang menganggap bahagia itu dengan popularitas, sehingga apapun dilakukan agar ia tersohor dan dikenal banyak orang. Ada juga yang meletakkan bahagia itu pada kecerdasan dan tingkat pendidikan. Hanya saja ketika semua itu dalam genggamannya, bahagia tak kunjung datang. Apa sesungguhnya bahagia itu? apakah sukses, senang itu sama dengan bahagia?
Jalan di dunia membuat banyak manusia yang salah dalam melangkah. Jalan sukses disangkanya bahagia, dan yang lebih salah lagi jalan sukses itu dikaitan dengan harta, gelar, jabatan, dan ketenaran. Padahal raihan kesuksesan itu boleh jadi kesenangan. Dan kesenangan itu adalah sesuatu yang “menyamar†sebagai kebahagiaan. Alhasil, banyak orang yang melakukan korupsi mendapatkan harta yang berlimpah untuk mendapatkan hidup lebih nyaman, ingin meraih kebahagiaan hidup. Namun ia tidak sadar yang dicarinya bukanlah kebahagiaan tapi kesenangan. Kesenangan itu tidaklah abadi, sebab bersumber dari hal-hal yang bersifat materi.
Terjebaknya manusia dalam memilih jalan yang keliru, dikarenakan jalan kesenangan sering terlihat indah, menarik, menggairahkan dan menjanjikan. Jalan kesenangan menawarkan kemudahan dan kenikmatan yang bersifat instan. Sedangkan jalan kebaikan yang menjadi muara kebahagian sering terlihat sulit, berliku-liku, mendaki dan penuh tantangan. Alhasil, manusia lebih banyak memilih kesenangan yang terlihat menjanjikan kebahagiaan, tapi sejatinya tak ubahnya seperti air laut yang mendatangkan kehausan. Semakin diteguk semakin dahaga. Itulah kesenangan yang membalut dirinya dengan selimut kebahagiaan. Sehingga banyak yang menyangka sukses itu bahagia. Padahal sukses dan bahagia itu dua hal yang berbeda.
Kesuksesan seperti ungkapan Dale Carnegie,†success is getting what you want, happiness is wanting what you getâ€selalu berkorelasi dengan mendapatkan apa yang kita ingin dan cita-citakan. Sementara kebahagiaan menginginkan apa yang kita dapatkan, atau dalam bahasa agama qanaah dan bersyukur. Kesuksesan selalu tampak dan diukur dengan kuantitas, sementara kebahagiaan tidak mengacu kepada hasil pencapaian tapi lebih kepada proses dan kualitas. Oleh itu kebahagiaan tidak berkait dengan kondisi di luar, tapi pada kondisi di dalam. Jika kesuksesan baru dirasakan kala apa yang kita targetkan tercapai, sedangkan bahagia bisa dirasakan dan dinikmati saat sesuatu itu mulai kita kerjakan. Artinya bahagia tidak menanti hasil, tidak menungguk hari esok, tapi bahagia hadir sejak awal.
Selama ini selubung kesuksesan dan kesenangan itulah yang menghijab kita dalam meraih kebahagiaan. Apalagi meraih kesuksesan dengan cara-cara yang tidak baik. Seperti menyikut kawan seiring, menggunting dalam lipatan, politik yang tidak mengedepankan etik, suap dan jalan-jalan buruk lainnya dalam menggapai kesuksesan. Sehingga kebahagiaan itu semakin menjauh, tak ubahnya seperti fatamorgana. Menyangka bahagia bila mendapat harta, kuasa, popularitas, gelar tinggi, tapi rupanya merana yang membalut diri.
Bahagia itu sesungguhnya adalah masalah rasa. Rasa itu sesuatu yang tak terlihat dan letaknya di dalam jiwa. Kunci kebahagiaan itu adalah manakala jalan yang kita tempuh dalam mencapai segala impian selaras dengan jalan yang telah ditetapkan Tuhan. Menjadi bahagia tidak mesti berlimpah harta, duduk di singgasana kuasa, terkenal sejagat raya atau bergelar panjang yang tak tereja. Menjadi bahagia itu sederhana dan bisa didapat kala mulai berusaha, tidak menunggu hasil sebagaimana yang diimpikan. Karena bahagia bukan bergantung kepada hasil, tapi proses, kualitas dan berhubung kait dengan spiritualitas. Semakin dekat kita kepada Sang Pencipta dan semakin dalam rasa syukur atas pemberian-Nya maka semakin tenang hati dan jiwa, maka bahagia itu akan datang menyelimuti kita.
Menjadi bahagia bukan berarti harus miskin, pasrah di awal langkah, tidak berusaha sedaya upaya, tapi bahagia itu manakala hidup sejalan dengan aturan Tuhan, hadirnya rasa syukur yang dibalut dengan selimut pantang putus asa dan terus berusaha dan mengikat ujung usaha dan hidupnya dengan tali kepasrahan (surrender) atau dalam bahasa agama tawakkal. Alhasil curahan ketenangan, kedamaian itu mengalir dalam nadi-nadi kehidupannnya. Bagi orang yang bahagia, hidupnya adalah anugerah terindah dari Tuhan.
Oleh karena itu teramat rugi orang yang meletakkan kebahagiaan pada capaian-capaian harta, kuasa, gelar, pangkat, jabatan, popularitas. Sebab sebelum capaian itu tercapai, ia sengsara dan manakala semua itu berada dalam genggamannyapun bahagia juga tak kunjung menghampirinya. Yang didapatnya hanyalah kesenangan sementara yang semu dan tak dapat memuaskan dahaga akan kebahagiaan.***