Artikel ini saya awali dengan mengutip paragraf pertama pemberitaan Riau Pos Hari Sabtu tanggal 2 November 2019. “Kondisi bangunan Sekolah Menengah Pertama Negeri 43 Kota Pekanbaru sangat memperihatikan. Bangunan yang baru ditempati 2017 itu terlihat lantai dan teras bangunan sudah retak dan pecah.” Teras yang retak dan pisah dari bangunan induk, kelihatan jelas pada foto di halaman head line Metropolis. Di awal atau kalimat pertama paragrat kedua tertulis: ” Selain lantai dan teras, terlihat juga bangunan sekolah sudah mulai miring.
Komentar akan saya mulai dengan kata ‘bila’. Bila yang retak hanya sebatas teras saja seperti yang kelihatan di foto, maka kerusakan gedung sekolah ini bukan kerusakan struktural bangunan. Kejadian seperti ini sering terjadi pada tanah rawa di mana gedung induk menggunakan fondasi dalam, sedangkan teras menggunakan fondasi dangkal tetapi dicor menyatu (monolit) dengan bangunan induk.
Teras mengalami penurunan (settlemet) karena duduk di atas tanah rawa, sedangkan bangunan induk tidak turun karena duduk di atas fondasi dalam yang duduk di tanah keras belasan atau puluhan meter dari permukaan tanah (top soil). Dalam istilah teknik sipil hal ini disebut “Perbedaan Penurunan (differential settlement)”, dua lemen struktur boleh terjadi penurunan dalam batas izin tetapi tidak boleh terjadi perbedaan penurunan. Dengan kata lain, struktur bangunan boleh terjadi settlement dalam batas izin, tetapi harus dihindari terjadinya differential settlement.
Teras turun sedangkan bangunan induk tidak, atau penurunan teras dan bangunan induk tidak sama. Kedua-dua kondisi ini yang menyebabkan retak dan putusnya teras dengan bangunan induk. Meskipun diperbaiki berulang-ulang akan sia-sia, bila sistem konstruksi tidak diubah, maka percuma saja diperbaiki. Tempat di mana retak terjadi itulah daerah putus struktur yang akan terjadi. Karena penurunan yang terjadi pada tanah gambut berlangsung jangka panjang yang hampir tak pernah selesai dan entah kapan bisa selesai. Sepanjang penurunan masih terjadi, maka konstruksi teras tetap turun, retak dan pecah.
Solusinya adalah dengan membuat sebuah sambungan atau pemisah pada bangunan teras dengan bangunan induk karena memiliki sistem struktur yang berbeda. Pemisah itu dalam istilah teknik sipil disebut “dilatasi”. Pengertian dilatasi adalah sebuah sambungan/garis pada sebuah bangunan yang karena sesuatu hal memiliki sistem struktur berbeda. Yang gunanya untuk menghindari kerusakan atau retak-retak pada bangunan yang ditimbulkan gaya vertikal dan horizontal, seperti pergeseran tanah.
Meskipun sedikit menyimpang dari topik utama, namun saya ingin memberi contoh dilatasi pada bangunan tinggi. Anda ingat dengan menara kembar yang terkena serangan teroris, yang terkenal dengan bencana 9 November di Amerika? Dalam tayangan yang sempat direkam, terlihat bangunan rubuh setahap demi setahap. Karena proses dilatasi tersebut yang memisahkan struktur antar lantai. Walaupun terlihat menyatu tetapi terpisah. Dan kerusakan akan terjadi sesuai tahapan struktur tersebut. Dalam hal gedung kembar itu dari atas ke bawah. Bayangkan jika bangunan menyatu tanpa proses dilatasi, bisa seperti pohon besar rubuh dan menimpa pohon lain.
Sekali lagi, solusinya adalah buat pemisahan yang jelas antara struktur teras dengan bangunan induk. Struktur teras tidak boleh bertikai apalagi menyatu dengan bangunan induk, sehingga bila terjadi penurunan akan merata dan tidak merusak struktur bangunan. Pemakaian tulangan jaringan (wire mesh) sudah cukup bagus, perlu ditambah cerucuk-cerucuk kaya sebagai pemadatan tanah dasar gambut tersebut (soil treatment). Hal ini harusnya sudah dirancang dengan baik pada saat perencanaan.
Sebenarnya sistem dilatasi juga tidak begitu efektif untuk tanah gambut di Pekanbaru, saya lebih familiar dengan sistem struktur yang menyatu (monolit). Struktur teras monolit dengan bangunan induk, artinya struktur teras merupakan satu kesatuan struktur dengan bangunan induk, bukan seperti sekarang ini, jenis struktur berbeda tetapi dicor meyatu (monolit). Teras bisa merupakan struktur kantilever dari bangunan induk, sehingga struktur teras murni dipikul oleh struktur kantilever (over stek) yang menyalurkan beban ke fondasi bangunan induk.
Mengenai pemberitaan bangunan miring, perlu dipertanyakan lagi. Apakah bangunan induk yang miring atau penurunan teras yang kelihatan seolah-olah bangunan induk miring? Saya kok masih yakin bahwa bangunan ini bukan miring disebabkan penurunan, karena dalam pemberitaan Riau Pos juga dikatakan selain teras tidak ada keretakan di tempat lain. Kembali saya menggunakan kata ‘bila’, bila bangunan induk miring karena penurunan yang berlebihan itu yang dikatakan ‘kegagalan bangunan’. Biasanya miring bangunan disebabkan fondasi tiang yang kurang atau tidak terpancang sampai ke tanah keras. Untuk bangunan miring, kita masih belum ada teknologi untuk meluruskan kembali, akan tetapi hanya bisa dicegah agar tidak bertambah miring atau turun. Penyokongan bisa dikalukan dengan bore pile (supporting injection bre pile).
Demikianlah ulasan singkat saya, tentang lantai teras bangunan SMP 43 Jalan Pemudi Kecamatan Payung Sekali Pekanbaru. Semoga bermanfaat.***