PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Riau dengan kekayaan dan keberagamannya, memiliki beragam situs dan cagar budaya yang bernilai historis. Ya, cagar budaya memang sarat nilai sejarah jika dikemas dengan baik. Bisa mendatangkan sumber ekonomi baru bagi masyarakat sebagai sebuah destinasi wisata. Kemasannya tentu harus lebih inovatif dengan sentuhan kreativitas pula.
Tak salah, Gubernur Riau (Gubri) H Syamsuar dan Wakilnya H Edy Nasution menjadikan pengembangan cagar budaya dalam salah satu bagian visi misi sektor kepariwisataan. Menjadikan kebudayaan sebagai payung negeri dalam pembangunan pariwisata Riau. Begitu poin salah satu misi Pemprov Riau dalam periode lima tahun ke depan.
Karenanya, Gubri dalam beberapa kesempatan mengingatkan stakeholder terkait agar dapat mengemas kekayaan nilai historis yang dimiliki seluruh daerah. Baik melalui cagar budaya, berupa benda maupun tak benda agar dikemas, dikelola, dan digali dengan lebih dalam lagi.
"Menjadikan kebudayaan Melayu sebagai payung negeri untuk pariwisata, menjadi visi misi Pak Gubernur, ini yang terus kami dorong melalui sinergi bersama," kata Plt Kepala Dinas Pariwisata Riau Raja Yoserizal dalam perbincangan dengan Riau Pos, Selasa (3/12).
Dijelaskan Raja Yose, Pemprov Riau perihal cagar budaya, juga sudah menelurkan sebuah surat keputusan gubernur dengan Nomor Kpts 459/II/2019 tentang penetapan status benda cagar budaya peringkat provinsi 2019. SK Gubernur ini merupakan revisi dari surat sebelumnya pada 2017. Terdapat ratusan benda yang masuk dalam cagar budaya provinsi ditetapkan.
"Semua perlu dikembangkan. Seluruh kabupaten/kota memiliki cagar budaya yang kaya nilai dan bisa menjadi destinasi wisata," bebernya.
Disinggung upaya yang dilakukan Dispar Riau, Raja Yose menjelaskan pembinaan terus dilakukan. Di mana beragam bentuk tradisi dapat disiapkan menjadi atraksi menarik. Sehingga mendatangkan wisatawan sebagai suatu destinasi wisata.
"Cagar budaya misalnya yang menjadi destinasi. Bisa juga masjid-masjid dan kekayaan cagar budaya lain yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Riau," katanya.
Dalam perbincangannya dengan Gubri, menurut Raja Yose seperti adanya keinginan kepala daerah, misalnya disiapkan laman silat pangean, disertai dengan warisan budaya tak bendanya. "Sehingga bisa dikemas menjadi atraksi menarik. Semua sejalan dengan visi misi gubernur, karena memang banyak destinasi dan cagar budaya yang laik," sambungnya.
Raja Yose menegaskan, dinas pariwisata provinsi sudah memprogramkan pengembangan cagar budaya sebagai destinasi wisata. Namun, diakuinya kurang dalam dan harus lebih dioptimalkan.
"Kita harus lebih mempertajam. Harus digali dan dipasarkan agar menjual sebagai destinasi tambahan," akunya.
Sementara Gubri secara tegas menyinggung soal pengembangan sektor cagar budaya dalam menyiapkan destinasi wisata Provinsi Riau. Kepada seluruh kepala daerah tingkat dua, dia pun mengajak agar dapat mengemas segala potensi yang dimiliki. Cagar budaya menurut Syamsuar memiliki arti penting, namun justru terkesan diabaikan. Ia mencontohkan dalam sebuah kegiatan pariwisata di Bandar Serai, Pekanbaru. Menceritakan tentang cagar budaya lokomotif yang ada di Jalan Kaharudin Nasution Pekanbaru misalnya.
Cagar budaya yang seharusnya mampu menjadi magnet orang berkunjung, karena menceritakan bagaimana sejarahnya bisa ada di Kota Pekanbaru.
"Riau sendiri kaya akan budaya dan cagar budaya. Di Pekanbaru, punya cagar budaya yang memiliki nilai sejarah seperti lokomotif. Tapi kenyataanya, lokomotif yang terletak di Jalan Kaharuddin Nasution seperti besi tua saja," ungkap Gubri.
Menurut orang nomor satu di Riau tersebut, tidak adanya kemasan sesuatu yang inovatif dan kreatif, membuat lokomotif tak bermakna apa-apa. Minimnya keingintahuan orang soal lokomotif yang sudah ada pada masa zaman penjajahan itu, diharapkan dapat dibenahi. Lokomotif itu ke depan, diharapkan Syamsuar harus mampu menjadi ikon sejarah Kota Bertuah yang belakangan menjelma menjadi Kota Madani. Jika cagar budaya bersejarah ini mampu menjadi ikon, maka diyakini akan memiliki nilai tambah.
Tidak hanya di Pekanbaru, daerah lainnya di Riau juga memiliki jejak lokomotif beserta bentangan relnya. Sayangnya, karena ketidakperdulian oleh pemerintah terkait, lagi-lagi seakan sejarah tak berjejak.
"Di Kuansing sendiri, juga dulu ada rel kereta api, tapi sekarang entah di mana relnya yang harusnya bisa menjadi destinasi sejarah," ungkap Gubri.
Selain itu, orang nomor satu di Riau ini juga mengatakan destinasi bersejarah lainnya yang harusnya bisa diangkat seperti benteng tujuh lapis di Rokan Hulu. Potensi destinasi yang bisa dikembangkan dalam usaha meningkatkan pariwisata berbasis budaya, harus mendapatkan perhatian di samping meningkatkan berbagai potensi yang sudah ada.
Kemudian penggalakan kebudayaan tradisional juga harus ditumbuh kembangkan. Sebagian orang mungkin hanya kegiatan biasa. Tapi justru hal seperti itu yang ingin dilihat orang.
"Orang ingin melihat keaslian. Setiap daerah tentu memiliki nilai budaya masing-masing. Demikian pula daerah lain, mulai Tembilahan, Rohil dan daerah lainya memiliki cagar dan budaya. Cuma sayangnya tak dikemas," beber Gubri.
Mantan Bupati Siak ini mendorong setiap kabupaten/kota membuat tim cagar budaya. Hal itu dianggap penting untuk menginventatisir cagar-cagar budaya yang nantinya bisa dipajangkan untuk Riau.
"Sebenarnya pembentukan cagar budaya ini gampang kerjanya, dengan merekrut pakar-pakar budaya di daerah, kalau tidak ada, bisa kita ambil dari sini (provinsi)," ujarnya.(egp/adv)