JAKARTA(RIAUPOS.CO)– Badan Urusan Logistik (Bulog) menegaskan bahwa penanganan beras disposal sebanyak 20 ribu ton telah sesuai dengan prosedur FIFO (first in first out). Namun, karena kendala di lapangan, membuat Perum Bulog tidak melakukan distribusi yang bisa merugikan BUMN yang ditugasi menananai soal pasokan bahan pokok ini.
Apa sih yang membuat beras yang berjumlah 20 ribu ton ini bisa turun mutu?
Direktur Utama Bulog, Budi Waseso mengungkapkan, terjadinya pembatalan pada program bantuan pangan non-tunai (BNPT) pada 2017 menjadi salah satu faktor yang berdampak pada menurunnya kualitas beras Bulog. Padahal beras tersebut adalah bantuan untuk mendukung Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMD) di 44 kota terpilih.
“Jadi BPMT itu kita lakukan 2017, yang 20.000 itu bukan karena kita tidak bisa menyerap BPMT, bukan, itu beras sejak tahun 2017, mau diapain, sudah hampir 3 tahun, pasti rusak lah, tapi batal,” ujarnya di kantornya, Selasa (3/12).
Padahal bantuan tersebut telah dikirimkan ke wilayah-wilayah yang sudah ditetapkan. Namun, karena ada kendala seperti perubahan data penerima manfaat hingga keterlambatan pencairan bantuan bagi keluarga penerima manfaat (KPM).
“Itu sudah terlanjur kita kirim ke wilayah-wilayah yang menerima BPMD dan dikemas dengan kemasan 5 kilogram sudah kita kirim, ternyata tidak jadi dipakai, kalau kita tarik kembali itu biayanya tinggi dan kita diamkan disana,” tambahnya.
Pihaknya bermaksud mendiamkan beras-beras tersebut di lokasi adalah untuk program bantuan yang lain. “Tapi ternyata tidak juga kalau bukan program BPMT atau rastra (beras sejahtera) sehingga itu lah yang mengakibatkan kerusakan dari beras itu,” ungkap dia.
Selain itu, hambatan yang lain adalah proses ditempat akhir atau hilirnya. “Hilirnya (berkendala), kita sudah melaksanakan penyerapan, menyimpan, merawat, udah bagus, tapi kalau kualitasnya kecil masalah kan,” pungkasnya.
Editor :Deslina
Sumber: Jawapos.com