Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Amendemen untuk Siapa?

(RIAUPOS.CO) — Amendemen konstitusi menjadi salah satu rekomendasi MPR periode 2014-2019 di akhir masa jabatannya. Saat itu rekomendasi tersebut tidak terlalu memantik reaksi lantaran hanya diberi embel-embel terbatas. Yakni, terbatas hanya pada menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN).

Sisi baiknya, GBHN akan memberikan jaminan kontinuitas program pembangunan yang ditetapkan dalam jangka panjang. Sisi negatifnya, muncul kekhawatiran bahwa pergantian rezim tidak akan melahirkan terobosan-terobosan baru, khususnya terhadap program yang telah ditetapkan menjadi haluan negara. Namun, itu hanyalah perdebatan kecil yang sama sekali tidak mengganggu rencana amandemen terbatas.

Saat MPR benar-benar berganti periode, isu amendemen ternyata berkembag liar. Road show penyerapan aspirasi yang dilakukan MPR ke parpol dan organisasi masyarakat memicu ide amandemen yang tak lagi terbatas. Partai Nasdem bahkan terang-terangan mengusulkan amandemen menyeluruh terhadap UUD 1945.

Baca Juga:  Polres Inhil Ungkap  Kasus Curanmor

Di luar itu, sebagian usul amandemen berbau kepentingan perebutan kekuasaan. Misalnya, mengubah periode jabatan maksimal presiden yang semua dua kali menjadi tiga kali. Ada pula sebaliknya, membatasi cukup satu periode, tetapi masa jabatannya diperpanjang menjadi tujuh atau delapan tahun.

Bahkan, ormas Nahdatul Ulama terang-terangan mengusulkan agar pemilihan presiden dikembalikan ke model lama, yakni melalui MPR. Alasannya, pemilihan langsung yang telah dilakukan selama ini lebih banyak mudaratnya. Mulai politik uang, biaya yang besar, hingga perpecahan yang tak kunjung usai di masyarakat.

Berbagai usulan itu sepertinya akan sangat "dinikmati" MPR. Kalau usul-usul itu lolos, MPR berpeluang kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Kembali punya kewenangan menyusun GBHN sebenarnya sudah cukup memberi peran besar kepada lembaga yang sejatinya minim kerjaan setelah era reformasi itu. Apalagi jika sampai kembali diberi kewenangan memilih presiden dan wakil presiden.

Baca Juga:  8 Keputusan Ijtimak Ulama IV

Tidak ada jaminan bahwa pimpinan MPR tidak "tergoda" untuk menerima usulan tersebut. Yang perlu dilakukan saat ini adalah mengawal agar Amendemen itu tetap terbatas. 

Pimpinan MPR sudah berjanji akan menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya. Juga, melibatkan masyarakat dalam proses amandemen yang akan berlangsung. Jangan sampai aspirasi yang masuk dipilih hanya dari kelompok kepentingan tertentu yang mengarahkan perubahan konstitusi pada kemunduran demokrasi. Mari kawal bersama.***

(RIAUPOS.CO) — Amendemen konstitusi menjadi salah satu rekomendasi MPR periode 2014-2019 di akhir masa jabatannya. Saat itu rekomendasi tersebut tidak terlalu memantik reaksi lantaran hanya diberi embel-embel terbatas. Yakni, terbatas hanya pada menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN).

Sisi baiknya, GBHN akan memberikan jaminan kontinuitas program pembangunan yang ditetapkan dalam jangka panjang. Sisi negatifnya, muncul kekhawatiran bahwa pergantian rezim tidak akan melahirkan terobosan-terobosan baru, khususnya terhadap program yang telah ditetapkan menjadi haluan negara. Namun, itu hanyalah perdebatan kecil yang sama sekali tidak mengganggu rencana amandemen terbatas.

- Advertisement -

Saat MPR benar-benar berganti periode, isu amendemen ternyata berkembag liar. Road show penyerapan aspirasi yang dilakukan MPR ke parpol dan organisasi masyarakat memicu ide amandemen yang tak lagi terbatas. Partai Nasdem bahkan terang-terangan mengusulkan amandemen menyeluruh terhadap UUD 1945.

Baca Juga:  Pemerintah Hapus Denda Pajak Kendaraan

Di luar itu, sebagian usul amandemen berbau kepentingan perebutan kekuasaan. Misalnya, mengubah periode jabatan maksimal presiden yang semua dua kali menjadi tiga kali. Ada pula sebaliknya, membatasi cukup satu periode, tetapi masa jabatannya diperpanjang menjadi tujuh atau delapan tahun.

- Advertisement -

Bahkan, ormas Nahdatul Ulama terang-terangan mengusulkan agar pemilihan presiden dikembalikan ke model lama, yakni melalui MPR. Alasannya, pemilihan langsung yang telah dilakukan selama ini lebih banyak mudaratnya. Mulai politik uang, biaya yang besar, hingga perpecahan yang tak kunjung usai di masyarakat.

Berbagai usulan itu sepertinya akan sangat "dinikmati" MPR. Kalau usul-usul itu lolos, MPR berpeluang kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Kembali punya kewenangan menyusun GBHN sebenarnya sudah cukup memberi peran besar kepada lembaga yang sejatinya minim kerjaan setelah era reformasi itu. Apalagi jika sampai kembali diberi kewenangan memilih presiden dan wakil presiden.

Baca Juga:  Polres Inhil Ungkap  Kasus Curanmor

Tidak ada jaminan bahwa pimpinan MPR tidak "tergoda" untuk menerima usulan tersebut. Yang perlu dilakukan saat ini adalah mengawal agar Amendemen itu tetap terbatas. 

Pimpinan MPR sudah berjanji akan menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya. Juga, melibatkan masyarakat dalam proses amandemen yang akan berlangsung. Jangan sampai aspirasi yang masuk dipilih hanya dari kelompok kepentingan tertentu yang mengarahkan perubahan konstitusi pada kemunduran demokrasi. Mari kawal bersama.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari