Senin, 25 November 2024
spot_img

Arah Format Baru Sekolah 

(RIAUPOS.CO) — Istilah sekolah bertaraf nasional dan internasional pernah mengemuka dan begitu lekat di tengah-tengah masyarakat. Perbincangan hangat antar orangtua tidak lain hanya tentang cara terbaik masuk di sekolah nasional atau internasional. Suatu kebanggaan jika anaknya belajar di sekolah model ini.

Berapapun biaya yang harus dikeluarkan tidak menjadi masalah asalkan anaknya masuk dan belajar di Sekolah level nasional maupun internasional. Namun, gugatan terhadap lembaga pendidikan berlabel nasional, favorit, model, unggulan, label internasional terus digulirkan oleh para pemerhati maupun konsultan pendidikan. Label-label seperti itu dipandang semakin menciptakan gap antar sekolah akibatnya komersialisasi pada lembaga pendidikan sulit untuk dihindari. Sekolah semacam itu juga hanya akan dinikmati oleh kalangan atas sementara kalangan menengah kebawah akan gigit jari. 

Akhirnya gugatan terhadap sekolah model Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) membuahkan hasil, segera Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar pembentukan RSBI. Penghentian Sekolah RSBI memberikan angin segar tentang akses pendidikan yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Tetapi jika melihat data statistik tentang anak putus sekolah tahun 2017/2018 seluruh Provinsi di Indonesia, baik tingkat Dasar dan Menengah sangat menghawatirkan. Tingkat SD berada diangka 32.127 orang, tingkat SMP berdasarkan jenis kelamin berada diangka 51,190 orang, sedangkan tingkat SMA berada diangka 31,123 orang. Anak-anak diseluruh pelosok Negeri tidak boleh terputus haknya untuk memperoleh akses pendidikan, mereka harus mengenyam dan menikmati program pemerintah wajib belajar 9 tahun atau 12 tahun yang sudah berjalan dengan baik.

Baca Juga:  Pertagas ODA Dukung Program Kemandirian Pangan di Dumai

Dengan demikian, apapun alasannya sekolah tidak boleh menolak peserta didik, Akses kesetaraan dalam pendidikan menjadi perhatian pemerintah, munculnya istilah-istilah (format) baru misalnya sekolah inklusi menjadi jawaban terhadap isu-isu pendidikan terkini. Ada lagi istilah sekolah ramah, sekolah sahabat keluarga, dan sekolah yang menyenangkan. Mungkin, kedepan akan muncul istilah baru lagi sebut saja sekolah impian, sekolah masa depan atau sekolah digital. Lalu, bagaimana sebenarnya arah untuk menyongsong model atau format baru sekolah tersebut? Tentunya tidak hanya sebatas penghargaan sebagai sekolah ramah, sahabat atau menyenangkan, impian, masa depan atau digital, akan tetapi implementasi dari format baru itu yang perlu menjadi perhatian bersama oleh para stakeholder. 

Baca Juga:  Perlu Konsep Konservasi yang Jelas

Istilah Sekolah "ramah, sahabat dan senang" memang sedang familiar, bahkan ada juga Sekolah yang berlomba-lomba untuk dilabeli demikian. Sebagaimana diamini oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan mengeluarkan Peraturan, petunjuk teknis (Juknis) dan panduan pelaksanakan format baru model Sekolah Ramah Anak (SRA) pada tahun 2015. Munculnya Juknis tersebut memberikan angin segar bagi pendidik dan peserta didik, seolah akan ada suasana baru untuk membangun iklim atau budaya sekolah, tidak hanya berpusat pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor, tetapi ada daya dukung lain yang perlu mendapat sentuhan khusus yakni aspek "ramah" dan "senang" yang selama ini banyak tersisihkan.Format sekolah mana yang akan diikuti, tentu berdasarkan kajian potensi dan keunggulan masing-masing lembaga pendidikan akan jelas model mana yang perlu dikembangkan, namun arah atau rute yang perlu menjadi acuan agar tetap pada jalur yang tepat memiliki prinsip ramah, bersahabat, menyenangkan dan kekinian (digital era). ***
 

(RIAUPOS.CO) — Istilah sekolah bertaraf nasional dan internasional pernah mengemuka dan begitu lekat di tengah-tengah masyarakat. Perbincangan hangat antar orangtua tidak lain hanya tentang cara terbaik masuk di sekolah nasional atau internasional. Suatu kebanggaan jika anaknya belajar di sekolah model ini.

Berapapun biaya yang harus dikeluarkan tidak menjadi masalah asalkan anaknya masuk dan belajar di Sekolah level nasional maupun internasional. Namun, gugatan terhadap lembaga pendidikan berlabel nasional, favorit, model, unggulan, label internasional terus digulirkan oleh para pemerhati maupun konsultan pendidikan. Label-label seperti itu dipandang semakin menciptakan gap antar sekolah akibatnya komersialisasi pada lembaga pendidikan sulit untuk dihindari. Sekolah semacam itu juga hanya akan dinikmati oleh kalangan atas sementara kalangan menengah kebawah akan gigit jari. 

- Advertisement -

Akhirnya gugatan terhadap sekolah model Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) membuahkan hasil, segera Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar pembentukan RSBI. Penghentian Sekolah RSBI memberikan angin segar tentang akses pendidikan yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Tetapi jika melihat data statistik tentang anak putus sekolah tahun 2017/2018 seluruh Provinsi di Indonesia, baik tingkat Dasar dan Menengah sangat menghawatirkan. Tingkat SD berada diangka 32.127 orang, tingkat SMP berdasarkan jenis kelamin berada diangka 51,190 orang, sedangkan tingkat SMA berada diangka 31,123 orang. Anak-anak diseluruh pelosok Negeri tidak boleh terputus haknya untuk memperoleh akses pendidikan, mereka harus mengenyam dan menikmati program pemerintah wajib belajar 9 tahun atau 12 tahun yang sudah berjalan dengan baik.

Baca Juga:  Perlu Konsep Konservasi yang Jelas

Dengan demikian, apapun alasannya sekolah tidak boleh menolak peserta didik, Akses kesetaraan dalam pendidikan menjadi perhatian pemerintah, munculnya istilah-istilah (format) baru misalnya sekolah inklusi menjadi jawaban terhadap isu-isu pendidikan terkini. Ada lagi istilah sekolah ramah, sekolah sahabat keluarga, dan sekolah yang menyenangkan. Mungkin, kedepan akan muncul istilah baru lagi sebut saja sekolah impian, sekolah masa depan atau sekolah digital. Lalu, bagaimana sebenarnya arah untuk menyongsong model atau format baru sekolah tersebut? Tentunya tidak hanya sebatas penghargaan sebagai sekolah ramah, sahabat atau menyenangkan, impian, masa depan atau digital, akan tetapi implementasi dari format baru itu yang perlu menjadi perhatian bersama oleh para stakeholder. 

- Advertisement -
Baca Juga:  Bhakti Sosial, Polsek Kuantan Mudik Bersihkan Pasar

Istilah Sekolah "ramah, sahabat dan senang" memang sedang familiar, bahkan ada juga Sekolah yang berlomba-lomba untuk dilabeli demikian. Sebagaimana diamini oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan mengeluarkan Peraturan, petunjuk teknis (Juknis) dan panduan pelaksanakan format baru model Sekolah Ramah Anak (SRA) pada tahun 2015. Munculnya Juknis tersebut memberikan angin segar bagi pendidik dan peserta didik, seolah akan ada suasana baru untuk membangun iklim atau budaya sekolah, tidak hanya berpusat pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor, tetapi ada daya dukung lain yang perlu mendapat sentuhan khusus yakni aspek "ramah" dan "senang" yang selama ini banyak tersisihkan.Format sekolah mana yang akan diikuti, tentu berdasarkan kajian potensi dan keunggulan masing-masing lembaga pendidikan akan jelas model mana yang perlu dikembangkan, namun arah atau rute yang perlu menjadi acuan agar tetap pada jalur yang tepat memiliki prinsip ramah, bersahabat, menyenangkan dan kekinian (digital era). ***
 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari