Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Solar Langka, YLKI Soroti Sistem Distribusi BBM Bersubsidi

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi membuat kinerja Pertamina disorot. Di luar faktor kuota yang lebih sedikit daripada tahun lalu, persoalan distribusi turut berdampak pada sulitnya mendapat solar bersubsidi saat ini.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berpendapat, hal yang paling krusial dari BBM bersubsidi adalah keandalan distribusi.

Tanpa sistem distribusi yang tepat, pembatasan penyaluran solar bersubsidi bisa memicu persoalan lain.

Ketua Umum YLKI Tulus Abadi menyatakan, jika permasalahannya adalah beban anggaran, akan lebih adil menyesuaikan harga daripada membatasi penyaluran solar bersubsidi. “Pembatasan atau pengurangan kuota solar subsidi tidak memecahkan persoalan. Bahkan, di lapangan hanya menyulitkan dan membuat potensi munculnya persoalan yang lebih besar,” ujar Tulus kemarin (16/11).

Menurut Tulus, pemerintah harus lebih cermat dalam menghitung kembali kuota BBM bersubsidi tahun depan, termasuk solar. Jika perlu, harga dapat disesuaikan seiring dengan harga minyak mentah dunia. “Lebih baik barang ada walau harga naik daripada harga tetap tetapi barang tidak ada,” ucapnya.

Terkait dengan kekhawatiran kenaikan harga akan membebani konsumen, khususnya kalangan bawah, YLKI menyatakan bahwa harga bisa dibuat dengan klasifikasi tertentu. Ada sektor-sektor prioritas yang tetap mendapat keringanan harga. “Seharusnya harga BBM memang disesuaikan dengan harga keekonomian, kecuali untuk kelompok khusus, misalnya nelayan,” jelasnya.

Baca Juga:  Bank Dunia Prediksi Ekonomi Indonesia Melambat

Sebab, dari sudut pandang konsumen, kata Tulus, pembatasan penggunaan solar subsidi mendatangkan lebih banyak kerugian. Di antaranya, mengganggu distribusi pasokan logistik yang ujung-ujungnya dapat mengakibatkan kenaikan harga-harga. ’’Konsumen yang akan menanggung rugi karena harus menanggung inefisiensi akibat kenaikan harga tersebut,’’ tandasnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR Ridwan Hisjam menjelaskan, ada sejumlah hal yang seharusnya dilakukan Pertamina hingga akhir tahun ini. Terutama untuk memastikan sisa kuota solar bersubsidi benar-benar didistribusikan kepada yang berhak. ’’Yang mobil pribadi itu harus ditertibkan,’’ katanya kemarin.

Awal Agustus lalu, BPH Migas sudah menetapkan kendaraan mana saja yang tidak boleh minum solar. Juga batasan pembelian solar pada kendaraan-kendaraan tertentu.

Menurut dia, seharusnya yang berhak menggunakan solar bersubsidi hanya kendaraan umum dan kendaraan barang atau niaga dengan kriteria khusus. Sementara itu, kendaraan pribadi dan industri pengguna high speed diesel (HSD) alias solar industri seharusnya tidak boleh bersentuhan dengan solar bersubsidi. Sudah ada produk dex yang bisa digunakan. Baik dexlite maupun pertamina dex.

Tahun ini, kata dia, subsidi terhadap solar masih tinggi. Yakni, mencapai Rp 2.000 per liter. “Nanti 2020 turun menjadi Rp 1.500 (per liter). Termasuk elpiji bersubsidi,” urainya.

Baca Juga:  Kawasaki Siapkan Motor Listrik Bergaya Sport

Bagaimanapun, pemerintah harus membuat keseimbangan agar APBN tidak sampai defisit hanya demi subsidi bahan bakar. Karena itu, kelangkaan kali ini seharusnya menjadi momentum untuk menegaskan kepada publik: siapa saja yang berhak menikmati subsidi bahan bakar.

Pertamina harus menata hingga ke level SPBU dan memastikan hanya kendaraan yang berhak yang boleh minum solar bersubsidi. Dengan demikian, Pertamina tidak sampai kehabisan kuota subsidi.

Pengawasan terhadap penyaluran solar bersubsidi harus diperketat agar produk itu tidak dibeli oleh pihak di luar ketentuan. Apabila tidak diperketat, Pertamina akan terus kehabisan kuota subsidi sebelum akhir tahun karena sebagian bocor kepada yang tidak berhak.

Pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengusulkan agar pemerintah berani menyubsidi langsung ke masyarakat atau penerima. ’’Itu yang paling efektif,” ucapnya. Selama menganut sistem subsidi harga, kata dia, analogi air mengalir ke tempat yang lebih rendah akan berlaku. ”Berapa pun kuota solar subsidi yang dialirkan, kalau behavior di lapangan sama seperti ini, ya tidak akan cukup,” tandasnya.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi membuat kinerja Pertamina disorot. Di luar faktor kuota yang lebih sedikit daripada tahun lalu, persoalan distribusi turut berdampak pada sulitnya mendapat solar bersubsidi saat ini.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berpendapat, hal yang paling krusial dari BBM bersubsidi adalah keandalan distribusi.

- Advertisement -

Tanpa sistem distribusi yang tepat, pembatasan penyaluran solar bersubsidi bisa memicu persoalan lain.

Ketua Umum YLKI Tulus Abadi menyatakan, jika permasalahannya adalah beban anggaran, akan lebih adil menyesuaikan harga daripada membatasi penyaluran solar bersubsidi. “Pembatasan atau pengurangan kuota solar subsidi tidak memecahkan persoalan. Bahkan, di lapangan hanya menyulitkan dan membuat potensi munculnya persoalan yang lebih besar,” ujar Tulus kemarin (16/11).

- Advertisement -

Menurut Tulus, pemerintah harus lebih cermat dalam menghitung kembali kuota BBM bersubsidi tahun depan, termasuk solar. Jika perlu, harga dapat disesuaikan seiring dengan harga minyak mentah dunia. “Lebih baik barang ada walau harga naik daripada harga tetap tetapi barang tidak ada,” ucapnya.

Terkait dengan kekhawatiran kenaikan harga akan membebani konsumen, khususnya kalangan bawah, YLKI menyatakan bahwa harga bisa dibuat dengan klasifikasi tertentu. Ada sektor-sektor prioritas yang tetap mendapat keringanan harga. “Seharusnya harga BBM memang disesuaikan dengan harga keekonomian, kecuali untuk kelompok khusus, misalnya nelayan,” jelasnya.

Baca Juga:  PLN Cari Mitra Usaha untuk Bangun Lebih dari 100 SPKLU

Sebab, dari sudut pandang konsumen, kata Tulus, pembatasan penggunaan solar subsidi mendatangkan lebih banyak kerugian. Di antaranya, mengganggu distribusi pasokan logistik yang ujung-ujungnya dapat mengakibatkan kenaikan harga-harga. ’’Konsumen yang akan menanggung rugi karena harus menanggung inefisiensi akibat kenaikan harga tersebut,’’ tandasnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR Ridwan Hisjam menjelaskan, ada sejumlah hal yang seharusnya dilakukan Pertamina hingga akhir tahun ini. Terutama untuk memastikan sisa kuota solar bersubsidi benar-benar didistribusikan kepada yang berhak. ’’Yang mobil pribadi itu harus ditertibkan,’’ katanya kemarin.

Awal Agustus lalu, BPH Migas sudah menetapkan kendaraan mana saja yang tidak boleh minum solar. Juga batasan pembelian solar pada kendaraan-kendaraan tertentu.

Menurut dia, seharusnya yang berhak menggunakan solar bersubsidi hanya kendaraan umum dan kendaraan barang atau niaga dengan kriteria khusus. Sementara itu, kendaraan pribadi dan industri pengguna high speed diesel (HSD) alias solar industri seharusnya tidak boleh bersentuhan dengan solar bersubsidi. Sudah ada produk dex yang bisa digunakan. Baik dexlite maupun pertamina dex.

Tahun ini, kata dia, subsidi terhadap solar masih tinggi. Yakni, mencapai Rp 2.000 per liter. “Nanti 2020 turun menjadi Rp 1.500 (per liter). Termasuk elpiji bersubsidi,” urainya.

Baca Juga:  Fox Hotel Pekanbaru Gelar Annual Corporate Gathering 2021

Bagaimanapun, pemerintah harus membuat keseimbangan agar APBN tidak sampai defisit hanya demi subsidi bahan bakar. Karena itu, kelangkaan kali ini seharusnya menjadi momentum untuk menegaskan kepada publik: siapa saja yang berhak menikmati subsidi bahan bakar.

Pertamina harus menata hingga ke level SPBU dan memastikan hanya kendaraan yang berhak yang boleh minum solar bersubsidi. Dengan demikian, Pertamina tidak sampai kehabisan kuota subsidi.

Pengawasan terhadap penyaluran solar bersubsidi harus diperketat agar produk itu tidak dibeli oleh pihak di luar ketentuan. Apabila tidak diperketat, Pertamina akan terus kehabisan kuota subsidi sebelum akhir tahun karena sebagian bocor kepada yang tidak berhak.

Pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengusulkan agar pemerintah berani menyubsidi langsung ke masyarakat atau penerima. ’’Itu yang paling efektif,” ucapnya. Selama menganut sistem subsidi harga, kata dia, analogi air mengalir ke tempat yang lebih rendah akan berlaku. ”Berapa pun kuota solar subsidi yang dialirkan, kalau behavior di lapangan sama seperti ini, ya tidak akan cukup,” tandasnya.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari