Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Kriminolog: Guru Harus Bertanggung Jawab

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Perundungan (intimidasi) yang terjadi di SMPN 38 Pekanbaru terus menjadi pembicaraan. Siswa berinisial MFA (14) diduga mengalami tindakan kekerasan dari rekannya, M dan R saat proses belajar mengajar berlangsung, Selasa (5/11). Bahkan ada guru di dalam ruangan kelas yang menjadi tempat kejadian.

Menanggapi hal ini, Kriminolog Universitas Islam Riau (UIR) Dr Syahrul Akmal Latif mengatakan guru yang berada saat keributan itu terjadi di jam pelajaran di kelas harus diberi sanksi tegas. “Guru itu harus bertanggung jawab, dan harus dipecat. Itu bisa dipidana. Karena secara pribadi dia membiarkan orang dianiaya,” ujarnya, Sabtu (9/11).

Seharusnya guru tersebut mengawasi mu­rid-mu­ridnya di kelas. “Kita kan baru dapat informasi dari sebelah pihak, namun kalau memang ter­bukti guru ter­se­but membiarkan keributan di dalam kelas, maka dakwaan ke guru kelas tersebut bisa berlapis yakni membiarkan penganiyaan dan tidak menjalankan tugas secara efektif,” tegasnya.

Namun ia belum bisa berkomentar banyak, karena informasi baru diperoleh dari pihak korban. Harus dicari informasi yang valid atas peristiwa yang memalukan dari dunia pendidikan ini. “Kita tidak bisa mengedepankan pengakuan korban saja. Harus mencari data yang valid. Apakah memang betul ada guru di kelas saat kejadian itu? Kalau betul, tidak ada alasan, mesti dipecat guru tersebut kalau betul membiarkan kejadian itu. Pasalnya, kelas ruang transfer ilmu bukan untuk panggung atau konser,” tegasnya.

Syahrul juga mengatakan, anak-anak yang melakukan perundungan dan bullying harus diberikan sanksi karena itu tidak bisa dianggap ketidakpahaman mereka. Syahrul mengatakan kebanyakan anak sudah terkontaminasi dengan tayangan-tayangan yang sangat tidak layak untuk ditonton oleh mereka, sehingga mereka meniru tanpa ada filter.

Baca Juga:  Lenovo Kini Ditanami Microsoft Office Home & Student 2019

“Target bully itu anak pendiam. Anak punya prestasi, punya ekonomi bagus dan sebagianya, itu biasa dijadikan target. Itu semua mereka dapati dari sosial media, tergantung menunggu momennya saja,” jelasnya.

Syahrul mengatakan kerap terjadinya aksi bully di kalangan pelajar dinilai sebagai kesalahan semua pihak dalam memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengakses secara bebas konten-konten di media sosial, sehingga anak tidak bisa mengendalikan apa yang mereka lihat.

“Ini yang kita khawatirkan sejak dulu. Akibat penggunaaan media sosial dari anak-anak yang sebenarnya mereka belum siap menghadapi itu, sehingga akses bebas dibuka, dan mereka membuat pertengkaran seperti contoh di grup media sosial whatsapp dan sebagainya, sehingga terbentuk kelompok-kelompok atau geng kecil ini yang berpotensi terjadi aksi bully,” ungkapnya.

Ia mengatakan, seharusnya pihak sekolah memonitor akses media yang ada di murid karena bully terjadi biasanya ini akibat pertengkaran dari sosial media. “Kita sudah dari dulu khawatir akan ada kasus seperti ini. Karena secara psikologi, anak-anak seusia itu belum bisa berhadapan dengan konten media sosial yang mereka lihat sehingga tidak ada lagi norma dan etika dari anak,” katanya.

Ia umpamakan, sekolah di luar negeri, anak-anak sekolah tidak boleh menggunakan handphone di sekolah. “Konten media kita tidak ada penyangga dari sosial media dan pemerintah tidak mau mengalangi ini, makanya selalu terjadi bully,” jawabnya.

Anak-anak cenderung berbuat apa yang mereka lihat atas kehendak hatinya karena mereka tidak berpikir terlebih dahulu. “Yang harus bertanggung jawab semua pihak karena tidak melakukan pengawasan. Di rumah tidak pernah diawasi konten-konten yang mereka buka. Di sekolah tidak pernah membatasi kapan boleh menggunakan handphone, baik di dalam maupun di luar kelas,” jelasnya.

Baca Juga:  Komitmen Polri Dipertanyakan, Penyerang Novel Tak Kunjung Terungkap

Selain itu katanya, peran pemerintah dalam pengawasan konten media harus dilakukan maksimal, karena selama ini ia melihat peran pemerintah belum maksimal dalam mengawasi konten-konten yang ditonton di masyarakat.

“Mestinya ini dimonitor. Terutama dari orangtua, karena anak-anak lebih banyak bersama orangtua. Seperti ketika anaknya mau tidur, lihat apakah anaknya masih membuka handphone, dan lihat apa saja isi-sisi kontennya. Apalagi anak tidak bisa tidur saat malam itu bukan karena tidak bisa tidur, tetapi mereka ingin melihat konten media di saat malam,” katanya.

Selain itu kesalahan dari pihak sekolah juga ada karena tidak mau mengevaluasi kegiatan anak di luar kelas, seharusnya anak-anak dilihat juga saat di dalam sekolah. “Anak-anak itu berkumpul ngapain, dan apa mereka akses. Dari konten-konten sosial media itu lah yang mereka lihat kemudian membuat geng-geng kecil,” katanya.

Selain itu, ia juga mempertanyakan guru BP. Apakah mereka ada memberikan sosialisasi tentang dampak mengkosumsi media HP sampai berjam-jam. Kemudian apa isinya dan apa yang mereka buka. “Kita ini termasuk negara yang paling buruk dalam ber-IT atau kebebasan tidak terkendali. Karena kita euforia dalam bermedia sehingga terbentuklah hal-hal yang menyimpang,” jelasnya.

Ia mengatakan, geng yang melakukan bully tersebut biasanya terbentuk dikarenakan sudah ada komunikasi intensif yang mereka lakukan tiap hari.(*4)

 

 

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Perundungan (intimidasi) yang terjadi di SMPN 38 Pekanbaru terus menjadi pembicaraan. Siswa berinisial MFA (14) diduga mengalami tindakan kekerasan dari rekannya, M dan R saat proses belajar mengajar berlangsung, Selasa (5/11). Bahkan ada guru di dalam ruangan kelas yang menjadi tempat kejadian.

Menanggapi hal ini, Kriminolog Universitas Islam Riau (UIR) Dr Syahrul Akmal Latif mengatakan guru yang berada saat keributan itu terjadi di jam pelajaran di kelas harus diberi sanksi tegas. “Guru itu harus bertanggung jawab, dan harus dipecat. Itu bisa dipidana. Karena secara pribadi dia membiarkan orang dianiaya,” ujarnya, Sabtu (9/11).

- Advertisement -

Seharusnya guru tersebut mengawasi mu­rid-mu­ridnya di kelas. “Kita kan baru dapat informasi dari sebelah pihak, namun kalau memang ter­bukti guru ter­se­but membiarkan keributan di dalam kelas, maka dakwaan ke guru kelas tersebut bisa berlapis yakni membiarkan penganiyaan dan tidak menjalankan tugas secara efektif,” tegasnya.

Namun ia belum bisa berkomentar banyak, karena informasi baru diperoleh dari pihak korban. Harus dicari informasi yang valid atas peristiwa yang memalukan dari dunia pendidikan ini. “Kita tidak bisa mengedepankan pengakuan korban saja. Harus mencari data yang valid. Apakah memang betul ada guru di kelas saat kejadian itu? Kalau betul, tidak ada alasan, mesti dipecat guru tersebut kalau betul membiarkan kejadian itu. Pasalnya, kelas ruang transfer ilmu bukan untuk panggung atau konser,” tegasnya.

- Advertisement -

Syahrul juga mengatakan, anak-anak yang melakukan perundungan dan bullying harus diberikan sanksi karena itu tidak bisa dianggap ketidakpahaman mereka. Syahrul mengatakan kebanyakan anak sudah terkontaminasi dengan tayangan-tayangan yang sangat tidak layak untuk ditonton oleh mereka, sehingga mereka meniru tanpa ada filter.

Baca Juga:  Dari Lembah Panjshir, Ahmad Massoud Akan Melawan Taliban

“Target bully itu anak pendiam. Anak punya prestasi, punya ekonomi bagus dan sebagianya, itu biasa dijadikan target. Itu semua mereka dapati dari sosial media, tergantung menunggu momennya saja,” jelasnya.

Syahrul mengatakan kerap terjadinya aksi bully di kalangan pelajar dinilai sebagai kesalahan semua pihak dalam memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengakses secara bebas konten-konten di media sosial, sehingga anak tidak bisa mengendalikan apa yang mereka lihat.

“Ini yang kita khawatirkan sejak dulu. Akibat penggunaaan media sosial dari anak-anak yang sebenarnya mereka belum siap menghadapi itu, sehingga akses bebas dibuka, dan mereka membuat pertengkaran seperti contoh di grup media sosial whatsapp dan sebagainya, sehingga terbentuk kelompok-kelompok atau geng kecil ini yang berpotensi terjadi aksi bully,” ungkapnya.

Ia mengatakan, seharusnya pihak sekolah memonitor akses media yang ada di murid karena bully terjadi biasanya ini akibat pertengkaran dari sosial media. “Kita sudah dari dulu khawatir akan ada kasus seperti ini. Karena secara psikologi, anak-anak seusia itu belum bisa berhadapan dengan konten media sosial yang mereka lihat sehingga tidak ada lagi norma dan etika dari anak,” katanya.

Ia umpamakan, sekolah di luar negeri, anak-anak sekolah tidak boleh menggunakan handphone di sekolah. “Konten media kita tidak ada penyangga dari sosial media dan pemerintah tidak mau mengalangi ini, makanya selalu terjadi bully,” jawabnya.

Anak-anak cenderung berbuat apa yang mereka lihat atas kehendak hatinya karena mereka tidak berpikir terlebih dahulu. “Yang harus bertanggung jawab semua pihak karena tidak melakukan pengawasan. Di rumah tidak pernah diawasi konten-konten yang mereka buka. Di sekolah tidak pernah membatasi kapan boleh menggunakan handphone, baik di dalam maupun di luar kelas,” jelasnya.

Baca Juga:  Suami Tolak Bercerai

Selain itu katanya, peran pemerintah dalam pengawasan konten media harus dilakukan maksimal, karena selama ini ia melihat peran pemerintah belum maksimal dalam mengawasi konten-konten yang ditonton di masyarakat.

“Mestinya ini dimonitor. Terutama dari orangtua, karena anak-anak lebih banyak bersama orangtua. Seperti ketika anaknya mau tidur, lihat apakah anaknya masih membuka handphone, dan lihat apa saja isi-sisi kontennya. Apalagi anak tidak bisa tidur saat malam itu bukan karena tidak bisa tidur, tetapi mereka ingin melihat konten media di saat malam,” katanya.

Selain itu kesalahan dari pihak sekolah juga ada karena tidak mau mengevaluasi kegiatan anak di luar kelas, seharusnya anak-anak dilihat juga saat di dalam sekolah. “Anak-anak itu berkumpul ngapain, dan apa mereka akses. Dari konten-konten sosial media itu lah yang mereka lihat kemudian membuat geng-geng kecil,” katanya.

Selain itu, ia juga mempertanyakan guru BP. Apakah mereka ada memberikan sosialisasi tentang dampak mengkosumsi media HP sampai berjam-jam. Kemudian apa isinya dan apa yang mereka buka. “Kita ini termasuk negara yang paling buruk dalam ber-IT atau kebebasan tidak terkendali. Karena kita euforia dalam bermedia sehingga terbentuklah hal-hal yang menyimpang,” jelasnya.

Ia mengatakan, geng yang melakukan bully tersebut biasanya terbentuk dikarenakan sudah ada komunikasi intensif yang mereka lakukan tiap hari.(*4)

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari