JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina yang berkepanjangan dikhawatirkan berdampak buruk terhadap perekonomian domestik. Aliran dana asing (capital inflow) yang cenderung stabil terancam ditarik ke luar. Investor asing akan memilih menaruh dananya di negara yang aman dengan imbal hasil yang tinggi.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga utang agar lebih menarik di mata investor asing. ’’Jika perang dagang meluas, akan memicu pelarian modal internasional dari Indonesia ke negara lain. Otomatis, imbal hasil obligasi SBN (surat berharga negara) pemerintah akan naik,’’ jelas Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan.
Dia menambahkan, dengan naiknya besaran imbal hasil SBN pemerintah, minat masyarakat akan bergeser. Dari semula menyimpan dananya di bank menjadi di obligasi negara. Hal itu akan memicu perebutan dana publik antara perbankan dan pemerintah. Dampaknya, perbankan akan dipaksa menaikkan suku bunga simpanannya agar tetap menarik bagi masyarakat.
’’Karena modal internasionalnya keluar dari emerging markets, harga SBN akan anjlok dan otomatis imbal hasilnya naik. Sehingga perbankan bersaing dengan pasar obligasi dalam menggalang dana masyarakat,’’ paparnya.
Menurut Fauzi, potensi pengetatan likuiditas di perbankan bakal terjadi. Khususnya bagi bank-bank BUKU (bank umum kegiatan usaha) 3 ke bawah. Padahal, pengetatan likuiditas saat ini diperkirakan sudah terjadi. Karena itu, perang dagang akan membuat likuiditas perbankan makin ketat. ’’Memang likuiditas kita mengetat. LDR (liquidity debt to ratio/rasio kecukupan modal) perbankan tahun ini naik 97 persen dan akan naik lagi di 2020 ke 99,7 persen jika diperburuk dengan kenaikan imbal hasil pasar obligasi,’’ katanya.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, persaingan antara pemerintah dan perbankan dalam memperebutkan dana publik dipastikan berpengaruh terhadap likuiditas. Apalagi, saat ini rasio kecukupan modal perbankan sudah cukup tinggi. Yakni, di atas 90 persen. Artinya, ruang penyaluran kredit makin kecil, sedangkan kebutuhan likuiditas makin tinggi.
JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina yang berkepanjangan dikhawatirkan berdampak buruk terhadap perekonomian domestik. Aliran dana asing (capital inflow) yang cenderung stabil terancam ditarik ke luar. Investor asing akan memilih menaruh dananya di negara yang aman dengan imbal hasil yang tinggi.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga utang agar lebih menarik di mata investor asing. ’’Jika perang dagang meluas, akan memicu pelarian modal internasional dari Indonesia ke negara lain. Otomatis, imbal hasil obligasi SBN (surat berharga negara) pemerintah akan naik,’’ jelas Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan.
Dia menambahkan, dengan naiknya besaran imbal hasil SBN pemerintah, minat masyarakat akan bergeser. Dari semula menyimpan dananya di bank menjadi di obligasi negara. Hal itu akan memicu perebutan dana publik antara perbankan dan pemerintah. Dampaknya, perbankan akan dipaksa menaikkan suku bunga simpanannya agar tetap menarik bagi masyarakat.
- Advertisement -
’’Karena modal internasionalnya keluar dari emerging markets, harga SBN akan anjlok dan otomatis imbal hasilnya naik. Sehingga perbankan bersaing dengan pasar obligasi dalam menggalang dana masyarakat,’’ paparnya.
Menurut Fauzi, potensi pengetatan likuiditas di perbankan bakal terjadi. Khususnya bagi bank-bank BUKU (bank umum kegiatan usaha) 3 ke bawah. Padahal, pengetatan likuiditas saat ini diperkirakan sudah terjadi. Karena itu, perang dagang akan membuat likuiditas perbankan makin ketat. ’’Memang likuiditas kita mengetat. LDR (liquidity debt to ratio/rasio kecukupan modal) perbankan tahun ini naik 97 persen dan akan naik lagi di 2020 ke 99,7 persen jika diperburuk dengan kenaikan imbal hasil pasar obligasi,’’ katanya.
- Advertisement -
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, persaingan antara pemerintah dan perbankan dalam memperebutkan dana publik dipastikan berpengaruh terhadap likuiditas. Apalagi, saat ini rasio kecukupan modal perbankan sudah cukup tinggi. Yakni, di atas 90 persen. Artinya, ruang penyaluran kredit makin kecil, sedangkan kebutuhan likuiditas makin tinggi.